Aku dan Kiai Mukhson

Mimpi apa aku semalam. Tiba-tiba didatangi “Kiai Nyentrik” dari Merauke. Bertopi ala anak muda, bercelana jeans, mengenakan kaos coklat yang gambarnya ramai sekali. Tapi, dia Kiai, Kiai Besar yang punya kharisma di tanah Papua.

Waktu kuliah, aku memanggilnya “Mukhson”. Sekarang, aku tidak berani memanggil namanya saja, aku takut kualat. Maka sekarang, aku memanggilnya “Kiai Mukhson”. Memang, dia amat pantas dipanggil dengan gelar itu. Di Merauke, santri yang ngaji padanya sekelas Dandim, Korem, pejabat daerah, dan orang-orang penting di pemerintahan. Ini baru sebagian kecil yang yang aku koleksi dari ceritanya Rabu kemarin, pada 11 Januari 2023.

Kami mengobrol santai ngalor ngidul dengan topik renyah. Pasti, dan selalu begitu. Di antara topik obrolan adalah masa lalu kami. Tentang teman sekelas, satu persatu kami sebut. Tentang teman sekelas yang perempuan, yang di sana ada "getaran" ketika namanya kami sebut. Halagh! Pokoknya, asyik.|

Aku rasa, Kiai Mukhson tidak terlalu memperhatikan. Rabu kemarin itu, dia sedang mengobrol dengan kawannya yang sekarang, bukan yang dahulu yang belum melek literasi menulis. Sekarang, semut kentut saja bisa jadi tulisan. Apalagi seorang Kiai Besar dengan kisahnya yang sangat menarik, unik, dan menghibur.

Setiap kata Kiai Mukhson dari kisah hidupnya yang dia ceritakan, aku catat baik-baik. Lha, sayang toh jika dilewatkan begitu saja. Lagi pula, belum tentu ada kesempatan lagi dia berkunjung. Maka, hari itu, aku bahagia sekali menerimanya di kantor.

Nah, ini. Kiai Mukhson duduk di kursi kerjaku. Duduknya rileks sambil mengobrol dan tertawa lepas. Sepanjang aku duduk di kursi itu sebagai Kepala UPT Perpustakaan Madrasah Pembangunan, belum pernah aku sebahagia ini kursiku diduduki tamu. Mengapa? Aku berharap berkahnya, berkah dari bottom seorang Kiai Besar. Haaaaaaa.|

Allah sudah memilih Mukhson untuk jadi Kiai di Merauke. Itu takdir, siapa yang bisa protes meskipun dengan rendah hati dia mengelak, “Karena kepepet! Hahahahaha." Kiai Mukhson tergelak. Aku juga tergelak.

Tapi, kepepet jadi Kiai itu tetap saja berkah, bukan?

Kata Kiai Mukhson, di Merauke, figur kiai itu solusi dari semua problem umat. Orang sakit perut larinya, ke Kiai. Urusan pacar, larinya ke Kia. Ekonominya seret larinya ya, ke Kiai. Semuanya larinya ke Kiai. 

Barangkali, meski tidak dikatakan secara langsung, Kiai Mukhson sudah sampai pada puncak maqom solusi segala persoalan orang Merauke. Hahahaha, mantap!|

Ada satu cerita Kiai Mukhson kemarin yang menurutku sakral. Namun sebegitu sakralnya, cerita itu dikemasnya jenaka. Begini ceritanya;

Kiai Mukhson pernah diminta oleh anak orang NTT muslim. Ayahnya sedang sakit. Dia sangat ingin bertemu Kiai Mukhson di saat sakitnya. Kiai Mukhson datang menjenguk memenuhi harapan orang itu. Sesampainya di rumah orang itu, tangan Kiai Mukhson dipegangnya erat-erat, lalu dicium takzim sekali. Begitulah, tangan Kiai memang selalu diburu untuk dicium.

“Pokoknya nanti kalau saya mati, saya mau ikut Pak Yai. Nanti kalau saya masuk sorga bersama Pak Yai,” kata orang itu. Pak Ana namanya.

Kiai Mukhson mengaku hanya menjawab iya iya doang. Hahahahaha.

Tapi, Kiai Mukhson akhirnya memberi juga nasihat singkat. Biasa lah, Kiai memang punya tugas memberi nasihat, toh?

“Begini saja Pak Ana. Mudah-mudahan, Pak Ana dan saya dapat syafaat dari kanjeng Nabi sehingga kita bisa masuk sorga bareng. Kita baca shalawat, ya. Nanti Pak Ana lanjutkan dalam hati,” uja Kiai Mukhson. “Nanti minum air dari saya, ya Pak Ana,” lanjut Kiai Mukhson.

Pak Ana lalu meminum air dari Kiai Mukhson yang sudah dilafazkan doa-doa. Setelah minum air dari Kiai Mukhson, Pak Ana mengucap, “Alloohu Akbar” lalu tutup usia, mati.

Kiai Mukhson mengaku menangis. Menangis karena merasa terlalu berani mengajak masuk sorga Pak Ana yang jelas secara kasat mata menutup akhir hayatnya dengan kalimat thayyibah. Sedangkan Kiai Mukhson mengaku, dia masih belum tahu akhir hayatnya bagaimana.

Lalu,  aku iseng tanya, “Itu doa apa yang dibaca untuk air minum Pak Ana, Mas?”

“Ya, sedoa-doanya!”

Hahahahahahaah. Dassar!|

Ada satu kalimat pesan Kiai Mukhson padaku yang rasanya berat untuk aku cerna. Kalimatnya berbau tasawuf tingkat tinggi. ”Kau sadar bahwa kau makhluk, kau bukan Tuhan, selesai.”

Satu saat, jika ada waktu lagi kesempatan bertemu, aku ingin ngaji soal ini. Nasihat di atas adalah label bahwa Kiai Mukhson memang Kiai Besar, bukan ”Kiai Kepepet” seperti pengakuannya.

Semoga bisa berjumpa lagi, Kiai. Sehat selalu, dan I hope you will be more successful in Merauke. Aamiin.

Depok, menjelang tidur, 13 Januari 2023.