Trio Ustaz Korps Mubaligh Muhammadiyah Depok: Fathoni (jaket merah), Irfan, dan Chairil Ihsan. Foto Credit Ustaz Mahfan.

TADI malam, di warung Mie Aceh, sedikit segmen tentang Islam di Korea jadi bahan obrolan. Naratornya Ustaz Irfan. “Ustaz Korea” ini pulang kampung buat sejenak menikmati bulan madu. Enam bulan pengalaman berdakwah di Korea, wajar saja ada futur-nya, ada kangennya pada kekasih.

Dalam konteks waktu enam bulan itu penting digarisbawahi. Secara historis, ia bisa dirujuk. Dahulu, Khalifah Umar bin Khattab (khalifah pada 634-644 M) menetapkan waktu tugas bagi seluruh prajurit Muslim di medan perang tidak lebih dari enam bulan. Jadi, tak apalah kita anggap, Ustaz Irfan itu prajurit yang sedang melaksanakan fatwa Khalifah Umar untuk menemui kekasihnya setelah lelah bertempur enam bulan di medan dakwah.|

KALI pertama Islam masuk ke semenanjung Korea berlangsung pada masa Dinasti Silla. Dinasti Silla merupakan salah satu pemerintahan dari periode Tiga Kerajaan Korea yang muncul pada sekitar 57 SM. Memasuki abad ke-9 M–ada juga yang menyebut abad ke-7–melalui pedagang Muslim Arab, Cina, dan Persia, Islam bersinggungan dengan Semenanjung Korea pada saat dinasti ini berkuasa.

Nanti, pada abad 13-14 M, pada masa Dinasti Koryo (Goryeo), banyak imigran Muslim yang datang ke Semenanjung Korea kemudian menetap secara permanen dan berasimilasi ke dalam masyarakat Korea. Sejak itu, Islam di Korea mengalami pasang surut.

Islam di Korea sempat “tiarap”, dalam arti tidak bisa lagi bergerak bebas pada abad ke-15 M. Adalah Dinasti Joseon yang berkuasa saat itu mengeluarkan peraturan berupa larangan masuknya budaya asing– Politik Isolasi, di mana seluruh rakyat harus memeluk agama Konghucu. Sejak itu, Islam dan Muslim tidak bisa lagi masuk ke Korea. Kontak antara Korea dengan dunia Islam pun terputus selama hampir 500 tahun.

Islam baru bisa kembali hadir di Korea dan mengalami kebangkitan di awal abad ke-20 M. Tonggak kebangkitan itu dimulai pada 1920, saat 250 penduduk Muslim Rusia etnis Kazak Turki datang ke Korea. Mereka orang-orang sipil korban penindasan ekonomi dan politik ekses dari Revolusi Bolshevik Rusia. Di Korea mereka mendirikan pemukiman permanen dan mewarnai geliat Islam di Korea. Sayang sekali, karena gangguan sosial yang menimpa Korea pasca penarikan Jepang tahun 1945, sebagian besar pemukiman ini bermigrasi ke negara-negara lain.

Pada era modern, komunitas Muslim Korea mulai tumbuh. Fase ini dimulai ketika kedatangan pasukan tentara perdamaian Turki saat terjadi perang Korea tahun 1950-1953 M. Abdul Ghafur Kara Ismailoglu menjadi tokoh dakwah sentral pendamping tentara perdamaian asal Turki. Beliau seorang imam yang memperkenalkan dan mengawal perkembangan Islam di Korea saat itu. Hasilnya, 10 orang Korea masuk Islam di tangan Abdul Ghafur. Mereka adalah Changkyou Kim, Chansu Kim, Duyoung Yoon, Iljo Kim, Jaehee We, Jin Kyu Kim, Paikhyun Shin, Sungjao Paik, Youngkul Cho, dan Youngkyu Kim. Setelah itu menyusul beberapa rekan mereka memeluk Islam seperti Sabri Suh Jung Kil, Abdul Aziz Kim, dan Prof. Abu Bakar Kim. Beberapa Muslim generasi awal ini merupakan unsur pertama komunitas Muslim Korea yang terus bertumbuh jumlahnya.

Lalu, pada 1970-an sudah hadir organisasi masyarakat Muslim Korea, Korea Muslim Federation (KMF) yang menggerakkan dakwah Islam di Korea secara lebih teratur melalui pendidikan, media massa, dan isu-isu sosial.

Hari ini, Korea, khususnya Korea Selatan adalah rumah bagi sekitar 200.000 Muslim. 75.000 di antaranya penduduk asli Korea, para muallaf. Mereka terdiri dari guru besar (profesor), doktor, ahli hukum, ahli ekonomi, penguasa, pegawai negeri, tentara, mahasiswa dan petani. Selebihnya, sekitar 125.000 adalah para imigran Muslim yang mulai datang ke Korea Selatan sejak tahun 1990 sampai 2000-an.

