Ilustrasi generasi milenial. Resource dari https://news.unair.ac.id/

KALI ini ada rasa ‘gregetan’ dengan penceramah undangan yang isi ceramahnya out of context. Berharap dapat pencerahan baru bagaimana meneladani akhlak Nabi shallallahu alaihi wa sallam, malah miskin dari nilai cerah. Alih-alih ingin membuat suasana segar, penceramah malah melempar pantun bernuansa dewasa. Itu konten belum cukup umur untuk peserta didik tingkat Tsanawiyah. Ini poin pertama.

Berharap dapat refleksi dari ‘orang luar’, mendatangkan penceramah sebenarnya strategi bagus. Memang harus dipilih cara ini agar anak-anak dapat nuansa baru. Kalau tiba-tiba guru mereka sendiri –misalnya Pak Abdul– yang naik panggung ceramah, bisa-bisa mereka nyeletuk, “Dia lagi dia lagi”. Jadi, meskipun values atau isi ceramah itu sama saja dengan guru mereka sendiri, kejenuhan bisa dihindarkan.

Hanya saja, bila penceramah luar itu tidak well prepare, ceramah akan tidak efektif. Sangat mungkin pada waktu yang bersamaan, peserta didik asyik ngobrol dengan kiri-kanan, penceramah asyik sendiri dengan ceramahnya. Itulah yang terjadi pada acara maulid Jumat (28/9) kemarin.

Ujung-ujungnya, tidak kurang dari 30 menit penceramah sudah turun panggung, ceramah usai, zonk values, peserta didik ‘gak dapat apa-apa. Alasan penceramah bikin geli, karena anak-anak ‘gak fokus dengerin. E, busye?

Orang yang punya sense of critical thinking tentu bertanya, mengapa anak-anak ‘gak fokus dengerin? Tentu jawaban yang paling masuk akal bukan karena anak-anak ‘gak mau dengerin, tapi karena isi ceramah tidak menarik. Ditambah lagi dengan kegagalan penceramah merebut perhatian anak-anak.

Ini risiko mendatangkan penceramah luar yang tidak populer. Lain soal bila penceramah yang diundang  sekelas Dennis Liem. Kalau sudah Dennis Liem yang turun, rasa-rasanya, dia mau ngomong apa saja, pada suka semua. Jangankan peserta didiknya, guru-guru mereka yang perempuan juga betah berlama-lama dengerin Dennis Liem ceramah. Eheheheheh. Itu karena Dennis Liem punya tiga modal yang sangat kontekstual; popularitas, ganteng, dan da’i milenial.

Akan tetapi, populer tidak populer figur penceramah bukan satu-satunya kunci ceramah menjadi menarik. Misalnya, sebelum naik panggung, penceramah harus mau melakukan riset, meskipun hanya riset kecil-kecilan. Penceramah luar –populer atau belum– wajib tahu bagaimana kebiasaan audiens, dari kelas mana mereka datang, apa umumnya hobi mereka, bagaimana kondisi jika mereka mendengarkan ceramah dari penceramah luar sebelumnya, mana yang lebih kondusif antara ceramah dengan media indoor atau outdoor.

Ini resources yang harus diolah untuk mengemas materi ceramah. Rumit, ya. Ya, memang rumit, tapi kan sepadan dengan kemampuan menghadirkan ceramah yang memikat. Lagi pula, data-data itu bisa digali dari Wakasis. Wakasis punya semuanya. Jadi, ‘gak rumit, tinggal minta bocoran saja, selesai.

Naik panggung tanpa persiapan cukup, atau menyamakan dengan audiens di tempat lain, belum tentu presisi untuk segmentasi murid sekolah. Bila nekat, ini sama saja dengan ‘bunuh diri’. Apalagi untuk audiens sekelas peserta didik Madrasah Pembangunan. Ceramah tanpa well prepare di sini, sama saja masuk medan tempur tidak bawa senjata. Ujung-ujungnya penceramah minder sendiri karena merasa ceramahnya kurang mendapat respons. Ini poin kedua.

Masih ada cara alamiah untuk mengatasi lost focus audiens. Di sini, volume jam terbang dan pengalaman sangat menentukan. Jika merasa audiens sudah tidak memberi perhatian cukup, mengapa tetap stay di panggung? Cobalah turun. Dekati mereka. Libatkan mereka dalam ceramah. Ini efektif untuk merebut perhatian audiens. Tentu, mereka akan tersentak dan lalu memberi perhatian. Tinggal, pertahankan perhatian mereka itu dengan pesan-pesan yang menyentuh. Ini jauh lebih bermakna ketimbang membiarkan mereka tidak memberi perhatian dengan tetap ngomong di atas panggung. 

Hal berikutnya adalah konten maulid yang 'sekufu' dengan usia mereka. Ada banyak bahan ceramah maulid yang bisa digali untuk peserta didik di zaman milenial ini. Bawakan saja kisah masa kecil Nabi yang sudah menggembala kambing sebagai bentuk kerja keras untuk memenuhi sedikit keperluan beliau. Ini penting untuk menanamkan karakter sabar dan kerja keras kepada anak-anak milenial atau generasi Z hari ini yang lebih suka pada hal-hal yang bersifat instan, maunya serba cepat, dan cenderung malas menjalani proses yang rumit. Kalau mengaku cinta Nabi, ya harus mau kerja keras. Itu poinnya tu.

Bawakan juga kisah masa kecil Nabi sampai beliau dewasa sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul yang tidak secuil pun terpengaruh tradisi jahiliyah dengan segala potret negatif cermin kemerosotan moral, etika, dan akhlak masyarakat Arab waktu itu. Bangun narasi kontekstual dengan dampak negatif dunia digital hari ini, tantangan terbesar generasi milenial dan generasi Z yang akrab dengan gadget karena begitu mudahnya mereka mengakses konten negatif melalui layar ponsel mereka. Katakan kepada mereka, sebesar apa pun bahaya era digital, seberapa sering pun menggunakan gaway, mereka tetap setia pada nilai-nilai akhlakul karimah warisan Sang Nabi. Keren, kan?

Ah, ya wis. Jangan diambil hati. Ini tulisan sembarang menunggu jam bubar sekolah.

Senin, 2 Oktober 2023.