Saya dan Alvian Rivaldi Sutisna. Berpose di depan mural HB. Jassin dan Chairil Anwar di PDS. HB. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Cikini. Foto milik Alvian. |
Sambil takjub memeluk lutut
Menikmati gemulai dansa kata-kata para pujangga
Indah sekali tarian diksi di atas panggung sastra yang tak pernah punah siang itu
Aku terkesima
Ternyata, begini rasanya masuk atmosfer mereka
***
Payah rasanya menulis puisi itu. Enam kalimat di atas saja, otà k terasa “remuk”. Tapi, “seremuk-remuk” rasanya, jadi juga ia enam baris. Ia lahir sepanjang waktu jalan pulang dari Cikini Raya ke Madrasah Pembangunan. Itu pun, kalau bukan karena inspirasi dari aksi para penyair di Gedung Perpustakaan HB. Jassin, pastilah hanya bertemu jalan buntu.
Hanya saja, saya dan Alvian harus meninggalkan acara lebih cepat karena urusan lain, urusan yang tidak mungkin ditunda. Batas toleransi ikut acara hanya sampai pukul 15.30. Jadi, acara “Diskusi, Baca Puisi dan Peluncuran Buku Jakarta dan Betawi 4 Ketika Jakarta Tak Lagi Jadi Ibu Kota Negara” yang digelar di Lt. 4 Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikni Raya, Jakarta Pusat tidak purna kami ikuti. Sayang sebenarnya.
Cikini dan Ukaz
Dahulu pada masa pra Islam, masyarakat Arab rutin menggelar festival. Festival berlangsung di Suq Ukaz (Pasar Ukaz) di kota Thaif, kira-kira 90 kilometer dari Makkah. Ini ajang bergengsi. Festival berlangsung pada bulan Zulqa’dah, sekitar tanggal 15 sampai tanggal 30 setiap tahun.
Dalam sejarah bangsa Arab, Pasar Ukaz merupakan salah satu pasar populer dan terbesar. Ia pusat berkumpulnya bangsa-bangsa Arab sejak sekitar 500 tahun sebelum masehi. Di pasar inilah tradisi Arab bertemu, ajang mereka memamerkan keunggulan lughoh, budaya, dan memamerkan prestasi-prestasi mereka di bidang militer.
Akan tetapi, kemilau sastra menjadi yang paling bergengsi pada festival tersebut. Puisi-puisi dari penyair Arab yang terbaik dan terkenal dipamerkan selain dibacakan di hadapan khalayak. Lebih dari itu, puisi-puisi yang terpilih kemudian ditulis dengan tinta emas. Dan, tidak ada yang lebih bergengsi lagi selain puisi-puisi itu digantungkan pada dinding Ka’bah di kemudian hari. Masyhurlah para penyair yang puisi-puisinya digantung itu bagi bangsa Arab. Lalu, para penyair itu dikenal sebagai “Al Muallaqat”, penyair yang karyanya digantung di Ka’bah. Konon, karena daya tariknya, festival di Ukaz dihidupkan lagi oleh pemerintah Saudi sekarang.
Boleh jadi, bila seserpih kemeriahan Suq Ukaz bisa dipindah ke PDS HB. Jassin kemarin, rasa-rasanya kemilau sastra di Cikini lebih moncer meski tidak akan bisa setara dengan Ukaz.
Puisi dan Publikasi Massa
Mengapa harus membawa-bawa “Al Muallaqat” pada tulisan ini? Itu karena ada relasi yang mengikat subjek saya sebagai guru Sejarah Kebudayaan Islam dengan acara yang digelar Komunitas Literasi Betawi di PDS HB. Jassin itu. Tidak bisa saya cegah, mengapalah ketika menyaksikan para penyair berpuisi pada perhelatan “Ketika Jakarta Tak Lagi Jadi Ibu Kota Negara”, otak saya terhubung pada Suq Ukaz dan “Al Muallaqat”. Jadi, ini soal naluri, soal rasa.
Sebab itu, saya menangkap pesan yang disampaikan Pak Asrizal Nur, Pembina KLB, pada kata sambutannya yang menyinggung bahwa puisi harus dibacakan di depan khalayak, tidak sebatas ditulis. Intinya, puisi harus dinikmati sebanyak-banyak orang dengan cara diperdengarkan. Pada acara launching buku seperti ini misalnya, ada panggung besar yang bisa menarik dan menghadirkan elemen masyarakat untuk menikmati puisi-puisi yang dibacakan para penyair. Nah, itu dia, otak saya langsung klik pada Suq Ukaz dan “Al Muallaqat”.
Kepuasan Literasi
Ada dua kepuasan yang saya rasakan saat hadir pada acara di Cikini kemarin. Pertama, kepuasan bahwa akhirnya saya punya satu puisi, satu puisi dalam satu buku bersama para penyair kawakan.
