Dahulu, saya pernah menerbitkan novel berjudul “Jalan Islam Badrun Maria”. Novel ini berkisah tentang kehidupan asmara anak muda liberal, pejuang toleransi, pengagum feminisme, dan suka mencela orang sebagai penganut Islam radikal hanya karena orang itu tidak bersedia mengucapkan selamat natal karena alasan teologis. Novel terbit sangat terbatas dan hanya kalangan tertentu yang sudah membaca. Lalu, file naskahnya terlupa, mungkin terlalu rapi disimpan, tak tahu hendak dicari di mana.
Awal Februari kemarin, file itu ketemu, terselip di antara tumpukan file penting saat iseng bongkar-bongkar dokumen. Senangnya seperti menemukan kembali unta merah yang hilang yang membawa perbekalan air di tengah gurun. Saatnya menyediakan waktu, menikmati kembali cerita Badrun Maria.
Aih, banyak yang membuat tersenyum mendapati kalimat tidak efektif, banyak lubang cerita menganga, alur yang datar, dan konflik yang kurang tajam setelah dibaca ulang dengan segenap perasaan. Beberapa bagian harus pula direvisi, dibuang yang kurang relevan, dan ditambah informasi baru untuk mempertajam konflik ideologi dan isu pemurtadan, ide pokok novel ini.
Setengah dari sekitar 400-an halaman naskah sudah selesai disentuh ulang. Cerita lebih mengalir, natural, logis, dan bangunan plot yang kompleks dengan alur maju mundur.
Lalu saya berpikir, naskah ini lebih cocok diberi judul "Liberal Ditinggalin Pacar" saja, mengikat Si tokoh utama yang berpendapat bahwa murtad bukanlah dosa, melainkan proses menemukan kesadaran baru, akhirnya remuk redam karena pacarnya--Maria-- diambil orang dan dipaksa murtad. Sakitnya tuh di sini, kira-kira begitu, sekadar meresume suasana hati tokoh utama novel ini.
Banyak booster saat proses menghaluskan naskah, yaitu kehadiran sosok evangelis Yusuf Manubulu, dan dua pendeta murtadin Saifuddin Ibrahim, dan Muhammad Kace pada channel YouTube mereka masing-masing. Sudah hampir setahun lebih saya mengikuti narasi-narasi mereka soal kekristenan yang bertujuan menjatuhkan Islam.
***
KARENA asyik ada waktu luang pada Sabtu kemarin 18 Februari 2023, tepat pada acara puncak HUT ke-49 Madrasah Pembangunan, saya menunda pulang cepat. Apalagi, di atas panggung masih ada doorprize yang sengaja disimpan panitia di penghujung pesta.
Bila ide sudah mentok, balik ke depan menyimak kalau-kalau nama saya dipanggil naik ke panggung. Ya, biar pun tidak dapat doorprize yang gede, masa sekadar hadiah hiburan tidak dapat. Namun, sampai menjelang zuhur, memang tidak terdengar nama saya disebut-sebut. Apes ini.
Ah, sudahlah, balik lagi ke laptop saja. Tenggelam lagi membaca romantika cinta Badrun-Maria. Saya lupakan doorprize. Barangkali, memang belum jodoh pulang bawa hadiah sambil tetap ngarep. Mungkin tahun depan.
Sampai pada Bab 17 setelah zuhur, saya berhenti. Bukan karena tidak ada ide, tapi ide itu diganggu doorprize. Doorprize lagi, doorprize lagi. Saya sudahi menulis, lalu keluar, duduk bersanding dengan Pak Roni di depan perpustakaan. Saya lihat wajah Pak Roni semringah. O, iya, pantas. Dia baru dapat tiket naik haji dari Sekolah; Calon Haji Saroni. Alhamdulillah. Mabruk alfa mabruk, Pak.
Ustaz Endang Purwanto datang melintas.
“Dapat, doorprize apa, Kiai?” Begitu ustaz serba bisa ini bertanya. Ustaz Endang ini di antara orang “rese” yang memanggil saya dengan panggilan “Kiai”.
“Doa antum buat saya kagak makbul. Nama saya kagak kedengeran dari tadi.” Saya menimpali.
“Lah, doa buat diri sendiri aja kagak makbul, apalagi doa buat Kiai.”
Haaaa.
Tapi, beberapa menit kemudian, nama Ustaz Endang malah dipanggil. Dia berhak mendapat alat buat ngepel, apa itu namanya saya kurang memperhatikan. Berarti, doa Ustaz Endang makbul nih, pikir saya. Ada harapan ini.
Usai Ustaz Endang nyanyi “Sakit Gigi” dan disawer pula dia, dua nama berturut-turut dipanggil naik ke panggung. Nama saya masih juga tidak disebut. Harapan tipis. Tenggorokan sudah makin kering. Mana duit dan kupon belanja sudah habis. Ngapain lagi, nih.
***
MUNGKIN ada benarnya ucapan Albert Einstein, bahwa kehidupan itu seperti naik sepeda. Untuk menjaga keseimbangan, orang harus tetap terus bergerak. “Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving.”
Terbukti ucapan Einstein benar. Karena saya bergerak terus, masuk perpustakaan, duduk, mengetik, bangkit lagi dari kursi, keluar perpustakaan lagi, duduk di samping Pak Roni, ngarep-ngarep lagi, begitu terus keep moving alias ajag-ijig kagak bisa diem.
Maka saya berkesimpulan, tips untuk mendapat doorprize sepeda, amalkanlah petuah Albert Einstein; Keep moving. Ajag ijig!
Oh, Allah di misericordia, alhamdulillah.
0 Comments
Posting Komentar