Mausoleum of Umr ibn al-Aziz, Syiria. Foro credit: https://madainproject.com/
Hari Kamis, 11 Mei 2023, saya masih di kelas, sedang membahas Kompetensi Dasar terakhir semester genap; Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Saya memang mengampu mapel Sejarah Kebudayaan Islam di kelas VII di Madrasah Tsanawiyah Pembangunan UIN Jakarta. Ada keteladanan sangat penting dari materi hari itu, yakni soal ketaqwaan dan kezuhudan seorang khalifah.
Asal tahu saja, umumnya di madrasah, Sejarah Kebudayaan Islam kurang diminati, baik oleh guru yang mengajar, apalagi siswa yang belajar. Mapel ini selalu diasumsikan sebagai pelajaran yang sukar, membosankan, serta banyak data tahun dan tokoh yang harus dihafal. Begitulah.
Akan tetapi, saya kerap menyiasati dengan berbagai pendekatan pembelajaran. Tentu, supaya asumsi di atas tidak selalu dianggap benar. Dan, hari itu, pembelajaran saya padukan dengan menyaksikan film pendek tentang Umar.
Saat peserta didik senyap menyaksikan film tentang Umar, WA masuk ke HP saya.
Saya terhenyak. Gantiin Prof. Dr. Abdul Mu’thi, Sekretaris Umum PP. Muhammadiyah, Guru Besar UIN Jakarta. Waduh, berat ini.
Saya memang terjadwal khatib di masjid kantor kolega saya di atas, di Gatot Subroto. Beliau pula yang merekomendasikan saya masuk list dewan khatib di sana dan di dua Kantor Cabang; TB. Simatupang dan Depok.
Pada jadwal saya dua bulan kemarin, karena persoalan teknis, konfirmasi untuk kesiapan khutbah baru tersambung pada Jum’at pukul 11.30 siang. Ini bukan kesalahan kolega saya yang menghubungi, melainkan soal nomor yang dihubungi di HP saya yang sekarat.
Rasanya tidak mungkin, setengah jam terlalu mepet. Karena jarak tempuh dari Ciputat ke Gatot Subroto lumayan memakan waktu, maka dengan berat hati, saya minta dicarikan pengganti. Beruntung, porsi untuk badal khatib di kantor ini selalu ready.
Kembali ke Jum’at kemarin, soal Prof. Mu’thi, ini sesuatu. Bahkan sesuatu banget. Terus terang, ada beban psikologis meskipun sedikit. Siapa dari jamaah di kantor itu yang tidak kenal beliau? Sementara bisa dipastikan, tidak ada satu pun dari jamaah di kantor itu yang mengenal saya kecuali kolega saya tadi. Heheheheheh.
Akan tetapi, urusan khutbah Jum’at bukan persoalan Abdul Mu’thi atau Abdul Mutaqin semata, melainkan urusan syari’at. Meskipun dari sisi kapasitas saya tidak sepadan Prof. Mu’thi, tapi kedudukan khutbah Jum’at sebagaimana menurut jumhur ulama yang merupakan syarat sahnya pelaksanaan shalat jum’at tidak berubah, siapa pun yang memenuhi syarat maju menjadi khatib.
Bismillah, dah.
***
Di atas mimbar, saya bawakan keteladanan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, khalifah yang di waktu muda bergaya Al-Umariyah karena nyentriknya keturunan Umayyah ini. Pejabat negara yang dijuluki Asyaj Bani Umayyah (yang terluka di wajahnya) ini adalah cicitnya Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu anhu dari jalur ibu. Ibunya bernama Layla binti 'Ashim bin Umar bin Khattab. Neneknya (istrinya 'Ashim) adalah gadis jujur penjual susu dalam kisah yang terkenal, di mana dia menolak mencampur dagangan susunya dengan air.
