Ilustrasi memasuki masa pensiun yang bahagia. Foto Credit, https://www.ayobandung.com |
Berjalan dengan seorang sahabat di kegelapan lebih baik daripada berjalan sendirian dalam terang.
Sedih. Begitulah hari ini ditinggalkan kolega yang memasuki masa pensiun dan resign karena ada tugas baru. Ini sedih yang manusiawi.
Beberapa hari sebelumnya, aura kesedihan sudah merebak. Ucapan selamat memasuki masa purna bakti untuk Bu Eha memenuhi halaman grup WA bagi kolega yang pensiun hari-hari terakhir ini.
Jemari saya sudah bergerak mengetik. Ingin ikut menyampaikan simpati “barakallah” atas kepensiunan kolega ini. Tapi urung, hati seperti tidak rela kolega ini pensiun. Maka, saya tidak ikutan menyampaikan “barakallah”, sebab merasa ia tidak tergantikan dan akan saya biarkan Bu Eha ada di hati saya sebagai kolega.
Namun, dalam nomenklatur kepegawaian, masa pensiun itu seperti “takdir mubram”, takdir yang tidak bisa diubah. Setiap pegawai pasti akan memasuki masa itu, baik baik pensiun dini maupun pensiun “dini hari”.
Saya percaya, Bu Eha bahagia memasuki masa pensiun ini, meskipun ia berat meninggalkan madrasah. Saya tahu, rasa berat itu karena Bu Eha sangat menyintai madrasah ini, anak-anak, dan guru-gurunya. Bu Eha juga punya dedikasi sebagai guru Biologi, punya kapasitas leadership yang kuat saat menjadi Wakakur dan Kepala Madrasah, dan friendly dengan sesama guru dan karyawan. Pribadi serupa ini, memiliki jiwa yang sehat. Apalagi, secara kasat mata, religiusitas Bu Eha juga sangat menonjol.
Memang, ada banyak orang yang memasuki masa pensiun mendadak mengidap post power syndrome. Apalagi bila dahulu pernah menjadi pejabat. Orang dengan gangguan ini masih membayangkan pencapaiannya pada masa lalu dan membandingkannya dengan masa kini. Lalu, rasa percaya dirinya menurun hingga depresi.
Akan tetapi, post power syndrome lebih sering menimpa mereka yang tidak memiliki pasangan hidup atau hidup seorang diri, tidak memiliki aktivitas atau kesibukan lain, tertekan secara finansial, dan memiliki masalah-masalah lain. Boleh jadi, kondisi-kondisi di atas mendorong orang itu “Tidak ingin pensiun” yang semakin menambah tekanan post power syndrome-nya.
Boleh jadi, kolega-kolega Bu Eha lah yang harus belajar dari guru Biologi ini. Bukan belajar bagaimana cara tersenyum Bu Eha yang selalu mengesankan, ini gak bisa ditiru persis karena ia bawaan orok. Tapi, belajar bagaimana saat memasuki masa pensiun dengan bahagia seperti Bu Eha sambil berkata; Aku bukan pengidap post power syndrome!
Pak Misro, guru Akidah Akhlak juga memasuki masa pensiun. Kolega sesama Konsorsium Agama ini termasuk guru senior di Konsorsium Agama. Ada lebih kurang 17 tahun bergaul bersama Pak Misro. Sebagai yang junior, saya banyak belajar, terutama belajar kesabaran.
Beberapa hari sebelumnya, aura kesedihan sudah merebak. Ucapan selamat memasuki masa purna bakti untuk Bu Eha memenuhi halaman grup WA bagi kolega yang pensiun hari-hari terakhir ini.
Jemari saya sudah bergerak mengetik. Ingin ikut menyampaikan simpati “barakallah” atas kepensiunan kolega ini. Tapi urung, hati seperti tidak rela kolega ini pensiun. Maka, saya tidak ikutan menyampaikan “barakallah”, sebab merasa ia tidak tergantikan dan akan saya biarkan Bu Eha ada di hati saya sebagai kolega.
Namun, dalam nomenklatur kepegawaian, masa pensiun itu seperti “takdir mubram”, takdir yang tidak bisa diubah. Setiap pegawai pasti akan memasuki masa itu, baik baik pensiun dini maupun pensiun “dini hari”.
Saya percaya, Bu Eha bahagia memasuki masa pensiun ini, meskipun ia berat meninggalkan madrasah. Saya tahu, rasa berat itu karena Bu Eha sangat menyintai madrasah ini, anak-anak, dan guru-gurunya. Bu Eha juga punya dedikasi sebagai guru Biologi, punya kapasitas leadership yang kuat saat menjadi Wakakur dan Kepala Madrasah, dan friendly dengan sesama guru dan karyawan. Pribadi serupa ini, memiliki jiwa yang sehat. Apalagi, secara kasat mata, religiusitas Bu Eha juga sangat menonjol.
