Draft buku "Matahari Terbit di Kampung Kami". Dokumen penulis. |
Meski banyak kata saya pujikan untuk NU, tapi saya tetap Muhammadiyah. Saya hanya mencoba jujur melihat realitas, melihat kekurangan sendiri dan mengakui kelebihan orang lain tanpa saling merendahkan. Terima kasih NU!Paragraf di atas adalah paragraf terakhir tulisan Nurbani Yusuf di https://ibtimes.id/terima-kasih-nu-sebuah-catatan-ramadan/. Judulnya “Terima Kasih NU Sebuah Catatan Ramadan”. Silakan baca sendiri isinya. Belakangan beredar video naratif. Narasinya tulisan Pak Nurbani di atas. Karena di-storytelling-kan, tulisan Pak Nurbani jadi lebih menarik dinikmati. Katanya, video itu viral di kanal-kanal NU.
Antara Nurbani Yusuf dan Mochammad Ali Shodiqin
Bila Pak Nurbani Yusuf yang mengaku orang Muhammadiyah itu memuji-muji NU dalam tulisannya, tujuh tahun yang lalu seorang kader NU “mengkudeta” Muhammadiyah dalam bukunya.
Adalah Mochammad Ali Shodiqin kader NU itu. Ia menulis buku “Muhammadiyah itu NU! Dokumen Fikih yang Terlupakan” dan terbit pada 2014 silam. Buku ini, katanya ditulis berdasar temuan dari kitab Fiqih Muhammadiyah 1924.
Dulu, kata Mas Shodiqin, Muhammadiyah itu melakukan qunut shubuh, tunaikan shalat tarawih 20 rakaat, ajarkan adzan dua kali, doa iftitahnya pun sama dengan NU, melakukan talafudz niat dengan ucapkan ushalli sebelum takbiratul ihram dan seterusnya. Tapi sekarang, semua itu sudah dilupakan Muhammadiyah.
Muhammadiyah telah mengalami proses metamorfosis dalam empat masa di mata Mas Shodiqin. Pertama, masa Syafi’i tahun 1912-1925; kedua, masa pembauran Syafi’i-Wahabi tahun 1925-1967; ketiga, masa Himpunan Putusan Tarjih (HPT) tahun 1967-1995; dan keempat, masa pembauran HPT-Globalisasi tahun 1995 hingga sekarang.
Untuk membahagiakan Mas Shodiqin, biarkanlah dia semringah dengan bukunya itu dan teori metamorfisisnya. Hanya saja, ada kesimpulan ahistoris yang sedikit mengganggu dan patut diselisik ulang.
“Mewahabikan” Muhammadiyah
Mas Shodiqin menilai Muhammadiyah telah menyimpang dari ajaran pendirinya setelah meninggalnya KH Ahmad Dahlan. Generasi Muhammadiyah pada beberapa masa selanjutnya, kata Mas Shodiqin tercampur dengan paham Wahabi sebagai imbas dari kebijakan-kebijakan pemerintahan Ibnu Saud di negeri Arab pada saat itu.
Inilah kesimpulan ahistoris Mas Shodiqin yang saya maksud. Boleh jadi, karena Mas Shodiqin tidak atau belum membaca perjalanan penyelidikan haji Haji Fachrodin pada 1921 dan misi Haji Syuja’ memimpin perjalanan haji sekalian menjelaskan Hakikat Muhammadiyah kepada Syarif Husein pada 1922.
Jadi, Mas Shodiqin, pada 1921 dan 1922 itu, Muhammadiyah sudah dituduh-tuduh sebagai Wahabi dari tanah Jawa. Penuduhnya para ulama nusantara yang menetap di Makkah dan menjadi pembantu-pembantu Syarif Husein.
Pada 1922 itu juga, di tanah air, kembali Muhammadiyah dituduh Wahabi pada arena Kongres Al-Islam pertama di Cirebon. Adalah KH Asnawi, utusan dari Tashwirul Afkar yang melempar tuduhan itu. Mas Shodiqin lebih tahulah, Tashwirul Afkar kelak bermetamorfosis menjadi Nahdlatul Ulama bukan?
Hanya saja, tuduhan Wahabi, baik yang dilontarkan di Makkah maupun di Cirebon ini dipatahkan oleh kakak beradik; Haji Syuja’ dan Haji Fachrodin.
Pada arena Kongres di Cirebon itu, KH Asnawi tidak bisa membantah argumen pembelaan Haji Fachrodin atas tuduhan kolega KH Wahab Chasbullah ini yang menuding KH Ahmad Dahlan itu ulama sesat dan Muhammadiyah adalah Wahabi.
