Word of Honorable. https://thesaurus.plus/synonyms/honorable |
Ada sahabat Facebook saya dari Surabaya; Mas Agung Prihandoko. Mas Agung merespons status WA saya hari ini. “Terungkap aja masih ngeri,” tulis Mas Agung yang dikirim ke nomor saya. Ini kali yang ke sekian Mas Agung ‘open’ dengan status WA saya.
Saya suka sekali mengoleksi keyword penting. Ia saya petik dari mendengar, menyimak, mengamati, bahkan sering saya pisahkan dari obrolan ringan dengan siapa saja. Lalu, keyword itu saya ikat jadi status WA seperti status WA saya hari ini.
Keyword dan status WA saya itu ide tulisan tersimpan. Karena status WA itu umurnya hanya 24 jam, maka sebelum status itu “mati” esok hari, saya sempatkan mengembangkannya menjadi narasi yang cukup untuk dibaca sekali duduk. Apalagi respons Mas Agung di atas jadi pemantik. Cepat-cepatlah ide itu diabadikan.
Adalah cerita Pak Tanenji; Kasubdit PAUD Yayasan Syarif Hidayatullah saat beliau menyampaikan sambutan dan membuka acara “Ngaji Bareng” di aula Masjid Andalusia Madrasah Pembangunan pada 10/11/23 selepas Jumatan. Ada dari sekian butir dari pesan beliau yang sayang bila hanya didengar lalu dilupakan.
Tentu, tidak cukup ruang dan waktu menurunkan cerita Pak Tanenji itu di sini untuk efisiensi narasi. Inti cerita Pak Tanenji adalah tidak mudahnya orang tua meluluhkan hati anak bila sudah bertemu simpul dengan guru. Bila orang tua memandang ada hal yang keliru dari anaknya dan ingin meluruskan, seringkali anak mengelak dengan bahasa kepatuhan pada gurunya, “Kata Bu guru emang begini!” Kalau sudah demikian –meminjam istilah Ustaz Zaki al-Hafiz– ruwet, ruwet.
Bila kesalahan itu substansial seperti kesalahan bacaan Alquran, boleh jadi kesalahan itu akan melekat selamanya pada jiwa anak. Maka, beruntung bila sejak awal orang menyadarinya dan kesalahan itu terungkap. Kalimat yang saya miringkan, itulah keyword Pak Tanenji yang saya gubah jadi status WA: “Bayangkan bila kesalahan itu tidak pernah terungkap…. Dalem, ngeri.”
Karena Pak Tenaneji sedang membawakan cerita faktual dan beliau ini dosen yang panjang akal, beliau memberi saran jitu pada orang tua sang anak untuk meluruskan kekeliruan itu, bukan dari mulutnya karena kemungkinan akan sia-sia. Dan, cukup lima menit saja, kekeliruan itu selesai melalui guru si anak itu sendiri. Nah, kecerdikan membangun komunikasi awal kepada guru itu untuk mengubah kesalahan persepsi anak, ini mahal.
***
Ngaji Bareng hari ini bertajuk Bacaan Gharib dan Musykilat. Saking gharib dan musykil-nya, pernah belajar, tapi karena jumlah kata-kata gharib dan musykil itu sedikit dari sebanyak 77.845 kata dalam Alquran, jadi sering lupa bila sendirian menemukan bacaan itu dalam mushaf.
Ngaji seperti ini penting pake “banget”. Apalagi bagi guru madrasah, tak peduli apakah itu guru Sains, PJOK, IPS, Bahasa Inggris, PKn, atau guru Seni dan Budaya. Membaca Alquran dengan benar memang bukan khusus untuk guru Quran Hadits, Fikih, atau guru Tahfizh. Guru vokal pun apabila dia muslim, Fardu Ain hukumnya membaca Alquran sesuai tajwid.
Nah, dari ngaji tadi siang itu, kami para guru disegarkan lagi dengan Saktah, Imalah, Isymam, Naql, Tashil, dan aneka musykilaat perubahan suara bacaan. Aduh, rasanya masih banyak hal tercecer dari Alquran yang belum dikuasai, seperti ada huruf sin dalam satu kalimat yang bisa dibaca dengan suara huruf shad dan sebaliknya. Nah, kondisi tercecer ini khususnya berlaku bagi pribadi saya.
Ngaji Bareng tadi siang ini sejuk. Jiwa terasa disiram embun oleh suara merdu narasumber saat memberi contoh perihal bacaan Gharib dan Musykil. Masya Allah. Andai orang bisa meminta suara merdu seperti itu sesaat dia “brojol” ke dunia, bolehlah saya orang pertama yang merengek diberi. Apalah daya, pita suara saya sudah bawaan pabriknya tak semerdu milik narasumber.
Suasana Ngaji Bareng juga terasa segar dengan pertanyaan-pertanyaan unik, tapi penting ala Pak Dry yang kadang terkesan Anti Mainstream. Oh, iya, suara Pak Dry juga merdu saat mengaji atau mengimami shalat Jumat. Ini valid. Kombinasi sempurna antara merdu suara dan Anti Mainstream. Usai foto-foto hendak shalat Ashar, saya candai Pak Dry. “Untung tadi Pak Dry tidak bertanya, Pak Kiai, itu nun mati, siapa yang bunuh?”
