Puncak Botorono. Sumber foto:https://www.prodesae.com

KETINGGIAN adalah hal keadaan tinggi. Bisa juga berartitempat dan sebagainyayang lebih tinggi letaknya. Itulah ketinggian.

Ketinggian itu memesonakan, seperti ketinggian Dataran Tinggi Dieng yang dijuluki orang sebagai "negeri di atas awan" di kabupaten Wonosobo. Dan saya, pun terpesona.

Jalan menuju Gunung Dieng saja sudah memesona. Boleh percaya boleh tidak,  bahkan ada yang menjuluki pemandangan di kiri kanan untuk sampai ke puncaknya bak pesona Selandia Baru; New Zealand yang jelita. Tapi, saya belum buru-buru percaya. Sebab, berkunjung ke negara yang berjuluk Negeri Kiwi itu buat membuktikannya sendiri saja tak pernah. Namun, boleh jadi penilaian itu tak jauh meleset. Ah, semoga ada keajaiban berpihak bisa membawa saya rihlah ke sana.

Ada anomali musim antara Wonosobo —khususnya di sekitar Dieng dengan New Zealand. Anomali itu berlangsung pada Agustus.

Pada Agustus, Dieng sedang berada pada puncak musim panas. Uniknya, pada bulan ini sering muncul embun es. Suhu Dieng menjadi sangat dingin. Di pagi hari, suhu terdingin di Dieng bisa menyentuh minus 1,25 derajat Celsius.

Sementara di New Zealand, Agustus masih musim dingin. Pada 2022 kemarin, suhu rata-rata di sana mencapai 9,8 derajat Celsius dan dinilai sebagai yang terhangat dan terbasah selama musim dingin sepanjang tahun. Sebelumnya, pada 2021, suhu musim dingin menyentuh 1,3 derajat Celsius.|

SAYA tak sempat mencatat nama daerahnya, salah satu kawasan yang diapit lembah Sindoro-Sumbing yang saya lewati di jalur Parakan-Wonosobo, panorama sangat menakjubkan. Awan seperti sejajar dengan badan bus yang saya tumpangi. Bus laiknya sedang melaju terbang di atas awan. Begitulah imajinasi saya membayangkan.

Pada kawasan itu, sesekali wujud rupa  sawah terasering elok meliuk-liuk di beberapa bagian yang curam. Tumbuh rimbun di tiap keloknya itu: padi, sayur mayur, dan palawija.

Di sisi kiri bus yang melaju melambat, di antara lembah yang menggantung searah Gunung Sumbing, ada kawasan menjulang. Pada badan puncaknya, ada tulisan terbaca samar; "Botorono".  Saya duga, karena belum sarapan, "Boto" dibaca "Soto" oleh Pak Agung. Jadilah ia berbunyi  "Sotorono". Itu sekira pukul 08.15 menit, waktunya sarapan yang terlewatkan. Tentu, "Boto" menjadi "Soto" adalah sebuah distorsi.

Selain lapar, mengantuk juga bisa menjadi sebab seseorang melakukan distorsi. Tulisan "OUTLET STORE" di depan Masjid Sabilul Istiqomah di Rest Area KM 379 A Tol Batang-Semarang dibaca "TOILET STORE" oleh Pak Efron saat hendak menuju bus usai shalat Subuh. Haaaa.

"Maklum, masih ngantuk." Pak Efron berkilah sambil tertawa.

Bila saja Pak Agung dan Pak Efron sedang bersungguh-sungguh dalam lapar dan kantuknya, maka, kesimpulan saya: jangan percaya pada dua orang; orang yang sedang lapar dan orang yang masih mengantuk. Besar kemungkinan ada distorsi.|

Saat otak dan bobot tubuh membuat lelah, maka berbaringlah. Foto Credit: M. Agung Sya'ban.

DIENG memang memesona dalam ketinggian fisik. Meski orang harus berlelah-lelah untuk bisa sampai ke puncaknya, ditempuh jua meski jantung kerap bedegup kencang saat bus menanjaki tikungan tajam di sisi jurang yang menganga. Sebenarnya, mahal sekali taruhannya bila pandangan dibuang sampai ke dasar jurang.

Akan tetapi, di balik taruhan yang mahal itu, mata hati yang jernih menemukan kepuasan atas lukisan alam Mahakarya Sang Pencipta yang mengantar pada kekaguman dan tasbih; "rabbana ma khalaqta hadza bathila subhanak".

Begitulah.

Secara psikilogis, dalam bingkai filosofis, ketinggian—jabatan, karier, popularitas, uang, reputasi, bahkan ilmu dan amal— sering melenakan. Tidak jarang, ketinggian psikis dapat menjadikan pemiliknya lupa diri karena merasa di atas segala orang per orang. Ia bisa mengubah perilaku, pola pikir, dan pola hidup. Distorsi yang dihasilkannya jauh lebih merusak.

Distorsi yang paling ringan dari ketinggian psikologis adalah lupa. Orang mudah lupa bahwa tidak ada lagi tangga menuju ke atas sesudah puncak selain harus turun tersuruk ke bawah, suka atau tidak suka. Atau dalam bahasa syair Bang Haji Oma, "Pesta Pasti Berakhir".

Bila tidak mawas diri, jiwa mudah tertipu oleh ketinggian, seperti tertipunya mata dari ketinggian perspektif atas dan bawah. Bukankah saat kita sedang berada di ketinggian, umumnya akan merasa bahwa orang di bawah sana terlihat begitu kecil? Akan tetapi, sadarkah kita, bukankah orang yang berada di bawah sana, pun melihat kita begitu kecil? 

Maka, di mana pun ketinggian itu dipijak, biarkan puncaknya tetap membumi. 

Happy weekend.

Yogyakarta, Sahid Raya Hotel, 11 Maret 2023.