Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono.

BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik. Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis.

Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences– di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di antara delapan kecerdasan di atas.

Akan tetapi, tulisan ini tidak membicarakan teori Gardner yang bersifat profan. Tulisan ini membicarakan sisi teoretis dan praksis Mas Mono yang bersifat transenden sebab ia menawarkan kecerdasan pada kesadaran mati kepada banyak orang yang memiliki kesadaran hidup. Saya menyebut teori Mas Mono dengan “Three Cycles of Certainty” atau Tiga Siklus Kepastian; hidup, mati, dan jenazah.

Mas Mono membuka kesadaran (mindset) banyak kalangan muslim bahwa mengurus jenazah bukanlah perkara yang menakutkan, melainkan amalan menyenangkan. Sebegitu menyenangkannya, Mas Mono mengubah persepsi dari enggan menjadi semua ingin memuliakan jenazah.

Ini di luar dari kelaziman, di mana kebanyakan orang akan merasa ngeri jika sudah berhadapan dengan urusan jenazah, urusan memuliakan kematian. Memang, begitulah tabiat manusia umumnya yang menyukai kehidupan dan ingin lari menghindar dari kematian.

Mas Mono juga membalikkan teori dan kebiasaan di masyarakat di mana mereka selalu menyerahkan urusan memandikan dan mengkafani jenazah sebagai tugas Amil atau Modin. Masyarakat memahami kewajiban kifayah itu bila sudah ditangani Amil, gugurlah sudah kewajiban mereka hanya dengan berpangku tangan. Sedangkan Mas Mono menyadarkan bahwa setiap muslim adalah “Amil” bagi jenazah saudaranya. Pemahaman kifayah demikian itu lebih proprosional dalam pandangannya.

Teori Mas Mono, bahwa setiap muslim adalah “Amil” bagi jenazah saudaranya sebagai pemahaman kifayah yang lebih benar dan lebih bisa diterima. Sebab boleh jadi, akan datang masanya orang satu kampung atau satu komplek akan menjadi tergagap-gagap bila yang meninggal adalah sang Amil, sedangkan sang Amil tidak bisa memandikan dan mengkafani jenazahnya sendiri sebagaimana orang sekampung atau sekomplek itu tak satu pun yang cakap mengurus orang mati.

Teori Mas Mono ini bahkan lebih masuk akal. Mari pikirkan dengan jernih. Bila orang satu kampung atau satu komplek setiap individunya memiliki kecakapan memuliakan jenazah sesuai tuntunan syari’at, maka setiap mereka akan merasakan ketenangan menjalani hidup menunggu mati. Mereka yakin pada saat dia mati nanti, orang akan berebutan memuliakan jenazahnya, bukan berebut menghindar karena persoalan kecakapan tadi. Bukankah begitu?

Mas Mono dengan KPJ (Komunitas Peduli Jenazah)-nya aktif mengedukasi komunitas dakwah, ustaz, Amil, dan masyarakat muslim dari berbagai kalangan dan profesi melalui Institut Manajemen Kematian, salah satu sayap dakwah Masjid Raya Pondok Indah. Sebagai Direktur KPJ, Mas Mono sudah menggelar Kuliah Manajemen Kematian dengan ribuan peserta di Masjid Raya Pondok Indah dan di berbagai tempat. Karena teoretis dan praksisnya ini, Mas Mono mendapat gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa) Bidang Management Sciences dari Universal Institute of Professional Management-UIPM International, Kuala Lumpur, Malaysia pada 10 November 2022.|


PUKUL 10.39 hari ini, Ahad 17 September, saya baru sempat membuka WA. Pukul 08.42 sudah ada foto dan pesan masuk. “Ust salam dr Ust Rusmono.. Assalamualaikum wr wb. Lg mengisi acara di tempat kami”. Begitu isi pesannya. Yang mengirim kolega saya di Madrasah Pembangunan Jakarta, Ustaz Momon Mujiburrahman.

Saya timbang-timbang, saya putuskan meluncur ke Masjid Ashshirathal Mustaqim, Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok, tempat acara digelar. Biarlah hanya sebentar asalkan bisa bertemu mengobati kangen dengan teman seangkatan waktu kuliah di UIN 30 tahun lalu dan dapat ilmu “Three Cycles of Certainty” yang dibawakannya di penghujung acara. Ketemu juga dengan Ustaz Mardi, sahibul masjid dan yang membawakan acara. 

Silaturrahim yang sungguh berkesan, terutama soal kopi itu. Afwan ya, Ustaz Mardi. 

Mas Mono seperti tidak berubah, masih tetap muda seperti zaman kuliah. Bicaranya lugas, apa adanya, dan tidak pernah lepas senyum saat bicara. Ia tipe orang bahagia lahir batin. Bisa jadi Mas Mono tetap muda dan bahagia karena tak henti menginspirasi banyak orang.

Mas Mono terus menginspirasi banyak muslim menjadi cerdas, secerdas menurut kriteria baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshar mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?” ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah).

Dari Mas Mono banyak orang belajar, bahwa setiap orang boleh cerdas seperti teori kecerdasan Gardner. Akan tetapi, dalam pandangan hidup muslim, kecerdasan itu tidak terlalu banyak berarti bila melupakan kecerdasan seperti pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Imam Ibnu Majah di atas. Hal inilah yang di-highlight Mas Mono di masjid Komplek Griya Sasmita hari ini.

Allahul musta’an.|