Asal tahu saja, umumnya di madrasah, Sejarah Kebudayaan Islam kurang diminati, baik oleh guru yang mengajar, apalagi siswa yang belajar. Mapel ini selalu diasumsikan sebagai pelajaran yang sukar, membosankan, serta banyak data tahun dan tokoh yang harus dihafal. Begitulah.
Akan tetapi, saya kerap menyiasati dengan berbagai pendekatan pembelajaran. Tentu, supaya asumsi di atas tidak selalu dianggap benar. Dan, hari itu, pembelajaran saya padukan dengan menyaksikan film pendek tentang Umar.
Saat peserta didik senyap menyaksikan film tentang Umar, WA masuk ke HP saya.
Assalamualaikum, ustadz, jumat besok bisa khotib di kantor ana, itung2 gantiin jadwal antum yg dulu, kebete[u]lan, Prof Abdul Mu'ti beliau gk bisa baru ngabarin lg di malaysia.Ngek!
Saya terhenyak. Gantiin Prof. Dr. Abdul Mu’thi, Sekretaris Umum PP. Muhammadiyah, Guru Besar UIN Jakarta. Waduh, berat ini.
Saya memang terjadwal khatib di masjid kantor kolega saya di atas, di Gatot Subroto. Beliau pula yang merekomendasikan saya masuk list dewan khatib di sana dan di dua Kantor Cabang; TB. Simatupang dan Depok.
Pada jadwal saya dua bulan kemarin, karena persoalan teknis, konfirmasi untuk kesiapan khutbah baru tersambung pada Jum’at pukul 11.30 siang. Ini bukan kesalahan kolega saya yang menghubungi, melainkan soal nomor yang dihubungi di HP saya yang sekarat.
Rasanya tidak mungkin, setengah jam terlalu mepet. Karena jarak tempuh dari Ciputat ke Gatot Subroto lumayan memakan waktu, maka dengan berat hati, saya minta dicarikan pengganti. Beruntung, porsi untuk badal khatib di kantor ini selalu ready.
Kembali ke Jum’at kemarin, soal Prof. Mu’thi, ini sesuatu. Bahkan sesuatu banget. Terus terang, ada beban psikologis meskipun sedikit. Siapa dari jamaah di kantor itu yang tidak kenal beliau? Sementara bisa dipastikan, tidak ada satu pun dari jamaah di kantor itu yang mengenal saya kecuali kolega saya tadi. Heheheheheh.
Akan tetapi, urusan khutbah Jum’at bukan persoalan Abdul Mu’thi atau Abdul Mutaqin semata, melainkan urusan syari’at. Meskipun dari sisi kapasitas saya tidak sepadan Prof. Mu’thi, tapi kedudukan khutbah Jum’at sebagaimana menurut jumhur ulama yang merupakan syarat sahnya pelaksanaan shalat jum’at tidak berubah, siapa pun yang memenuhi syarat maju menjadi khatib.
Bismillah, dah.
***
Di atas mimbar, saya bawakan keteladanan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, khalifah yang di waktu muda bergaya Al-Umariyah karena nyentriknya keturunan Umayyah ini. Pejabat negara yang dijuluki Asyaj Bani Umayyah (yang terluka di wajahnya) ini adalah cicitnya Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu anhu dari jalur ibu. Ibunya bernama Layla binti 'Ashim bin Umar bin Khattab. Neneknya (istrinya 'Ashim) adalah gadis jujur penjual susu dalam kisah yang terkenal, di mana dia menolak mencampur dagangan susunya dengan air.
Dalam timbangan saya, meneladani khalifah ke-8 Daulah Bani Umayah Damaskus itu di atas mimbar Jum’at di Gatot Subroto, instasi di mana eselon satu di bawah Kementerian Keuangan yang berurusan dengan harta negara berkantor sangat kontekstual. Dalam peri kehidupan Umar, manajemen keuangan Daulah Bani Umayyah itu berbanding lurus dengan ketaqwaan dan kezuhudan pribadi di tangan khalifah agung ini.
