Sampul buku "Sukses Merantau Dunia Akhirat". Foto sampul diakses dari aku Facebook Irfanudin Rafiudin.

“Jika kau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka menulislah!” (Imam al-Ghazali). Kutipan quote Imam al-Ghazali ini saya baca pada akun Facebook Irfanudin Rafiudin, kolega saya di Korps Mubaligh Muhammadiyah Depok–seterusnya saya tulis "Irfan" sebagai rasa kedekatan bahwa saya sudah mengenalnya cukup baik sejak Irfan masih nyantri di Sawangan. Rupanya, ada sesuatu di balik quote itu.

Namun, bukan quote itu saja yang menarik perhatian saya, melainkan sampul buku yang dipasang sebagai foto profil Irfan. Saya sangat appreciate, berbinar-binar, dan berucap syukur baru melihat gambarnya saja.

“Sukses Merantau Dunia Akhirat”, begitulah judul sampul buku itu. Ini judul buku yang simpel, tapi kandungan pesannya, saya rasa–karena saya belum membaca isinya– boleh jadi meluas melebihi jumlah halaman buku itu. Apalagi, kapasitas keilmuan penulisnya, sebagai cendekiawan dan ulama muda, pastilah bertebaran values pada setiap lembar halamannya.

Saya mengenal sang penulis melalui istri saya, Ella. Ya, Ella dan sang penulis sama-sama alumnus Darul Arqam, Sawangan. Ella lebih dulu mondok di sana, Irfan menyusul belakangan. Ella dekat dengan Irfan dan adik-adiknya. Ella juga kenal baik pada keluarga Irfan. Lebih dari sekadar sesama santri Darul Arqam, dari kesan perbincangan, istri saya ini begitu menaruh rasa hormat kepada kedua orang tua Irfan.
 
Pada Jumat malam, 27/01/24, kami berbincang tentang Irfan. Saya lupa, topik apa yang mula-mula membawa kami mengisi istirahat malam pada perbincangan itu. Lalu, saya menyambung saat Ella menyebut Korea. Saya sedikit tahu aktivitas dakwah Irfan belakangan ini.  

Irfan masih di Korea. Berdakwah di Negeri Ginseng dengan segala pernak-perniknya yang unik. Boleh jadi, buku Irfan “Sukses Merantau Dunia Akhirat” adalah rekaman dari kronika dakwah Irfan yang unik itu di sana. Rasa hati ingin segera membaca buku itu. Bila berjodoh buku itu sampai ke tangan saya, saya akan membayarnya plus gratis saranghaeyo seorang kakak pada si Anak Rantau.

Saya selalu senang bila ada karya buku yang ditulis kolega. Pribadi seperti Irfan yang saya kenal, saya harap menulis menjadi kewajiban legacy, seperti quote al-Ghazali yang dikutipnya, bahkan seharusnya menjadi tabiat seperti yang diungkapkan Imam Hambali: “ma'al hibral ilal maqbarah”bersama pena sampai ke "peristirahatan".

***

Saya pernah belajar menulis pada pegiat literasi perbukuan, Bambang Trim namanya. Bambang Trim penulis produktif dengan karya lebih dari 250 judul buku menurut catatan Linkedin. Buku sebanyak itu masih disanding dengan ratusan artikel/esai dan ratusan karya suntingan yang tersebar di berbagai media.

Dalam satu kesempatan belajar teknik menulis pada Director Lembaga Sertifikasi Profesi Penulis dan Editor Profesional ini, Bambang Trim menyebut, bahwa buku yang bagus itu punya tiga daya: daya pikat, daya gugah, dan daya ubah.

Bila saya tidak keliru menangkap penjelasan Bambang Trim, daya pikat banyak terkait pada judul, perwajahan sampul, layout, dan aspek keterbacaan buku yang mampu memikat pembaca pada pandangan pertama dan sepanjang menyelesaikan membaca. Begitu terpikatnya, pembaca baru akan berhenti membacanya pada halaman terakhir buku itu.

Daya ubah dan daya gugah banyak terkait pada isi buku. Buku dipandang bagus bila isinya mampu mengubah dan menggugah pembacanya. Ia bukan sekadar mengeluarkan pembaca dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak paham menjadi paham, namun sanggup menggerakkan jiwa pembaca, mengubah persepsi, mindset, perilaku, bahkan mengubah keputusan terpenting dalam hidup seseorang setelah membaca buku itu. Jadi, kira-kira, buku itu lalu menjadi “hidayah” karena pesannya begitu menggugah lalu ia mengubah.

Kalau boleh saya menambahkan satu lagi, bahwa buku yang bagus itu punya “daya hibur”. Orang menjadi bahagia setelah membaca sebuah buku. Nah, rasa bahagia ini pada akhirnya bisa memantik orang gemar membaca dari sebelumnya tidak suka membaca karena jiwanya terhibur.

Oh, satu lagi. Ini juga penting. Buku itu punya jodohnya sendiri. Ia akan berjodoh dengan karakter pembacanya. Seberapa pun bagus penilaian seorang pembaca pertama pada sebuah buku, belum tentu menjadi jodoh yang cocok bagi pembaca kedua sebab karakter setiap pembaca cenderung menyukai dan menilai bagus tidaknya sebuah buku berdasarkan karakternya sendiri-sendiri. Begitulah.

Dari judulnya, buku ini sudah punya satu daya dari daya-daya sebuah buku dinilai bagus oleh pembaca yang saya sebut. Karena itu, saya menantikan “Sukses Merantau Dunia Akhirat” sampai ke meja saya. 

Tahniah Irfan. 

Wisma Hijau, Ahad, 28 Januari 2024.