***
Beberapa hari yang lalu, di WA grup MTs dibagikan tulisan Dr Fauzan. Judulnya“Mengembalikan Marwah Pendidikan”. Ada di dalamnya disinggung karakter guru sebagai “Al-Muzakki”, yakni guru yang menunjukkan dirinya sebagai pribadi bersih, suci dari hal kemaksiatan, sosok yang selalu menjadi cermin kebaikan peserta didik. Juga karakter “Al-Muaddib” yang dapat dipahami sebagai sosok yang berperan dalam proses pembentukan nilai keadaban, budi pekerti, dan akhlak peserta didik melalui pembiasaan.
Terus terang ini berat, berat sekali. Boleh jadi, marwah pendidikan akan runtuh bila guru sendiri tidak punya marwah karena gagal menunjukkan karakter “Al-Muzakki” dan “Al-Muaddib” di hadapan peserta didik. Di sinilah bertemu koneksi cerita faktual Pak Tanenji dengan tulisan Dr Fauzan dalam persepsi saya hari ini meskipun konteksnya tidak sama.
Sedangkan marwah guru harus juga dijaga bukan hanya di hadapan peserat didik, tapi juga di hadapan sesama guru. Kalau boleh dipertegas, guru yang memegang jabatan, lebih mahal harga marwahnya dari harga marwah guru biasa dalam konteka relasi kepemimpinan pedagogik di suatu lembaga. Keduanya punya kewajiban untuk saling menjaga marwah masing-masing.
Uang sering menjadi Jebakan Batman. Marwah guru bisa terancam hilang disapu angin tergoda uang yang bertalian dengan posisi jabatan. Bila itu terjadi –seperti kasus penyelewengan dan BOS yang ramai di medosos misalnya–hilang pula marwah guru dan marwah pendidikan sebab jabatan itu sudah dijadikan sebagai mesin uang yang mencoreng marwah.
Oleh karena itu, jangan sungkan-sungkan betindak bila ada dari kolega guru sejawat mulai “miring-miring” masuk Jebakan Batman. Harus ada kolega yang mengingatkan sejawat itu agar marwah guru dan pendidikan tidak jatuh terjerembab karena ulahnya. Jangan setali tiga uang dengan membiarkan, apalagi ikut masuk Jebakan Batman karena manisnya uang yang semanis madu.
Dalam konteks ini, boleh juga dibongkar filosofi tulisan Dr Fauzan itu. Apakah tulisan beliau merupakan refleksi dari marwah pendidikan yang memang sudah hilang hingga dia harus dikembalikan. Atau sekadar warning agar guru benar-benar kuat mental mempertahankan karakter “Al-Muzakki” dan “Al-Muaddib” sebagai yang digugu dan ditiru.
Bila marwah guru telah jatuh dan marwah pendidikan telah hilang, hancurlah peradaban. Sosiolog dan pemikir Maroko Dr. Mehdi El Manjra (1933-2014) meskipun mengutip pendapat seorang Orientalis, boleh juga disinggung ungkapannya di sini karena cukup relevan, yakni soal jalan rusaknya peradaban.
Kata Mehdi:
”Idza aradta an tahdim hadaarat, fa hunaaka tsalaatsu wasaail; hadmi al-usrah, hadmi al-ta’lim, isqaat al-qudwah.” Bila Anda ingin menghancurkan sebuah peradaban, ada tiga caranya: dengan merusak rumah tangga; merusak pendidikan, dan merusak panutan.
Di lain segmen, cerita Pak Tanenji tadi siang, mengingatkan pada kisah Iskandar Dzul Qarnain dan penghormatan Raja Agung itu pada sang guru. Dikisahkan, Iskandar Dzul Qarnain pernah ditanya mengapa dia begitu menghormati gurunya lebih dari menghormati kedua orangtuanya.
“Li anna abi anzalani min al-sama ila ‘l-ardhi, wa ustadzi yarfa’uni min al-ardhi ila ‘s-samai.” Karena orangtuaku telah menyebabkan aku turun dari langit ke bumi, sementara guruku mengangkat aku dari bumi ke langit. Demikian jawaban Iskandar Dzul Qarnain menempatkan guru sebagai orang yang patut dihormati sebagaimana menghormati orang tua. Sudah pasti, guru yang dihormati Iskandar Dzul Qarnain adalah guru dengan marwah mulia.
Ini berat, berat sekali. Semoga marwah masih tegak di pusat peradaban dibangun.|
”Idza aradta an tahdim hadaarat, fa hunaaka tsalaatsu wasaail; hadmi al-usrah, hadmi al-ta’lim, isqaat al-qudwah.” Bila Anda ingin menghancurkan sebuah peradaban, ada tiga caranya: dengan merusak rumah tangga; merusak pendidikan, dan merusak panutan.
Di lain segmen, cerita Pak Tanenji tadi siang, mengingatkan pada kisah Iskandar Dzul Qarnain dan penghormatan Raja Agung itu pada sang guru. Dikisahkan, Iskandar Dzul Qarnain pernah ditanya mengapa dia begitu menghormati gurunya lebih dari menghormati kedua orangtuanya.
“Li anna abi anzalani min al-sama ila ‘l-ardhi, wa ustadzi yarfa’uni min al-ardhi ila ‘s-samai.” Karena orangtuaku telah menyebabkan aku turun dari langit ke bumi, sementara guruku mengangkat aku dari bumi ke langit. Demikian jawaban Iskandar Dzul Qarnain menempatkan guru sebagai orang yang patut dihormati sebagaimana menghormati orang tua. Sudah pasti, guru yang dihormati Iskandar Dzul Qarnain adalah guru dengan marwah mulia.
Ini berat, berat sekali. Semoga marwah masih tegak di pusat peradaban dibangun.|
0 Comments
Posting Komentar