Cover buku You Can if You Think Can. Photo Credit: ttps://www.jasonrichcemerlang.com/
Narasumber kali ini bukan orang biasa di Kementerian Agama Jakarta Selatan. Beliau orang penting yang menganggap penting setiap orang yang mengajaknya berbincang. Ia orang yang sudah melahap buku Peale di atas saat masih duduk di bangku SMP. Saya beruntung sekali.
Tulisan ini konten yang saya sisihkan dari topik wawancara hasil sadapan dari buah pikir Dr. H. Taufik, MM., M.Pd., narasumber saya ini. Bahkan, sadapan ini terlalu penting dan menggelitik. Biar saya bagikan saja, khususnya saya bagikan kepada guru atau pendidik.
Ruh al-Mudarris
PAK Taufik ada menyinggung beberapa kalimat kunci. Dalam pemahaman saya yang sedikit, kalimat kunci Pak Taufik begitu penting, menohok, dan patut jadi cermin. Apa itu? Yakni, guru tidak patut kehilangan ruh al-mudarris (jiwa guru) saat ia menjalani profesi keguruannya.
Guru yang kehilangan ruh al-mudarris akan terjebak pada rutinitas; masuk kelas saat bel jam pertama dimulai, mengajar sesuai tupoksi, pulang saat bel terakhir berbunyi, dan di awal bulan menerima gaji. Hanya sebatas itu aktivitas berbilang tahun. Selesai. Terlalu rigid.
Guru yang kerasukan ruh al-Mudarris menjadikannya sosok enerjik yang dirindukan. Ia menjadi inspirasi, sebab kata-kata dan aksinya selalu membangkitkan. Ia menjadi guru yang kehadirannya ditunggu-tunggu meskipun pertemuan hanya berlangsung sekejap untuk konfirmasi tugas mandiri di kelas.
Tanpa ruh al-mudarris, guru hanya fisik tanpa jiwa. Guru akan sering menjadi “makhluk gaib” dengan setumpuk tugas mencatat. Sekali dua kali, ia jadi buah bibir anak-anak yang baru beranjak dewasa oleh sebab terlalu sering meninggalkan kelas dan menitip catatan. Tapi tunggu dulu, ini hanya contoh kasuistik. Bukan gejala umum.
Tanpa ruh al-mudarris, guru gampang "masuk angin", gampang "mencret", dan gampang "pusing". Akan tetapi, kelas tetap tampak terisi dengan istilah yang dihalus-haluskan; "free time".
Saya berkaca, dengan mata berkaca, saya masih jauh panggang dari api, masih terseok-seok dari citra guru dengan ruh al-mudarris yang berapi-api. Sementara Pak Taufik dengan lugas memberi garis bawah, orang tidak bisa jadi guru bila tidak memiliki jiwa guru, miskin dari ruh al-mudarris.
Saya dan Dr. H. Taufik MM., M.Pd., Foto Credit: Abdul Mutaqin
I Love My Job.
GURU dengan ruh al-mudarris yang menyala, akan mencintai dunia mengajar lebih dari sekadar profesi yang berhak menikmati salary. Akan tetapi, pada dimensi soul-nya, guru tidak bekerja untuk uang. Dia bekerja untuk mentarbiyah jiwa manusia yang hidup, jiwa yang sedang menyongsong masa depan.
Boleh jadi, keberhasilan masa depan peserta didik, banyak bergantung pada jiwa guru yang mengasuhnya. Boleh jadi pula, kegagalan masa depan peserta didik disebabkan karena kemiskinan ruh al-mudarris guru-guru mereka. Dahsyat.
Guru itu sabar merawat azzam dengan spirit I Love My Job meski tidak harus diteriakkan di muka kepala sekolah. Karena mencintai itu, guru tak pernah kehabisan energi untuk membuka jalan bagi masa depan peserta didik tiap kali tatap muka berlangsung di kelas. Seperti mencintai kekasih, energi selalu tersedia.