Memang, ada banyak orang yang memasuki masa pensiun mendadak mengidap post power syndrome. Apalagi bila dahulu pernah menjadi pejabat. Orang dengan gangguan ini masih membayangkan pencapaiannya pada masa lalu dan membandingkannya dengan masa kini. Lalu, rasa percaya dirinya menurun hingga depresi.
Akan tetapi, post power syndrome lebih sering menimpa mereka yang tidak memiliki pasangan hidup atau hidup seorang diri, tidak memiliki aktivitas atau kesibukan lain, tertekan secara finansial, dan memiliki masalah-masalah lain. Boleh jadi, kondisi-kondisi di atas mendorong orang itu “Tidak ingin pensiun” yang semakin menambah tekanan post power syndrome-nya.
Boleh jadi, kolega-kolega Bu Eha lah yang harus belajar dari guru Biologi ini. Bukan belajar bagaimana cara tersenyum Bu Eha yang selalu mengesankan, ini gak bisa ditiru persis karena ia bawaan orok. Tapi, belajar bagaimana saat memasuki masa pensiun dengan bahagia seperti Bu Eha sambil berkata; Aku bukan pengidap post power syndrome!
Pak Misro, guru Akidah Akhlak juga memasuki masa pensiun. Kolega sesama Konsorsium Agama ini termasuk guru senior di Konsorsium Agama. Ada lebih kurang 17 tahun bergaul bersama Pak Misro. Sebagai yang junior, saya banyak belajar, terutama belajar kesabaran.
Pak Misro pernah mengajar Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), subjek yang saya ampu di Madrasah Pembangunan. Pak Misro sempat sharing saat kali pertama saya menginjakkan kaki di Madrasah Pembangunan mengenai pelajaran yang dianggap pelajaran paling susah di antara rumpun pelajaran agama. Dari Pak Misro saya jadi tahu, mengajar SKI tidak semudah yang dibayangkan, tidak segembira mengajak peserta didik main games atau membaca komik kesukaan mereka.
Ahamdulillah, dari sharing ini, mental untuk mengajar SKI naik sedikit. Hal terpenting, tentu mendorong untuk terus belajar.
Aduh, tapi saya tidak menyangka kolega yang saya yang satu ini, Bu Fairus Qamila. Saya baru tahu hari ini ia resign. Rupanya, gadis Aceh ini juga akan melangkah pergi meninggalkan madrasah. Tentu dengan alasan yang berbeda, sebagai peserta beasiswa LPDP yang tidak mengizinkannya mengajar sambil menikmati beasiswanya. “Kejam” sekali LPDP ini telah memisahkan saya dengan Bu Fairuz. Aiih …
Pilihan Bu Fairus sudah benar. Andaikan saya yang berada pada posisinya, akan saya ambil pula beasiswa itu. Tentu, untuk lolos menjadi penerima beasiswa LPDP itu tidak gampang. Berat syaratnya. Maka, bila Bu Fairuz meninggalkan saya, eh meninggalkan madrasah maksudnya, maka itu pilihan rasional.
Maka, yang tersisa adalah mendoakan. Kepada Bu Eha, Pak Misro, dan Bu Fairus terima kasih sudah memberikan banyak hal buat madrasah. Jangan pikirkan saya ya, Bu Fairus karena saya sudah ada yang mengurus yaitu istri dan anak-anak saya. Hahahahah.
Bu Eha, Pak Misro, Bu Fairus, kata Hellen Keller, “Walking with a friend in the dark is better than walking alone in the light."
Pilihan Bu Fairus sudah benar. Andaikan saya yang berada pada posisinya, akan saya ambil pula beasiswa itu. Tentu, untuk lolos menjadi penerima beasiswa LPDP itu tidak gampang. Berat syaratnya. Maka, bila Bu Fairuz meninggalkan saya, eh meninggalkan madrasah maksudnya, maka itu pilihan rasional.
Maka, yang tersisa adalah mendoakan. Kepada Bu Eha, Pak Misro, dan Bu Fairus terima kasih sudah memberikan banyak hal buat madrasah. Jangan pikirkan saya ya, Bu Fairus karena saya sudah ada yang mengurus yaitu istri dan anak-anak saya. Hahahahah.
Bu Eha, Pak Misro, Bu Fairus, kata Hellen Keller, “Walking with a friend in the dark is better than walking alone in the light."
Bahagia terus ya, Bu Eha, Pak Misro, dan Bu Fairus agar tetap menjadi terang buat kami kolega-kolegamu. Dan, selamat datang bagi guru-guru terbaik yang baru bergabung dengan Madrasah Pembangunan hari ini.
Kamis, Ruang Pleno 10 Juni 2024.
Kamis, Ruang Pleno 10 Juni 2024.
0 Comments
Posting Komentar