Populasi Muslim secara keseluruhan di Korea memang sangat kecil. Misalnya, data Hankook Research yang melakukan survei terhadap 23.000 warga Korea (dari Januari hingga November tahun lalu) Muslim bahkan tidak diperhitungkan dalam statistik.

Menurut Federasi Muslim Korea, keberadaan Muslim berada dalam bayang-bayang populasi umat Kristen yang mencapai 20 persen, Buddha 17 persen, Katolik 11 persen, serta 50 persen tidak beragama dari populasi Korea. Muslim dilaporkan hanya mewakili 0,4 persen dari seluruh populasi Korea pada 2018.

Sebagai rahmtan lil alamin, Islam semakin mendapat tempat di Korea. Dakwah di Korea Selatan pun terus menggeliat. Salah satunya karena faktor imigran. Hari ini, Korea famous dan banyak dilirik para pekerja, wisatawan, dan mahasiswa dari berbagai negara seiring perkembangan pesat Korea dalam berbagai bidang terutama teknologi, sehingga menjadi negara maju dan diakui dunia internasional. Faktor inilah yang mengundang, khususnya imigran Muslim ke Korea baik sebagai pekerja atau mahasiswa.

Lembaga-lembaga filantropi Islam melihat ini sebagai peluang dakwah. Di samping sebagai upaya memelihara layanan keislaman para migran, tentu segmentasi dakwah Islam di Korea juga harus dilanjutkan para dai.|

OBROLAN dakwah di Korea ini menarik sebab ia pengalaman empirik. Ditambah Mie Acehnya juga gratis, tambah enak. Hahaha. Dan, Ustaz Irfan berlaku sebagai dosen sejarah yang menyampaikan kuliah Islam Korea di atas meja hidangan Mie Aceh.

Ustaz Irfan menyimpan greget, tapi bukan greget pada gadis Korea yang kata ustaz ini 
“tjakep-tjakep”. Greget itu soal niat akan menuliskan pengalaman utuh dakwah di Korea ini dalam satu buku. Wah, jika greget ini terwujud, akan jadi literasi memoar dakwah yang “tjakep”, lebih “tjakep” dari artis Drakor semisal Jang Nara dan Shin Hye Sun. Aihihihihi.

Dari menyimak cerita Ustaz Irfan, jadi memang, dunia dakwah seperti dakwah di Korea dan umumnya di negara-negara yang Muslimnya minoritas, medan dakwahnya naik turun dan penuh “gajlugan”. Tantangannya benar-benar berat. Haq-batil, surga-neraka, dan salih-kafir berhadapan vis a vis sampai ke tembok masjid. 

Saya tidak mungkin mengira Ustad Irfan hanya sekadar berkelakar soal motel yang bersebelahan dengan masjid tempat pusat dakwah Ustaz Irfan. Saban malam, suara “desahan” penghuni kamar motel sampai nyaris terdengar masuk ke ruang shalat dari balik tembok masjid. Apa ini tidak serem?

Belum lagi pengalaman ustaz lulusan Libya ini pernah "digodain" gadis Korea yang putih dengan pakaian minim khas musim panas. Mana istri jauh di kampung halaman pula. Lha, ini lebih seram, kan?

Berat, berat sekali. Jadi, dai-dai yang berani masuk rimba dakwah Korea, memang dai-dai kelas berat yang tahan banting lahir batin. Ustaz Tamami secara terbuka merespons bahwa rasanya ia belum tentu sanggup "dibanting" jika terjun ke medan dakwah seperti medan dakwah di Korea.

Tadinya, pikir nakal saya mengira ustaz ahli sembelih itu tidak sanggup soal gadis Korea-nya. Untunglah ada penjelasan belakangan bahwa ketidaksanggupan ustaz karena jauh dari istri. Saya jadi tahu pula kelemahan Ustaz Tamami ini, soal di mana baju koko buat ceramah besok, ustaz tidak tahu di mana ia disimpan karena yang tahu nyonyanya ustaz. Kan, gak mungkin ceramah pake kaos oblong, sebab di mana kaos oblong disimpan pun, ustaz juga tidak tahu. Pantas saja Ustaz Tamami uring-uringan jika jauh dari nyonya.

Memang waktunya amat terbatas. Malam Jumat pula. Jadi, kuliah Ustaz Irfan berakhir menjelang Isya, sementara rasa ingin tahu masih menagih-nagih. Saya percaya, masih banyak hal yang belum diungkap Ustaz Irfan. Tentu konten-konten dakwah substantif yang menjadi bagian dari problematika dakwah di Korea yang cukup menantang. Karena itu, kita tunggu buku Ustaz Irfan yang mengulas aktivitas dakwahnya di Korea dari hulu hingga hilir.

Bravo, Ustaz Irfan!|