Setiap guru yang sungguh-sungguh berbisik I Love My Job, bisikkannya, sedikit atau banyak, pastilah akan menggerakkan jiwanya sendiri dalam berkarya. Lalu, karyanya membuat jiwa-jiwa peserta didik selalu menyala. Sebab, di tangan guru yang demikian, tiap kali tatap muka, peserta didik mendapatkan inspirasi, sesuatu yang berharga yang akan dikenangnya sepanjang hidup.
Work With Love
MATA batin guru selayaknya tetap jaga untuk segala potensi siswa yang kasat mata. Guru tidak boleh "merem" atau "pura-pura merem", lalu baru terbuka lebar bila ada bayangan nominal di sana, baru bergerak bila ada konvensasi. Memang guru berhak menikmati salary. Akan tetapi, baru berenergi bila ada uang lebih untuk tambahan membayar cicilan tentu terlalu naif, tidak sepadan dengan muru’ah kepribadian guru yang dipersonifikasikan sebagai pahlawan.
Guru memang pengambil peran, bukan penunggu peran. Sebab, jiwa-jiwa peserta didik menaruh harapan pada peran gurunya. Maka, tidaklah elok, hanya karena tidak ada imbalan, guru mengabaikan hal yang kasat mata itu sambil menunggu peran di mana di sana ada uang lebihan. Ini mematahkan harapan perserta didik. Materi memang penting, tapi abai pada jiwa karena lebih tertarik pada materi, sama saja menyia-nyiakan potensi peserta didik yang jauh lebih penting dan berdampak panjang.
Soal nominal uang, itu domain pemangku kebijakan. Sepatutnya guru tidak terlibat terlalu jauh di sini. Bolehlah, asal sekadarnya. Lagi pula, asalkan pemangku kebijakan memperhatikan sisi manusiawi guru pada kebutuhannya, selesai. Toh, guru sangat layak menerima reward, tapi bukan pengejar reward.
Tentu, reward diberikan dengan dalil asas pemerataan, keadilan, dan profesionalisme personal. Dalam sistem tata kerja lembaga, pada spirit Work With Love memang ada nuansa keikhlasan yang khas. Namun, ikhlas bukan berarti harus tidak dibayar, melainkan berangkat dari falsafah Islam tentang reward: "berikanlah imbalan sebelum keringat mereka kering" reward harus diperhatikan.
"Berikanlah imbalan sebelum keringat mereka kering" adalah ucapan manusia yang paling mengerti soal keikhlasan; Nabi Muhammad SAW. Pastilah orang dengan gelar akademik di atas rata-rata dan mengerti hadits di atas pemahaman orang kebanyakan, hadits di atas amat diperhatikan.
Akan tetapi di saat yang bersamaan, pengamalan hadits tentang reward itu tidak boleh menimbulkan problem ketimpangan. Dalam satu rumah, keringat penghuni bisa diatur demi pemerataan. Kapan siapa harus basah lalu menerima reward, kapan siapa harus kering tidak menerima reward. Ini ide dasarnya. Ini hukum equilibrium yang diperlukan dalam soal basah dan kering rezeki untuk menghilangkan kecemburuan sosial dan meneguhkan keadilan sosial. Bukankah manfaat harta tidak diperkenankan berputar-putar pada orang yang itu-itu saja?
Mengajar Dengan Hati
"If you don't love the work you're doing, you'll get sick -physically, mentally, or spiritualy. Evantually, you'll make other's sick too." Lorraine Monroe, Principal & Founder of Frederick Douglass Academy.
Kalimat Lorraine Monroe di atas saya kutip dari hand out Pak Taufik. Kalimat itu begitu menghentak. Bisa jadi, hentakannya bisa membuka kesadaran banyak orang, atau bahkan menutup kesadaran karena dianggap terlalu berlebihan.
Akan tetapi, setiap guru pasti sepakat bahwa mengajar dengan hati adalah kunci keberhasilan pembelajaran yang dikelolanya. Hanya saja pada tataran praktis, soal kadar cinta, itu sepadan dengan pribadi setiap guru itu sendiri. Banjir, sedang, atau kering kadar cinta, tentu masing-masing pribadi yang bisa mengukurnya.
Semoga saja, para guru tidak susah sekadar berujar, I love my job! Semua guru bisa mengatakannya. Anda pun bisa. So, You can if You think can.|
0 Comments
Posting Komentar