Halagh! Cuman satu doang!
Terserah mau dibilang apa. Sebagai yang sudah menulis novel, buku, buku teks, biografi, memoar, dan buku kumpulan cerita, satu puisi, bagi saya amat berarti daripada tidak sama sekali.
Lebih dari itu, kepuasan menghebat sebab akhirnya saya bisa menikmati panggung para penyair “berdansa” dengan diksi-diksinya. Langsung, melihat rupa, style, dan gema suaranya. Untuk itu pula, kepada Pak Sam Mukhtar Can, Ketua Umum KLB, terima kasih telah menjadi wasilah kesempatan ini. Dengan rasa hormat kepada Pak Sam, moga-moga lain waktu saya bisa silaturahim lagi.
Kedua, kepuasan literasi media. Ini mahal sekali. Dan, saya dapatkan di PDS. HB. Jassin kemarin. Apatah lagi, saat saya diperbolehkan petugas mengambil gambar surat-surat kabar edisi 1965-an seperti Suluh Indonesia, Harian tempo, dan Suara Islam. Ada dua harian lagi saya lupa dan tidak sempat saya ambil gambarnya.
Berapa bundel majalah sastra seperti Horison, Mimbar Indonesia, Majalah Arena, dan Zenith yang terbit pada kisaran 1946 sampai 1960-an juga dipajang di meja koleksi kaca. Pada etalase dekat majalah sastra ini, mata saya menyipit menatap “Sebatang Lisong”. Lalu, saya sempatkan mengambil gambar “SAJAK SEBATANG LISONG”-nya WS. Rendra itu yang masih naskah asli tulisan tangan yang artistik. Tahulah saya, sajak gubahan penyair bergelar ‘Si Burung Merak” itu ditulisnya pada 1977, 46 tahun silam.
Mata saya lalu tertuju pada Suara Islam edisi Djumat, 28 Agustus 1965. Di sana ada berita yang mengutip sosok yang saya kenal; K.H. A. Sjaichu (Allahuyarham). Pada 1989, saat pelantikan pengurus OSIS sewaktu di Madrasah Aliyah, saya disalami K.H. A. Sjaichu. Beliau memuji jaket almamater biru terang yang saya kenakan sambil tersenyum, senyum khas K.H. A. Sjaichu.
K.H. A. Sjaichu, tokoh agama dan politik. Beliau pendiri dan pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah, Depok dan inisiator institusi pendidikan dan lembaga Ittihadul Muballighien, tempat berhimpun para mubaligh dan mengirimnya ke berbagai daerah. Pada masa pemerintahan Soekarno, beliau sempat menjabat sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) pada 24 Februari 1966 – 17 Mei 1966.
Kepuasan Literasi
Ada dua kepuasan yang saya rasakan saat hadir pada acara di Cikini kemarin. Pertama, kepuasan bahwa akhirnya saya punya satu puisi, satu puisi dalam satu buku bersama para penyair kawakan.
Halagh! Cuman satu doang!
Terserah mau dibilang apa. Sebagai yang sudah menulis novel, buku, buku teks, biografi, memoar, dan buku kumpulan cerita, satu puisi, bagi saya amat berarti daripada tidak sama sekali.
Lebih dari itu, kepuasan menghebat sebab akhirnya saya bisa menikmati panggung para penyair “berdansa” dengan diksi-diksinya. Langsung, melihat rupa, style, dan gema suaranya. Untuk itu pula, kepada Pak Sam Mukhtar Can, Ketua Umum KLB, terima kasih telah menjadi wasilah kesempatan ini. Dengan rasa hormat kepada Pak Sam, moga-moga lain waktu saya bisa silaturahim lagi.
Kedua, kepuasan literasi media. Ini mahal sekali. Dan, saya dapatkan di PDS. HB. Jassin kemarin. Apatah lagi, saat saya diperbolehkan petugas mengambil gambar surat-surat kabar edisi 1965-an seperti Suluh Indonesia, Harian tempo, dan Suara Islam. Ada dua harian lagi saya lupa dan tidak sempat saya ambil gambarnya.
Berapa bundel majalah sastra seperti Horison, Mimbar Indonesia, Majalah Arena, dan Zenith yang terbit pada kisaran 1946 sampai 1960-an juga dipajang di meja koleksi kaca. Pada etalase dekat majalah sastra ini, mata saya menyipit menatap “Sebatang Lisong”. Lalu, saya sempatkan mengambil gambar “SAJAK SEBATANG LISONG”-nya WS. Rendra itu yang masih naskah asli tulisan tangan yang artistik. Tahulah saya, sajak gubahan penyair bergelar ‘Si Burung Merak” itu ditulisnya pada 1977, 46 tahun silam.
