Cuaca cerah di atas tanah Lombok dari pesawat Airbus A 320, 11 Juni 2022 pukul 16.45 WITA. Foto Credit Abdul Mutaqin.

HUJAN cukup deras. Bandara Praya,  Lombok International Airport Zainuddin Abdul Majid basah kuyup. Dag dig dug rasa hati menanti terbang. Bagaimana jika hujan semakin deras?

Ini bukan first fly bagi kebanyakan guru yang ikut rombongan Pak Eko. Lagi pula, waktu terbang Lombok-Jakarta hanya satu jam lima puluh lima menit. Aka tetapi, hujan, cuaca, dan landasan pacu yang basah, pikiran jadi pucat sepucat pasi wajah teman Pak Eko yang berusaha melawan arus sewaktu snorkeling di Gili Air, Gili Meno, dan baru cerah saat berhasil dievakuasi naik ke perahu. Barulah wajah teman Pak Eko yang tampak sengsara itu jadi semringah berseri-seri saat di Gili Trawangan🤣.

Saya sendiri merasakan arus kuat Gili Meno yang bikin keki. Dari atas perahu, ia tampak jernih, tenang, dan menggoda. Tapi rupanya, ia bak perawan yang diam-diam menghanyutkan. Pas nyemplung, arusnya kuat sekali. Meskipun pakai pelampung, tak urung, badan seperti tengah berjuang menyelamatkan nyawa diseret arus di atas lautan.

Gili Air, Gili Meno, dan Gili Trawangan memang gili-gili yang bikin deg-degan. Di daratan Gili Trawangan, bahkan arusnya  lebih menyeret. Habis shalat Jumat pun, arus Gili Trawangan bukan malah kendor, tapi mengharuskan kewaspadaan tingkat tinggi teman-teman Pak Eko. 'Sabuk pengaman' terpaksa dikencangkan lagi. Kalau tidak, kendorlah seluruh persendian iman.

Sampai hendak take off,  hujan masih turun, tapi kecil. Rinai-rinai hujan yang merintik tampak jelas dari jendela pesawat. Untunglah, baru kira-kira 10 menit pesawat mengudara, cuaca di langit benar-benar cerah. Tak ada hujan, tak ada kabut mengembun memutih seperti di landasan pacu. Malahan, dari jendela pesawat, tampak warna cakrawala menjingga perlahan sebab matahari akan surut di Waktu Indonesia Tengah. Indah sekali. Sambil menatap angkasa di luar jendela, hati berbisik pelan, "Goodbye Lombok".|

SEBAGAI peminat sejarah, Lombok bukan saja cerita tentang gili-gili itu. Adalah Islam Wetu Telu (Islam Tiga Waktu) yang sudah lama saya dengar bisa saya gali langsung dari salah satu sumbernya, Pak Dito, orang Kampung Sade, suku Sasak.

Shalat Wetu Telu adalah praktik shalat dengan hanya mengerjakan tiga waktu atau tiga kali dalam sehari; shalat pada siang hari (Zuhur), sore hari (Ashar), dan saat matahari terbenam (Magrib). Praktik ini terjadi karena para penyebar Islam pada masa lampau, yang berusaha mengenalkan Islam ke masyarakat Sasak pada waktu itu secara bertahap, meninggalkan pulau Lombok atau sebagian lain meninggal sebelum mengajarkan ajaran Islam dengan utuh atau lengkap.

Berkesempatan berbincang dengan Pak Dito, Guide Kampung Sade, Suku Sasak, Lombok Tengah. Foto Credit Abdul Mutaqin, Screenshoot video milik Idham Kholid.

Pak Dito, orang Sasak yang saya ajak berbincang, mengatakan bahwa Shalat Wetu Telu ada karena akulturasi budaya animisme dengan Islam. Dahulu, orang Sade bahkan tidak mengerjakan shalat dan puasa sempurna. Orang yang melaksanakan syariat sempurna hanya kiainya saja.

Saat ini, orang Sade tidak lagi mengamalkan Wetu Telu. Mereka melaksanakan shalat lima waktu dan berpuasa sebulan pada tiap siang hari Ramadhan. Tradisi-tradisi yang dipandang menyimpang sudah pula mereka tinggalkan. Hanya saja, untuk upacara-upacara seperti hendak pergi ke gunung atau ke makam, adat masih melekat dan diamalkan sebagai warisan tradisi sampai saat ini.

Budaya orang Sade –saya kira umumnya budaya Sasak pada gelaran budaya tari Peresean misalnya, sangat kental nuansa Bali. Musik pengiring dengan instrumen atau alat yang terdiri dari rereong, kecetut, rincik, gendang, dan gong mirip irama musik pengiring tari Kecak-nya Pulau Dewata. Filosofi Peresean ini sangat menarik, hanya saja terlalu panjang bila diulas di sini.

Pak Dito mengatakan, dari segi busana dan musik pengiring Peresean, pengaruh budaya Bali Hindu memang sangat kuat. Sementara dari sisi bahasa, pengaruh Jawa melekat pada budaya orang Sade, Lombok Timur yang mayoritas Islam. Orang Sade sendiri seratus persen muslim.|

DUA orang teman Pak Eko merasa lebih Lombok dari orang Lombok. Pada kesempatan shalat Jumat di Masjid Agung Baiturrahman di Gili Trawangan dan shalat Subuh di salah satu masjid dekat hotel, hanya mereka berdua yang mengenakan peci khas Lombok yang mereka beli. Sementara, tidak ada orang Lombok yang mengenakan peci khas mereka, semuanya memakai peci hitam seperti yang dipakai Pakde Miran atau peci putihnya orang Arab. Begitulah nasib wisatawan yang mencintai produk lokal.

