Ilustrasi ojol. Foto Credit https://tajdid.id/

DICANCEL, gak apa. Mungkin pengendara lelah dan ngantuk. Lagi pula, ini sudah pagi, hampir pukul dua dini hari. Sempet gerutu juga, sih. Jika lelah dan ngantuk, seharusnya aplikasi dimatiin dong. Kasian kan, orang butuh waktu, malah dicancel. Tapi, siapa saya? Itu hak pengemudi.

Deg-degan mulai meninggi. Waktu terus merambat menua. Pukul tiga, harus sudah kumpul di meeting point, terus berangkat ke bandara. Sementara, waktu telah menunjuk pukul dua lebih sedikit.

Beberapa menit menunggu, akhirnya dapat pengemudi baru.

"Alamak! Ro******!" Gerutu saya.

Sekarang, giliran saya yang harus memilih cancel, atau tetap melanjutkan. Masalahnya, pengemudi ojek onlinenya perempuan.

Haduh, malah tambah deg-dagan ini. Mau cancel, belum tentu dapat pengemudi baru dalam waktu cepat, bisa kesiangan. Dilanjutkan, gimanaa gitu. Secara mana, saya laki-laki, dia perempuan.

Karena pertimbangan soal waktu, maka untuk kali ini saja, saya kesampingkan soal gender, soal mahram bukan mahram. Bismillah.|

PENGEMUDI sempat menelpon. Saya tak sempat mengangkat. Saat dia sampai di lokasi penjemputan, saya minta maaf.

Rupanya, dia ingin memastikan.

"Iya, Pak. Saya cuma mau mastiin, Bapak mau lanjut, atau cancel. Kalo Bapak mau cancel, silakan. Maklum, saya perempuan. Takutnya, Bapak risi."

Iya, betul, saya risi. Tapi, jujur saya mulai tertarik. Eits, tunggu dulu.

Lalu, saya memperkenalkan diri bahwa saya guru madrasah yang sedang butuh waktu cepat. Penting untuk saya dan pengemudi. Saya ingin membangun kepercayaan bahwa pengemudi aman bersama saya, dan saya aman bersamanya. Aman dalam arti yang sesungguhnya bahwa saya dan dia sebagai orang yang punya kewajiban menjaga diri dan kehormatan masing-masing.

Mengapa saya mulai tertarik?

Begini. Saya tertarik, tentu, atas alasan apa seorang perempuan menjalani pekerjaan semisal ojek online. Masih harus pula mengambil order pukul dua pagi yang amat berisiko bagi seorang perempuan.

Pastilah, jawaban simpel yang bisa disodorkan karena dia butuh pekerjaan ini, dia butuh uang. Akan tetapi, jawaban atas pertanyaan di atas kadang tidak sesimpel soal uang dan pekerjaan seperti yang dipikirkan.|

SAYA bertanya hal-hal pelik di sela obrolan ringan menuju madrasah. Saya jadi tahu, mengapa perempuan yang sudah punya 3 cucu berani mengambil pekerjaan ini.



"Saya punya dua anak yatim, Pak. Anak adik perempuan saya yang ditinggal mati suaminya. Juga nafkahin ibu yang sudah sepuh."

Tapi, kan tidak mesti harus mengambil order malam sampai pagi, saya menyelisik. Rupanya, siang waktu untuk dia mengurus pekerjaan rumah, mengurus ibu yang sepuh, dan yatim ponakannya yang masih kecil-kecil. Sore saat adik perempuannya baru pulang dari bekerja, dia siap-siap ngojek online.

Perempuan ini pernah menerima order dari Juanda, Depok sampai ke Bandung. 400 ratusan ribu barangkali jumlah yang terlalu besar buat dia lewatkan meski separuh nekat dia ambil. Begitulah jalan hidup yang harus dia jalani sepenuh tanggung jawab pada ibu dan anak yatim.

Dia perempuan yang beruntung, karena punya kesempatan dan mengambilnya mengurus orang tua serta anak yatim meskipun harus bertaruh nasib yang riskan. Tapi, dia juga perempuan yang malang, karena ditinggalkan suami. Ngojek menjadi pilihan terakhir buat menghidupi keluarganya setelah mundur dari pekerjaan satpam, body guard, dan memulung.|

"MPOK, maaf ya. Maaaaf sekali lagi. Sepanjang ambil order malam-malam begini, ada enggak, penumpang yang iseng?"

Saya panggil Mpok sebab dia mengaku orang Betawi Tengah yang minggir ke Depok.

Saya terbelalak. Bukan saja penumpang yang iseng, dia mengaku, bahkan yang nakal pun sering dia hadapi. Segepok uang pernah disodorkan penumpang, mengajaknya mampir ke hotel, lalu minta dilayani. Penumpang nakal itu mengira, si Mpok bisa diperdaya dengan uang.

"Maaf, lu salah orang. Asal lu tahu, gue, cari berkah, bukan cuman cari uang buat makan." Begitu si Mpok menutup cerita soal penumpang yang nakal itu.

Si Mpok mengaku, hidup di jalan memang kejam. Apalagi bagi perempuan, dia harus tangguh, kalau tidak habislah dia. Si Mpok bahkan merasa harus menjadi bukan sekadar kuat, tapi digdaya. Tiap hari, dia ibarat meniti pinggir jurang, riskan tergelincir demi menghidupi dua anak yatim dan ibunya yang bergantung padanya.|

SAYA bersyukur tidak membatalkan pesanan. Yang saya khawatirkan, jika  perempuan itu adalah para perempuan yang saya cintai; anak-anak perempuan dan istri saya. Allah ya Rabb, mohon lindungi mereka dalam pengasuhan-Mu dengan lindungan yang sempurna.|

Tidak terasa saya sudah sampai di madrasah. Sambil mata mrembes, saya titip tambahan ongkos untuk dua anak yatim di rumahnya yang bisa jadi masih nyenyak terlelap.

Siapa pun para perempuan, pilihan si Mpok adalah mulia. Namun, bila ditanya dan harus memilih, dia pasti tidak ingin mengambil jalan ini. Maka, berbahagialah para perempuan yang menikmati nyenyak berkemul dalam selimut tebal di saat banyak perempuan harus berjuang seperti si Mpok.

Mpok, semoga selalu dipelihara Sang Pemberi Rezeki di manapun Mpok mengais rezeki.

Jumat penuh berkah.

Lombok, 10 Juni 
2022.