Katupek Gulai Paku. Foto Credit Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Pariaman

BILA aku kangen Bunda, aku datang ke lapak Katupek Gulai Paku, Sate Padang, atau warung Nasi Padang sekalian. Dengan cara itu aku dapat dua kepuasan; kangen yang sedikit terobati dan perut kenyang.

Pagi ini, kangen pada Bunda dan keluarga terasa kuat sekali. Ada apa, ya. Kalau sudah begini, aku cuma berharap, semoga Bunda dan Ayah sehat-sehat, anak-anak, dan sanak saudara Bunda juga sehat-sehat. Lalu, ingatan ini terbawa lagi ke Kuranji, rumah Bunda yang bersahaja.

Sambil mengantar Mikal, putri sulungku mampir ke teman kost sebelum latihan di teater kampusnya, sepintas kulihat ada warung Katupek Gulai Paku di sisi kiri jalan Kertamukti, tidak jauh dari seberang jalan depan Gedung Pascasarjana UIN Jakarta. Ah, kebetulan, pikirku. Maka, beres urusan mengantar, aku menepi.

Kali pertama aku menikmati orisinalnya Katupek Gulai Paku itu di Pasar Ateh, Bukittinggi. Aku dan seorang kawan, namanya Lukman Hakim Sidik. Waktu itu, aku dan Lukman tinggal duduk dan makan. Ayah yang traktir. Itu sarapan pagi yang sukar aku cari padanan gembiranya sampai sekarang.

Sedapnya Katupek Gulai Paku di Pasar Ateh yang aku nikmati meresap sampai ke hati. Di lidah, sedapnya kadang masih datang sendiri bila diingat lagi. Seperti pagi ini, tiba-tiba saja air liurku terbit. Ya, bagaimana tidak, sudahlah makannya ditraktir, makannya di pasar bersejarah pula kala itu.

Pasar Ateh memang bersejarah. Ia mewujud dari keringat jasa masyarakat Agam. Pada 1858 M, pemerintah kolonial Belanda mengerahkan tenaga rodi yang berasal dari Agam Tuo, Agam bagian timur untuk mendatarkan puncak tertinggi di Bukittinggi yang kemudian menjadi pasar Loih Galuang atau Pasar Ateh itu.|

AJIB, Katupek Gulai Paku di Kertamukti yang aku nikmati barusan hampir setara sedapnya dengan yang aku nikmati di Pasar Ateh. Aku tanya Uda si penjual, rupanya dia orang Pariaman.

Meski Katupek Gulai Paku merupakan makanan khas Sumatera Barat, di Kota Pariaman makanan ini termasuk urutan paling atas kuliner khas kota kabupaten ini. Kota Pariaman yang bermotto “Saiyo Sakato”, sedap Katupek Gulai Paku-nya seiya sekata dengan lidahku. Kapan waktu, ingin rasanya bisa menikmati seporsi Katupek Gulai Paku di Parit Malintang, Ibukota Kota Pariaman bersama Bunda dan Ayah. Tentu, kalau bisa bersama Pak Lukman lagi, sebab dia urusan pengadaan tiket Jakarta-Padang pulang pergi. Wkwkwkwk.

Suer, asli. Katupek Gulai Paku di Kertamukti ini sedap sekali. Aku pasti datang lagi lain waktu. Jaraknya pun tidak terlalu jauh dari tempat aku mengajar. Tinggal kontak Roni dan Sandy, kawan satu atap tempat aku mencari sesuap nasi di madrasah, gaspoll.

Pada 2017 itu, Roni dan Sandy juga ikut ke rumah Bunda. Dua orang kawan ini wajahnya pucat pasi saat mobil yang dikemudikan Ayah yang mengemudi macam Hiroshi Masuoka pereli legenda Paris-Dakar melintas di kelok Ampek Puluah Ampek. Sementara, Bunda, Adek Uti, dan Uni Santia tenang-tenang saja, seperti tak terjadi apa-apa di antara jantung tiga orang ini yang empot-empotan dan ramai macam suara bedug bertalu-talu di malam lebaran.

Aku yakin, di dalam hati, dzikir Roni dan Sandy juga tak putus-putus sepanjang kelok. Mulut Pak Lukman sendiri kulirik tak henti komat-kamit sepanjang mobil menanjak, menikung, dan menurun sebelum kami sampai di Bukittinggi. Wajah mereka baru kembali semringah saat kami sudah menikmati Puncak Lawang. Hanya aku yang tetap berusaha terlihat tenang, meskipun jantungku lebih ramai degupnya daripada degup jantungnya Roni, Sandy, dan Pak Lukman. |

Gulai paku makanan berkuah dari kaldu udang rebus yang dicampur dengan santan. Rasa gurih santan berpadu dengan pedas cabai, segarnya asam kandis, sedikit aroma dari daun jeruk purut, daun kunyit, dan batang serai yang digeprek.

Hanya saja, seporsi Katupek Gulai Paku yang aku nikmati pagi ini, kangen pada Bunda bukan malah hilang, tapi tambah merindu berat. Bermula dari kebaikan Uda si penjual yang menawarkan sebungkus Gulai pakunya untuk seorang ibu tua, seorang pengemis.

“Uda, biar gulai paku untuk si ibu saya bayar, ya.” Bisik saya, pelan-pelan.

“Tidak, Pak. Tidak usah. Saya juga mau memberi.” Si Uda membalas setengah berbisik.

Dan, aku hanya tertegun. Rindu pada Bunda, orang yang kebaikannya lestari di hatiku tak jua surut. Ia tidak luruh meski sudah aku hibur dengan seporsi gulai paku khas Pariaman.

Bunda dan Ayah, sehat-sehat, ya. Sebentar lagi Ramadhan 1444 H menjelang. Padang Jakarta terlalu jauh di pandang mata. Tapi, ia begitu dekat di hati dengan doa-doa kebaikan.

Salam sayang dari aku, istri, dan anak-anakku.

Jumat, 18 Sya’ban 1444 H/ 10 Maret 2023 M.