Lintang Aulia Madani, salah satu kontributor Antologi Janji Surga Tertinggi dan Lezatnya Kesabaran |
Menemukan quote Toni Morrison yang ini: “If there's a book that you want to read, but it hasn't been written yet, then you must write it,” jadi merenung. Kata Morrison, jika ada buku yang ingin kamu baca, tetapi belum ditulis, maka kamu harus menulisnya.
Ini gimana? Tapi, iya juga, sih.
Masalahnya, menulis itu tidak mudah. Ia bukan keterampilan cepat saji seperti memasak mie instan yang cuma butuh 2 sampai 4 menit saja mie sudah bisa dinikmati. Sedangkan menulis untuk melahirkan karya buku, prosesnya panjang dan melelahkan.
Menulis juga butuh ‘banyak’ modal; modal banyak baca, banyak jalan-jalan, banyak riset, banyak berlatih, dan banyak mengamati topik yang sedang hangat dibincangkan. Peka pada momentum juga penting sebagai modal menulis. Jadi, tidak sesederhana yang diucapkan Morrison.
Boleh jadi, bagi Morrison menulis itu sederhana, sesederhana penulis Afro-Amerika ini memasak mie instan. Wajar sih, dia memang penulis kawakan. Romannya; Beloved mengantarkannya memenangkan Pulitzer Prize pada 1988. Pada 1993, Morrison dianugerahi Hadiah Nobel dalam bidang Sastra. Ia menjadi tokoh pertama Afro-Amerika yang menerima penghargaan ini.|
Setahun lalu, pada 18 November 2022, sehari sebelum ikut hadir di arena menggembirakan Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Surakarta, saya menginap di Panti Asuhan Yatim ‘Aisyiyah 03 Banyudono, Boyolali. Bukan suatu kebetulan, ustaz dan ustazah Pengasuh panti ini dulunya berkhidmah pada Pondok Pesantren Muhammadiyah Darul Arqam, Sawangan, Depok tempat istri saya mondok.
Saya senang, Pengasuh panti menaruh perhatian besar pada literasi menulis. Beliau ingin anak-anak asuhnya melek literasi, punya skill menulis, salah satu keterampilan untuk menjawab kebutuhan abad 21. Saya pikir ini sosok Pengasuh panti yang “langka”. Gagasannya langka pula untuk dunia panti, meskipun pada panti di bawah pembinaan Muhammadiyah atau Aisyiyah. Ini sesuatu banget.
Maka, saya penuhi keinginan Pengasuh. Saya bersedia sharing tips menulis meskipun dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Jadilah small workshop menulis. Saya ajak penghuni panti memulai menulis yang enteng-enteng; cerpen dan pentigraf berbasis pengalaman keseharian. Filosofinya sederhana, yakni menulis hal-hal ringan dari pengalaman keseharian jauh lebih mudah dituangkan dalam narasi daripada murni berbasis imajinasi sebagai sifat dari karya fiksi.
Sebagaimana sudah dimaklum, Muhammadiyah dan Aisyiyah mengusung tagline “berkemajuan” dan “mencerahkan”. Tentu saja, salah satu poin dari makna di balik tagline “berkemajuan” dan “mencerahkan” adalah kemampuan berliterasi. Satu dari sekian kemampuan berliterasi itu adalah literasi menulis di samping literasi membaca.
Dari sini, bolehlah disimpulkan, bahwa salah satu ciri dari karakter berkemajuan dan mencerahkan ada pada aktivitas membaca dan menulis. Semakin intens aktivitas membaca dan menulis, semakin tampak jelas karakter berkemajuan dan mencerahkan itu. Sebaliknya, bila tidak ada aktivitas membaca menulis, bahkan terkesan senyap karena tidak menaruh perhatian sedikitpun, karakter berkemajuan dan mencerahkan seperti rasa masakan tanpa garam.
Seharusnya, geliat aktivitas membaca dan menulis dalam konteks melahirkan produk pada sekolah-sekolah dan pondok-pondok pesantren Muhammadiyah menjadi aktivitas dominan di semua tingkatan. Bila perlu, keterampilan menulisnya menjadi distingsi dan mendapat perhatian serius. Karena kita tahu, lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah merupakan basis persemaian kader persyarikatan. Orang boleh kurang setuju, tapi bagi saya ini penting, bahwa kader persyarikatan harus fasih lidah dan “fasih” penanya.