Mata saya lalu tertuju pada Suara Islam edisi Djumat, 28 Agustus 1965. Di sana ada berita yang mengutip sosok yang saya kenal; K.H. A. Sjaichu (Allahuyarham). Pada 1989, saat pelantikan pengurus OSIS sewaktu di Madrasah Aliyah, saya disalami K.H. A. Sjaichu. Beliau memuji jaket almamater biru terang yang saya kenakan sambil tersenyum, senyum khas K.H. A. Sjaichu.
K.H. A. Sjaichu, tokoh agama dan politik. Beliau pendiri dan pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah, Depok dan inisiator institusi pendidikan dan lembaga Ittihadul Muballighien, tempat berhimpun para mubaligh dan mengirimnya ke berbagai daerah. Pada masa pemerintahan Soekarno, beliau sempat menjabat sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) pada 24 Februari 1966 – 17 Mei 1966.
Potongan berita dari koran Suara Islam edisi Djum'at, 28 Agustus 1965. Gambar diambil dari kamera Handphone Abdul Mutaqin. |
Tentu, sebagai yang menaruh minat pada media, dokumen autentik media Suara Islam itu sangat menarik bagi saya. Maka, seperti orang kelaparan, saya foto media pada bingkai kaca etalase itu. Rasa-rasanya, ini seperti pembalasan dendam saat dulu ketahuan mengambil gambar lewat HP di Istana Topkapi, Istanbul kena teguran keras petugas: “No picture! No picture!” hanya karena saya memotret replika benda-benda peninggalan Nabi Muhammad SAW yang dipajang di istana itu.
Pokoknya, saya puas.
Sepi di Keramaian
Pokoknya, saya puas.
Sepi di Keramaian
Sebagian Penyair, Kurotaor, dan Peneyelenggara Antologi Puisi Ketika Jakarta Tak Lagi Menjadi Ibu Kota Negara berpose usai acara. Foto Milik Piet Yulia via Grup WA Menuju KLB 4. |
Ini hanya persoalan keluwesan. Apalagi, saya bukan apa-apa dalam dunia puisi di antara para penyair yang hadir. Haduh, siapa lah saya ini. Jadi, saya kurang luwes menyapa, mengenalkan diri, atau bahkan sekadar menghampiri bersalaman pada Pak Sam, Mas Wahyu, atau yang lain. Seharusnya tidak begitu, biar tidak merasa kesepian.
Alvian, yang sudah tiga tahun ikut KLB dan puisi-puisinya lolos kurasi pun, tidak lebih “genit” dari saya. Alvian adem banget. Atraktif, kek dikit pikir saya. Eh, guru muda ini malah asyik pada dirinya sendiri menyimak acara dan menyaksikan para penyair berpuisi.
Ah, bisa jadi, karena kami berdua sudah badmood. Kami dan sopir sekolah yang mengantar sudah gelagapan di area basement, muter-muter di area parkir mencari pintu buat menuju PDS. HB. Jassin ‘nggak ketemu-ketemu. Wkwkwkwkwk.
Setelah shalat Zuhur, terus tanya petugas, balik basement lagi, eh, masih juga gak ketemu. Beruntung ada peserta yang juga sedang menuju acara yang sama di depan pintu dekat lift. Aha, akhirnya sampai juga.
Semoga lain waktu, ada kesempatan untuk “beramai-ramai” dengan para penyair lagi. Selamat untuk 120 penyair yang puisi-puisinya masuk antologi “Ketika Jakarta Tak Lagi Jadi Ibu Kota Negara”. Selamat untuk saya dan Alvian juga. Hehehehe.
Menjelang pindahan, 27 Agustus 2023.
Alvian, yang sudah tiga tahun ikut KLB dan puisi-puisinya lolos kurasi pun, tidak lebih “genit” dari saya. Alvian adem banget. Atraktif, kek dikit pikir saya. Eh, guru muda ini malah asyik pada dirinya sendiri menyimak acara dan menyaksikan para penyair berpuisi.
Ah, bisa jadi, karena kami berdua sudah badmood. Kami dan sopir sekolah yang mengantar sudah gelagapan di area basement, muter-muter di area parkir mencari pintu buat menuju PDS. HB. Jassin ‘nggak ketemu-ketemu. Wkwkwkwkwk.
Setelah shalat Zuhur, terus tanya petugas, balik basement lagi, eh, masih juga gak ketemu. Beruntung ada peserta yang juga sedang menuju acara yang sama di depan pintu dekat lift. Aha, akhirnya sampai juga.
Semoga lain waktu, ada kesempatan untuk “beramai-ramai” dengan para penyair lagi. Selamat untuk 120 penyair yang puisi-puisinya masuk antologi “Ketika Jakarta Tak Lagi Jadi Ibu Kota Negara”. Selamat untuk saya dan Alvian juga. Hehehehe.
Menjelang pindahan, 27 Agustus 2023.
0 Comments
Posting Komentar