Saya berkelakar sendiri sewaktu di Gili Trawangan. Seharusnya, yang tidak mengenakan peci khas Lombok pada hari Jumat kemarin dan bergegas pergi jumatan hanya bule-bule tak sopan itu.😂|

AYAM disangka puyuh, puyuh disangka ayam. Itulah topik diskusi dua orang teman Pak Eko sambil mereka menikmati menu makan siang Nasi Balap Puyung. Entah mana yang benar, puyuh atau ayam, ayam atau puyuh karena potongan puyuh atau ayamnya terlalu mini untuk kebiasaan orang Jakarta.

Tunggir. Foto Credit Abdul Mutaqin

Saya yang kebetulan dapat tunggir (bagian belakang tempat keluarnya telur jika betina), memang sempat menyelisik, "Ini tunggir puyuh atau ayam, sih?"😬

Lepas dari topik dikusi dua teman Pak Eko, Nasi Balap Puyung oke juga sebagai kuliner khas Lombok yang sayang jika dilewatkan. Apalagi bila kesempatan wisata ke Lombok tidak direncanakan Pak Eko lagi di tahun-tahun mendatang.

Diskusi soal puyuh atau ayam tidak selesai. Dua teman Pak Eko sudah mengikhlaskan, puyuh atau ayam bukan persoalan. Lagi pula, jikapun puyuh atau ayam yang benar, toh tidak bisa membuat dua unggas itu bisa hidup lagi, bertelur, dan beranak pinak kembali. Hihihihihi.

Saya lupa, apakah Nasi Balap Puyung yang dikunjungi rombongan Pak Eko kemarin itu Balap Puyung Pinaq Esun atau bukan. Mbak Yuyun, guide yang mendampingi rombongan, rasanya tidak memberi penjelasan. Atau bisa jadi, pas soal itu dijelaskan, saya sedang melamunkan kekasih saya di Depok.

Nasi Balap Puyung Pinaq Esun sudah melegenda sejak tahun 1970-an. Sudah pula ia menjadi salah satu kuliner legendaris dan disebut-sebut sebagai Nasi Balap Puyung pertama di Lombok. Tak heran kalau Nasi Balap Puyung Inaq Esun selalu direkomendasikan untuk dicicipi wisatawan. 

Konon kata Pak Eko, sebutan nasi balap ini bermula dari anak-anak pembalap yang suka makan di sini setelah balapan sepedah. Dari situlah nasi balap itu disematkan.

Rasa hati ingin kembali ke Lombok dan bertanya pada Mbak Yuyun, apakah Nasi Balap Puyung kemarin itu Balap Puyung Pinaq Esun atau bukan.😁|

BAGI Pak Eko, juga saya, Lombok bisa jadi bukan soal Gili Trawangan, Nasi Balap Puyung, Tari Presean, sirkuit Mandalika, atau kangkung plecing, tapi soal Islamic Center dan rasa beragama. Pada shalat Jumat kemarin, soal rasa beragama itu tampak di permukaan, seperti megahnya bangunan Islamic Center di pelupuk mata.

Di Sirkuit Mandalika. Fairuz, Haji Darul, saya, dan Bu Hani. Foto credit Abdul Mutaqin.

Ceritanya, khatib silap, satu rukun khutbah yakni salawat tidak tersampaikan. Saya yang menyimak betul isi khutbah tahu persis kesilapan itu. Pasti tahulah kita, jika salah satu rukun terlewat, khutbah tidak sah.

Rupanya, kesilapan khatib disadari banyak jamaah. Seorang jamaah cukup sepuh dan berwibawa bergegas. Pakaiannya gamis abu abu dan bersurban. Dari arah pojok kiri saf depan, ia menghampiri khatib, memegang pundak khatib, dan menyampaikan sesuatu. Bisa jadi, ia mengingatkan bahwa salah satu rukun khutbah terlewatkan.

Benarlah, belum beberapa detik laki-laki bergamis itu selesai mengingatkan, khatib sudah mengulang syahadat dan dirangkai salawat lalu wasiat pada khutbah pertama.

Ini pengalaman pertama saya menyaksikan peristiwa langka itu, di tempat yang jauh pula. Saya yang awam, menyisakan pertanyaan di benak, apakah jamaah wajib mengingatkan jika khatib lupa salah satu rukun khutbah seperti kewajiban makmum mengingatkan imam jika ia salah dalam bacaan atau keliru bilangan rakaat? Kita tunggu penjelasan Pak Eko.|

SATU kali, saya mengontak Pak Eko. "Tadabbur Alam kegiatan apa itu Pak Eko?" Tanya saya setengah penasaran.

"Jalan-jalan guru MTs ke Lombok Pak Abdul," jawab Pak Eko.

"Ooo. Jalan-jalan apa tadabbur alam?" Saya penasaran.🤣

"Jalan-jalan sekalian tadabbur alam, Pak." Jawab Pak Eko meyakinkan.😂

Pak Eko memang cerdas. Salam Pak Eko.|