Khalifah Umar sangat berhati-hati dalam membelanjakan harta Baitul Mal saat itu. Umar hanya mau membelanjakan harta negara apabila berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyatnya. Maka, tidaklah mengherankan seorang Abu Bakr bin Hazm, wali kota Madinah saat ia melayangkan surat meminta tambahan kertas untuk mencatat dan mendokumentasikan berbagai kepentingan negara, Khalifah Umar menjawab:
Runcingkanlah penamu dan rapatkanlah tulisanmu, karena aku tidak akan suka membelanjakan harta umat Islam untuk hal yang tidak bermanfaat bagi mereka.Bahkan, untuk keperluan pribadi dan keluarganya saja, Umar memangkas pengeluaran negara dari gaji yang berhak ia terima. Sebelum menjadi khalifah, gaji Umar tidak kurang dari 40 ribu dinar –setara dengan 9,35 miliar rupiah. Akan tetapi, setelah menjadi khalifah sepanjang 2 tahun 5 bulan 5 hari, Umar hanya menginginkan gaji 400 dinar saja –setara 880 juta rupiah. Beliau juga mengembalikan cincin pemberian al Walid bin Abdul Malik yang melingkar di jarinya ke Baitul Mal sebab merasa itu bukan lagi pemberian yang sah.
Tidak sampai di situ, Umar bahkan memilih meninggalkan istana kekhalifahan yang megah itu. Beliau pindah ke rumah miliknya dan berkantor di sana. Jangan bayangkan seberapa megah dan lengkap fasilitas di rumah itu. Ia hanya rumah sempit dengan perabot yang amat sangat sederhana. Di kamarnya, Umar hanya minta disediakan alas untuk shalat, satu bejana air untuk berwudhu, dan alat untuk menulis.
Semoga saja, sosok Umar bin Abdul Aziz dalam mengelola keuangan negara dengan jamaah di Gatot Subroto ini sangat kontekstual, meskipun soal ketaqwaan dan kezuhudan selalu relevan bagi kaum muslimin di segala instansi, di segala zaman, dan di setiap pemimpin yang punya kesediaan meneladani sang Khalifah, Khalifah agung yang wafat hanya meninggalkan harta berupa satu kursi dari kulit, empat batu merah yang diletakan di bawah kursi, satu botol minyak wangi, dan sebuah kotak terkunci. Sewaktu kotak itu dibuka, di dalamnya hanya ada zirah dan sepotong celana pendek.
Selepas melaksanakan badiyah empat rakaat, saya berucap syukur. Lega. Bagaimana tidak, ini bukan mimbar Jum’at masjid kampung, komunitas saya sendiri.
Beberapa saat berlalu, sebelum ramah tamah dengan DKM, seorang jamaah berbatik agak gelap menghampiri saya.
“Maaf Ustaz, ada salam dari Pak Menteri.” Kata laki-laki itu berbisik menyebut Pak Menteri yang dimaksud seraya menitipkan sesuatu.
Saya terhenyak. Dua kali terhenyak, pertama karena berkesempatan mengisi jadwal Prof Mu’thi yang berhalangan, dan kedua karena salam dari Pak Menteri barusan. Kepada Allah saya kembalikan setiap kebaikan. Terima kasih juga untuk Sandy, guru Fisika, navigator, sebab saya tak cakap membaca Google Maps.
Depok, di penghujung Syawwal 1444 H yang sejuk.
Saya terhenyak. Dua kali terhenyak, pertama karena berkesempatan mengisi jadwal Prof Mu’thi yang berhalangan, dan kedua karena salam dari Pak Menteri barusan. Kepada Allah saya kembalikan setiap kebaikan. Terima kasih juga untuk Sandy, guru Fisika, navigator, sebab saya tak cakap membaca Google Maps.
Depok, di penghujung Syawwal 1444 H yang sejuk.
0 Comments
Posting Komentar