Komunikasi. Foto credit https://www.djkn.kemenkeu.go.id
PADA Jumat, 16 Juni 2023 kemarin, MTS Pembangunan menggelar pelatihan bertajuk "Komunikasi Efektif". Pesertanya para pendidik dan tenaga kependidikan. Beberapa ada pejabat di lingkungan Yayasan Syarif Hidayatullah, Pimpinan Unit, dan Tata Usaha di forum itu.
Narasumber; Iwan Ridwan dengan pengalamannya yang segudang membawakan materi dengan apik dan menarik. Suaranya khas, intonasinya konstan, berkharisma. Mantap lah pokoknya.Acara dibuka oleh Yayasan; Pak Tanenji, MA. Pak Nenji membuka kata sambutan dengan kasus faktual yang enteng, tapi punya kaitan yang sangat kuat dengan tajuk pelatihan hari itu. Mantap lah pokoknya.
Saya menikmati pelatihan itu, meski di akhir sesi sempat menghilang untuk persiapan naik mimbar Jumat di KPP Pajak Pancoran, TB Simatupang. Tentu, ke TB Simatupang Jumat itu, saya mendapat tambahan bekal; komunikasi efektif di atas mimbar di tengah kekhawatiran telat karena hujan yang belum juga reda hingga pukul 11.12 WIB.
Catatan ini hanya refleksi, mengambil angel yang sangat sempit dari keseluruhan isi pelatihan keren itu. Karena itu, tulisan ini subyektif sekali, ia bukan summary-nya sebagai "expressing or covering the main points briefly" yang utuh.|
DALAM khazanah pemikiran Islam, manusia sering disebut sebagai "hayawanun natiqun", hewan yang berpikir. Disebut juga sebagai "hayawanun ijtimaiyyun", atau hewan yang berkelompok, bersosialisasi. Maka, aktivitas berpikir dan berkelompok menjadi bagian dari ciri manusia yang paling dominan dalam keseharian.
Komunikasi menjadi alat untuk menjembatani proses berpikir dan berkelompok. Tanpa komunikasi, pemikiran tidak akan banyak berguna. Dan tanpa kelompok, komunikasi tidak menemukan wadahnya secara komunal.
Jadi, berpikir, berkelompok, dan berkomunikasi, melekat dalam lingkungan sehari-hari manusia. Maka, komunikasi perlu dikemas apik agar pesan tersampaikan, nilai-nilai terserap, dan problem terpecahkan. Di sini, komunikasi menjadi sangat berarti.
Begitu berartinya komunikasi, ada orang-orang tertentu bahkan merasa perlu untuk belajar bagaimana ia mampu berkomunikasi dengan binatang. Lebih dari itu, ada pula orang yang merasa perlu memiliki kemampuan berkomunikasi kepada makhluk gaib, kepada "dunia langit".|
SEBAGAI yang kerap mengulik konten sejarah dan kebudayaan Islam, jadi teringat, dahulu, pada masa Daulah Bani Umayyah (661-750 M), sudah ada semacam sekolah yang disebut Badiah, semisal Public Speaking School. Letaknya di pedalaman, di tengah gurun terpencil. Kurikulum pokoknya kemahiran berbahasa, kefasihan, dan kepiawaian berkomunikasi dengan bahasa Arab murni. Hampir semua anak-anak khalifah, para pangeran, dan calon pejabat negara "dipaksa" belajar tata komunikasi dengan bahasa Arab fushah di sini.
Bisa jadi, keberadaan Badiah tetap dipertahankan sesudah era Daulah Umayyah berlalu karena bangsa Arab adalah bangsa yang sangat menghormati kemahiran berbahasa sejak zaman pra Islam. Sampai hari ini pun, warisan sastra Arab dan sastra Islam masih diperbincangkan di bangku-bangku akademik seakan ia tak pernah usai dinikmati keindahannya.|
DI dalam komunikasi ada "al-bayan", ada argumentasi dengan tata kalimat yang baik. Dan di dalam "al bayan", ada sihir, ada daya pikat yang memukau.
Dalam literatur hadits, Nabi SAW mengakui hal itu, seperti pada riwayat Imam al-Bukhari, "inna minal bayaani sihran" bahwa sesungguhnya sebagian dari Al-bayan (susunan kata-kata yang indah) adalah sihir”.
Karena ada unsur "sihir" inilah, komunikasi memiliki daya magis, ia punya kekuatan mempengaruhi. Karena itu, komunikasi efektif menjadi penting dikuasai dan dikelola. Tentu saja, dikuasai dan dikelola untuk tujuan yang baik.
Bagi pendidik, komunikasi efektif berguna untuk memikat peserta didik dalam proses pembelajaran di ruang-ruang kelas, untuk mengantarkan kesadaran mengapa mereka harus belajar, dan untuk menginspirasi agar hasil belajar diterapkan dalam pergaulan sehari-hari.
Komunikasi efektif juga sangat penting dalam pola komunikasi guru-murid di luar kelas. Bahkan di sini, citra seorang guru akan mudah terbaca di mata seorang murid dari pola komunikasi sang guru di ruang yang lebih bebas, lebih autentik dan natural sebab ia tidak seformil di ruang kelas. Di sinilah letaknya perbedaan paling mendasar, bahwa lidah seorang pendidik berbeda dengan lidah "tukang obat" pinggir jalan meskipun sama-sama dalam konteks berkomunikasi.
Maka, pendidik yang bijak tidak akan mengubah takdir lidahnya menjadi sekadar lidah "tukang obat" yang acapkali ia gunakan untuk menyihir orang bahwa obatnya paling manjur di kolong langit lalu obatnya laris manis terjual.
Jadi, memikat dan mengambil simpati peserta didik untuk tujuan-tujuan di luar konteks pendidikan dan pembelajaran, meski itu efektif, itu bukan takdir lidah seorang pendidik. Dengan bahasa yang lugas, kalaulah guru mendapat tanda mata buah tangan, biarlah itu karena ketulusan, bukan karena menukar lidahnya dengan lidah "tukang obat".|
ADUH, rasanya, diri ini masih jauh panggang dari api menyimak pengalaman Pak Iwan Ridwan saat ia menangani siswa yang dicap "paling nakal" menjadi siswa paling baik dan berprestasi di belakang hari.
Saya percaya, di samping kemampuan berkomunikasi yang efektif, modal untuk mengubah loyang menjadi emas seperti pengalaman Pak Iwan Ridwan adalah ketulusan. Ketulusan kadang tidak membutuhkan bumbu untuk menyihir orang. Bahkan, ketulusan kadang terlalu bisu, seperti jalan sunyi. Ia tidak membutuhkan untaian kalimat pujian mendayu untuk mempengaruhi jiwa komunikan mengambil sebuah keputusan.
Apatah lagi, sering tidak disadari banyak orang, lawan bicara sebenarnya menangkap ketulusan dan ketidaktulusan dari pola komunikasi yang sedang berlangsung. Boleh percaya, tidak pun tak apa. Yang jelas, komunikasi yang efektif sangat penting untuk menghadirkan produk berpikir dalam sebuah komunitas, apalagi komunitas pembelajaran.
Akhir pekan yang sibuk, dan happy weekend.
0 Comments
Posting Komentar