Menulis itu bukan bakat, melainkan keterampilan. Keterampilan itu perlu dilatih. Semakin dilatih, semakin terampil. Karena kemampuan menulis itu sebuah keterampilan, maka siapa pun harus berlatih. Semakin intens ia berlatih menulis, semakin mahir dia menulis. Boleh jadi, benarlah tips menulis yang diberikan Kuntowijoyo. Kata budayawan Muhammadiyah ini, kunci supaya mahir menulis hanya tiga. Pertama, menulis. Kedua, menulis. Dan ketiga, menulis.|
Sebenarnya, saya menyimpan tulisan ini sejak setahun lalu, saat pulang dari Panti Asuhan Yatim ‘Aisyiyah 03 Banyudono, Boyolali itu. Bagaimanapun, saya tahu kerepotan melahirkan karya buku. Apalagi, gagasan besar ini diusung Panti Asuhan Yatim dengan segala keterbatasannya. Jadi, andaikata tidak ada karya yang lahir dari small workshop menulis dari jemari anak-anak panti, permakluman saya lebih besar dari harapan saya yang menggunung.
Rupanya, pendampingan terus dilakukan Pengasuh panti selepas saya pulang. Pengasuh selalu memompa semangat menulis anak-anak asuhnya hingga lahir karya antologi cerpen dan pentigraf perdana mereka “Lezatnya Kesabaran” dan “Janji Surga Tertinggi” dalam dua wajah pada satu format buku. Ini benar-benar mengubah stigma panti yang cenderung dipandang sebagai “mustad’afin” di beberapa lini hidup mereka.
Tentu, saya malu sendiri dengan asumsi saya di muka, bahwa keterbatasan panti akan menghambat mereka berkarya. Nyatanya tidak. Di tangan saya sekarang antologi itu bisa saya raba. Tekstur paragraf, penokohan, diksi, alur, konflik, dan ending cerita sudah saya baca separuh. Ini patut disambut gembira segembira menyandang sebutan “berkemajuan” dan “mencerahkan” dalam kumpulan narasi yang dibukukan. Adakah panti Muhammadiyah atau Aisyiyah lain yang sudah melangkah sejauh ini?|
“Lezatnya Kesabaran” dan “Janji Surga Tertinggi” lahir dari rekaman hidup yang diawetkan. Anak-anak Panti Asuhan Yatim ‘Aisyiyah 03 Banyudono, Boyolali lah yang telah mengawetkan alur hidup mereka melalui karya ini. Para penulisnya telah membuktikan diri sebagai penghuni Panti Asuhan Yatim Literat. Capaian ini belum tentu bisa digapai lembaga yang sama, baik proses maupun produknya.
Saya maklum, segala sesuatu belum akan sempurna tiba-tiba. Begitu juga sebuah cerita. Cerita yang menarik, dibangun dari ide, penokohan, alur, konflik, dan ending yang menarik. Yang tidak kalah penting adalah cara menyajikan cerita yang unik, genunie, dan natural. Jalan ke sana memang masih panjang. Akan tetapi, apabila jalan itu sudah berani diretas, setengah dari pertarungan sudah dimenangkan para pejuang.
Melahirkan karya literasi memang rumit. Namun, kerumitan itu pasti akan terurai seiring waktu, seiring banyak berlatih, seiring karya-karya berikutnya datang menyusul. Bila ritme ini bisa dipelihara Pengasuh, saya percaya, akan lahir dari anak-anak Panti Asuhan Yatim ‘Aisyiyah 03 Banyudono, Boyolali setelah “Lezatnya Kesabaran” dan “Janji Surga Tertinggi” karya berikutnya. Saya menantikannya sebagai penebus rasa bersalah menunda tulisan ini setahun berlalu.
Satu frasa dari saya untuk Panti Asuhan Yatim ‘Aisyiyah 03 Banyudono, Boyolali; “Panti ini sudah menemukan distingsinya”. Tanpa perlu meminta izin Toni Morrison, saya modifikasi quote-nya yang keren itu. “Jika ada panti yang ingin punya distingsi literasi, tetapi ia belum memulai, maka kalianlah yang telah memulainya.”
Salam literasi.
Depok, 27 November 2023.
0 Comments
Posting Komentar