Jadi, bukan pembauran Syafi’i-Wahabi untuk mendukung asumsi Mas Shodiqin bahwa semula Muhammadiyah itu NU, Mas. Tapi, kalangan tradisionalis sudah sejak semula gencar “Mewahabikan” Muhammadiyah di saat KH Ahmad Dahlan masih hayat –KH Ahmad Dahlan wafat pada 23 Februari 1923– dan sebelum kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 disusun.
Sama-sama Rumput Tetangga
Bila Ramadhan tiga tahun lalu Pak Nurbani Yusuf berterima kasih pada NU, 7 tahun sebelumnya, Mas Shodiqin menuding Muhammadiyah telah menyimpang dari ajaran pendirinya; KH Ahmad Dahlan. Ini dua fenomena “akhir zaman” yang kontras sekali.
Sebagai sama-sama orang Muhammadiyah dengan Pak Nurbani Yusuf, saya punya satu kesimpulan atas tulisan beliau yang dimuat di ibtimes pada 2021 kemarin. Kepada Mas Mochammad Ali Shodiqin yang NU, saya juga punya kesimpulan yang sama meski berbeda bahasa.
Mereka berdua sedang mengalami apa yang pernah dilantunkan Raymond B. Egan dan Richard A. Whiting pada 1924, "The Grass is Always Greener in the Other Fellow's Yard”. Baik Pak Nurbani Yusuf dan Mas Shodiqin seperti sedang mengenakan kacamata dengan lensa hijau daun. Dalam penglihatan mereka berdua saat itu, "rumput tetangga tampak lebih hijau dari rumput sendiri."
Oleh karena kehijauan rumput Muhammadiyah itu begitu menggoda, Mas Shodiqin harus susah payah menulis buku Muhammadiyah itu NU! Akan tetapi, buku ini tidak lebih dari permisalan ‘gadis NU’ yang sedang puber lalu menciptakan peluang buat mencuri perhatian ‘jejaka Muhammadiyah’ saja.
Muhammadiyah di Kampung Kami
Sudah tujuh tahun draft buku ini tidak kunjung rampung menjadi buku. Isinya mengungkap sisi kearifan para perintis Muhammadiyah di Kampung saya. Di samping soal kelangkaan dokumen, dan hanya tinggal lima orang generasi perintis yang masih hidup, upaya merekonstruksi sejarah Persyarikatan di Kampung saya ini menjadi bertambah berat. Apalagi, generasi kubu sebelah yang menentang sudah semuanya berpulang. Maka, upaya konfirmasi dan validasi informasi menjadi sukar dilakukan.
Rasanya mau menyerah saja. Biarlah “Matahari Terbit di Kampung Kami” cukup sampai pada ide dan keprihatinan pada sejarah yang terkubur karena ia sukar diwujudkan. Akan tetapi, masih ada generasi pertama yang tersisa, menjadi daya dorong buat draft buku ini dirampungkan sebisa mungkin.
Hati tersentak. Di tengah upaya keras penyelesaian buku ini, tiga dari lima generasi perintis yang tersisa berpulang; H. Mugenih pada 7 Juni 2023, Syamain pada 10 Januari 2024, dan Madyasin pada 11 Maret 2024. Makin kencanglah ikhtiar untuk segera menyelesaikan “Matahari Terbit di Kampung Kami” sebelum tak tersisa lagi di antara mereka semua.
Boleh jadi, saya adalah kader Muhammadiyah yang amat "cemburu" membaca tulisan Pak Nurbani Yusuf. Cemburu sekali. Sebab, orang-orang tua kami dahulu diperlakukan lebih dari sekadar dipersekusi seperti yang kerap dialami pengajian Salafi hari-hari belakangan ini oleh Barisan Ansor Serbaguna. "Sakitnya tuh, di sini, Pak. Di sini, di balik dada ini."
Akan tetapi, kearifan orang-orang tua kami para Perintis Muhammadiyah menghadapi perlakuan itu, membuat saya bangga dengan Muhammadiyah yang mereka wariskan. Malah, dari mulut mereka saya mendengar, bahwa mereka tidak menyimpan dendam sedikit pun. Ini bahkan lebih membanggakan saya.
Bukan saya tidak setuju pada pujian-pujian Pak Nurbani Yusuf pada NU itu yang kemudian amat disukai kalangan Nahdliyyin. Bukan. Sebab bagi saya, pujian itu ada kadarnya. Dan, yang paling penting, rumput di pekarangan Muhammadiyah di Ranting saya masih hijau di mata saya. Suer!
***
Ciputat, 27 Mei 2024.
0 Comments
Posting Komentar