Kover final Antologi Puisi "Ketika Jakarta Tidak Lagi Menjadi Ibu Kota Negara". Foto Credit, Mas Wahyu Topeng

DALAM seminggu ini, tiga informasi menyapa amat menggembirakan saya. Pertama, kover antologi puisi dari KLB ( Komunitas Literasi Betawi) 4 sudah menampakkan diri. Rasanya gimana gitu. Di sana, ada satu karya puisi saya yang lolos kurasi. Ini kejutan. Saya seperti masuk "dunia lain", dunia puisi.

Sejujurnya, saya merasa amat kecil dalam antologi itu nantinya. Betapa tidak, nama-nama dari penulis puisi yang lolos kurasi adalah para senior, para penyair, mereka yang darahnya sudah menyatu dengan puisi. Begitulah yang saya tangkap dari komunikasi penghuni Grup WA menuju KLB 4, rumah maya bagi para peserta yang lolos kurasi. Sementara saya, baru merangkak dan tertatih-tatih memilih diksi, belum sampai pada jiwa yang membuat sebait dua bait puisi terasa bernyawa dan hidup.

Meski merasa kecil, saya punya harapan besar. Satu saat, bukan mustahil keinginan punya antologi puisi sendiri bisa terwujud. Dari mana? Dari hasil belajar dengan para penyair dalam antologi "Ketika Jakarta Tidak Lagi Menjadi Ibu Kota Negara", tema yang digagas KLB untuk event menulis puisi tahun ini. Dan, pagi ini masih menjadi pagi menunggu bahagia antologi itu.

Kedua, draft recover novel "Pengantin Fort van der Capellen Romansa Tanah Batavia dan Padangsche Bovenlanden" pun, sudah mewujud. Gobagsodor, agen yang menggarap perwajahan sampul novel ke-6 saya ini, membuat speechless. Gobagsodor seperti memindahkan 99,99 persen presisi imajinasi di kepala saya.


New Cover Pengantin Fort van der Capellen. Foto Credit, Gobagsodor.

"Pengantin Fort van der Capellen Romansa Tanah Batavia dan Padangsche Bovenlanden" saya tulis dalam durasi cukup panjang, hampir tiga tahun beberapa bulan. Jika bukan karena cinta pada sejarah dan sayang pada karakter dalam ceritanya, rasanya ingin menyerah saja menggarap novel berdurasi 500 halaman lebih sedikit ini.

Saya memulai membuat draft novel ini pada akhir Desember 2017 selepas berkunjung ke Sawahlunto, tambang batu bara Ombilin. Lokus ini menjadi sebagian dari latar cerita dibangun, cerita tentang pendekar dari Batavia yang dibuang Belanda pada 1896, menjadi buruh paksa atau "Urang Rantai" pada tambang emas hitam yang ditemukan insinyur Belanda Willem Hendrik de Greve pada tahun 1868. Akhirnya novel ini rampung juga pada Desember 2020 dan revisi sekitar 3 bulan sesudahnya.

Pada soft launching novel ini, pada Rabu, 28 April 2021 di MULA, Kota Tua, Jakarta, Walikota Sawahlunto hadir dalam perbincangan. "Pengantin Fort van der Capellen" dibicangkan dalam pendekatan dua budaya saat itu; Betawi dan Minang. Wali Kota Sawahlunto bertutur sebagai representasi budaya Minang sekaligus pemegang otorita tambang batu bara Ombilin, dan Bang Icoel (Muhammad Sulhi Rawi), jurnalis Betawi meniliknya dari sisi Batavia era kolonial.

Mendapat masukan setelah soft launching dari beberapa pihak, kover "Pengantin ..." yang dinilai belum utuh menggambarkan emosi cerita (asmara, agama, budaya, etnik, dan patriotisme) dengan konflik yang rumit, ia terlalu sederhana. Maka, meski dengan perasaan masih sayang pada kover lama, recover harus dipilih. Pukul 03.21 dini hari kemarin, Gobagsodor membuat mata berbinar-binar. Wajah "Pengantin ..." jadi semakin menggemaskan.

Ketiga, kabar dari Mas Dede Darmawan, kolega saya di Divisi Media dan Jurnalistik pada organisasi kami bernaung. Mas Dede yang berencana akan membuka kelas menulis mengirim pesan dan gambar. "Alhamdulillah kelas kami lengkap... Dengan Proyektor, Kursi, soundsystem, kipas, wify... Ana mau lanjutin kerjasama kelas menulis ustaz🙏😊," tulisnya.

Wah, keren! Seakan saya sudah terlempar ke ruang kelas menulis, masuk dalam gambar yang dikirim Mas Dede. Speechless lagi.

Rencana Mas Dede yang tertunda hampir 8 bulan setelah kami ngobrol di sebuah kedai kopi bernuansa etnik, tampaknya mendekati hari eksekusi. Kami akan segera punya kelas menulis dalam waktu yang tidak terlalu lama.Turunannya semisal penerbitan, workshop, pesta literasi, dan agenda membangun budaya literasi berbasis santri dan peserta didik sudah dipikirkan Mas Dede sebelumnya. Mas Dede dengan background pendidikan manajemen, tentu sangat paham soal ini. Bagian saya merancang kurikulum dan mengampu kelasnya.

Ah, belum tentu juga akan jadi seindah yang kami bayangkan. Akan tetapi, indah bayangan itu harus kami perjuangkan. Begitulah aksioma kehidupan, bahwa apa pun harus diperjuangkan, harus ada keringat yang diteteskan, otak yang diperas, ongkos yang ditanggung, dan waktu yang didermakan.

Ruang Kelas Menulis. Foto Credit, Dede Darmawan.


Berang-berang naik pangkat,
Brangkaaaaat!


Dan, pagi ini saya semringah lagi dipantik dua kover dan satu kelas menulis.

Depok, 1 Juli 2023. Di atas balkon yang belum berpagar.