Library with hanging bulbs. Foto credit 🇸🇮 Janko Ferlič, on Unsplash.

Di lingkungan sekolah, pernah berembus anggapan bahwa perpustakaan tidak lebih sebagai "tempat buangan" para guru bermasalah. Entah. Siapa yang memulai embusan anggapan itu, tidak jelas sosoknya. Apa maksudnya, pun lebih tidak jelas lagi.

Hanya saja, ketidakjelasan ungkapan dua kata di atas cukup "menyakitkan" bagi dunia literasi. Orang umum pun, hampir pasti akan berpikir bahwa maksud "tempat buangan" itu tidak pelik dimengerti, semudah menjawab pertanyaan: di mana akan diletakkan barang-barang usang yang tidak terpakai lagi?

Akan tetapi, boleh jadi ungkapan di atas justru lahir dari ruang perpustakaan. Orang dengan minat literasi yang baik, kecewa dengan wajah perpustakaan sekolah yang minim kreasi dan inovasi, khususnya kreasi dan inovasi yang memantik minat baca dan minat mencipta hasil bacaan di perpustakaan. Ia hanya ruang persegi empat tempat menyimpan koleksi. Sebatas layanan meminjam dan mengembalikan koleksi an sich!

Bila demikian, perpustakaan memang kehilangan dirinya. Ia nyaris hidup tanpa roh, tanpa jiwa. Tidak ada spirit yang menggerakkan nalar dan imajinasi di mana dunia sastra berkembang. Rasanya, ungkapan "tempat buangan" masih lebih lunak ketimbang ungkapan "ayam mati kelaparan di lumbung padi" untuk menilai perpustakaan.|

Perpustakaan itu sesungguhnya menyandang status elit, lebih elit dari coffee shop atau resto yang cukup sekadar memuaskan perut. Perpustakaan hadir pada level nalar, bukan syahwat. Perpustakaan dibangun untuk memuaskan otak, menghidupkan critical thinking, dan menggerakkan imajinasi untuk berkarya. Kealpaan peran perpustakaan pada tiga kecakapan di atas boleh jadi sebab yang membuat perpustakaan kehilangan rohnya dan dinilai cocok sebagai "tempat buangan" saja.|

Sebenarnya agak konyol bila sekadar memahami marwah perpustakaan, orang harus rela mundur ingatannya ke abad pertengahan, abad di mana Islam menjadi pusat peradaban dunia. Orang madrasah jangan sampai lupa, peradaban Islam berkembang sepanjang abad ke-7 hingga abad ke-13 M salah satunya karena dua hal; perpustakaan dan buku.

Saat itu, Eropa belum apa-apa. Masyarakat Eropa yang dipandang secara fisik sangat maju hari ini, masih hidup dalam keterbelakangan akut dan buta huruf. Meski begitu terbelakang, mereka sudah mengenal buku. Hanya saja, buku-buku itu hanya ada di gereja-gereja, sebatas buku-buku tentang ketuhanan, dan hanya dibaca oleh para pendeta.

Perpustakaan terbesar di Eropa saat itu sebuah Katedral di Konstantinopel. Perpustakaan ini memiliki koleksi buku-buku agama yang jumlahnya tidak lebih dari 354 koleksi. Di Portugis, sekitar tahun 1302 disebut-sebut sudah ada perpustakaan di gereja Bunduqiyah. Koleksinya hanya 400 buku. Raja Prancis, Carli, yang terkenal sebagai filsuf, ketika ia ingin mendirikan perpustakaan di akhir abad ke-14 M, konon ia tidak dapat mengumpulkan buku selain buku-buku kerajaan yang jumlahnya hanya 900 jilid. Sepertiga dari buku-buku itu, pun buku-buku tentang ilmu ketuhanan.

Sementara itu, peradaban Islam memiliki Baitul Hikmah, perpustakaan besar pertama di Baghdad yang mengoleksi dan mengelola kitab-kitab dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan kitab hasil penerjemahan dari berbagai bahasa. Koleksi Baitul Hikmah sangat beragam mencakup berbagai bahasa seperti Arab, Yunani, Sansekerta, dan lain-lain. Diketahui, jumlah koleksi Baitul Hikmah mencapai lebih dari 60.000 buku. Bahkan ada yang menyatakan sekitar 400 hingga 500 ribu buku. Perpustakaan penuh dengan naskah-naskah Yunani, Persia, dan Qibti untuk diterjemahkan. Setiap karya ilmiah hasil kajian perpustakaan ditimbang dan diganti dengan emas seberat timbangan karya ilmiah tersebut.

Selain Baitul Hikmah, terdapat perpustakaan-perpustakaan pada masa kemajuan Islam. Ada Maktabah Sabur di Baghdad dengan 10.000 koleksi, Maktabah Al-Hakam di Qurthubah (Cordoba, Spanyol) dengan 400.000 koleksi, Maktabah Al-Qushur di Kairo dengan 1.600.000 koleksi, Darul Hikmah di Kairo dengan 100.000 koleksi, Maktabah Tharabulus di Syam dengan 3.000.000 koleksi, Maktabah Maraghah dengan 400.000 koleksi, dan Maktabah-Maktabah yang lain dengan koleksi tidak kurang 120.000 buah. Di antara perpustakaan-perpustakaan itu, perpustakaan sekolah menjadi bagian dari khazanah kemajuan literasi Islam pada abad pertengahan.|

Perlu dicatat, hadirnya kemewahan ilmiah dan literasi pada masa keemasan Islam karena perpustakaan menjadi pusat intelektual, pusat kreativitas, dan pusat peradaban. Inilah maksud dari perpustakaan sebagai tempat elit.

Hawanit Al-Warraqin (toko buku) saja bukan sekadar tempat berjual beli buku pada masa itu. Ia naik kelas menjadi fenomena peradaban dan kebudayaan serta kegiatan ilmu yang didatangi oleh para budayawan dan sastrawan di mana mereka mengambil bagian tempat berkumpul untuk melakukan kajian.

Di Spanyol, di bawah kekuasaan Daulah Bani Umayyah Andalusia, tradisi intelektual umat Islam mengantarkan Spanyol-Islam dari abad 9-11 menjadi salah satu pusat kebudayaan Islam dan dunia. Maka, para pelajar dari Inggris, Perancis, dan Jerman yang datang ke Cordoba sampai berpakaian Arab supaya terlihat sebagai akademisi menjadi fenomena yang biasa. Bahkan, mereka membentuk kelas sosial tersendiri yang belakangan dijuluki sebagai “Mozarab” (Arabnya; “Musta’rib”) yang berarti “Arab pendatang”.

Pendek kata, dunia perpustakaan dan buku pada masa kejayaan Islam–baik di Baghdad dan Cordova)– sangat menggairahkan. Sebegitu menggairahkan ia, para penulis tidak berhenti berkarya dalam berbagai disiplin ilmu.|

Satu waktu, perpustakaan sepakat dinilai sebagai sangat penting. Kapan? Saat akreditasi sekolah. Setelah itu, perpustakaan seperti dikembalikan pada nasibnya; wujuduhu ka adamihi, keberadaannya seperti ketiadaannya.

Akan tetapi, anggapan ini tidak berlaku bagi madrasah literat, pendidik dan tenaga kependidikan literat, peserta didik literat, pemangku kebijakan madrasah literat, dan tentu saja pustakawan literat secara lebih spesifik. Apabila bertemu semua insan literat itu dalam satu frekuensi, maka marwah perpustakaan akan kembali pada posisinya yang elit. Anggapan bahwa perpustakaan sebagai "tempat buangan" pun, patah dengan sendirinya.|

Ruang Guru, 04 Agustus 2023.