Langsung ke konten utama

Kurikulum yang Memerdekakan


Different types of learning styles. Foto credit  https://thethaiger.com/

Kemarin pagi, pada 4 Juli 2024, diberi kesempatan berbagi pengalaman pada Small Workshop Implementasi Kurikulum Merdeka. Acara yang semula dirancang berakhir pukul 12.00 WIB, baru usai pukul 14.30 WIB. Ini asik sekali.

Pada sesi pembuka, Kepala Madrasah (KAMAD) penyelenggara mengingatkan para guru peserta. Kata Pak KAMAD, “Guru yang berhenti belajar, sebaiknya berhenti mengajar”. Pesan singkat yang menghentak, menohok, dan tajam.

Pesan yang sama pernah saya dengar dari Komaruddin Hidayat (Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah 2006-2010 dan 2010-2015) saat memberikan wawasan pedagogik di Madrasah Pembangunan. Pesan sang Rektor dikutip menjadi quote, dibingkai, dan dipajang pada satu area dinding Madrasah Pembangunan. Tiap kali melintasi area tempat saya mengajar itu dan membaca quote-nya, aduh, rasanya gimanaa gitu.

Pak Bahruddin, Pengawas yang juga turut memberi pengantar workshop –bila saya tidak salah tangkap– ada menyinggung sedikit soal tantangan mendidik di masa kini. Pembelajaran hari ini kata Pak Bahruddin, berbeda dengan pembelajaran di masa lalu.

Pesan ini juga tidak kalah memukau bila saja direnungi dalam-dalam. Nyatanya memang begitu. Peserta didik sekarang berbeda sekali dengan guru-guru mereka yang hari ini mengajar mereka di kelas. Perbedaannya sepanjang “era kolonial” sampai era digital, “bayna al-samaa wa al-sumuur”, laksana jarak antara langit dan dasar bumi. 😂

Boleh jadi, Pak Pengawas pernah menyimak nasihat Socrates (hidup sekitar 470 SM–399 SM) kepada para orang tua. Kata Socrates “Jangan paksakan anak-anakmu mengikuti jejakmu, mereka diciptakan untuk kehidupan di zaman mereka, bukan zamanmu”.

Imam al-Ghazali (1058-1111 M) juga pernah menyampaikan pesan senada. Bahkan, kata penulis Ihya Ulumiddin ini, belajar itu menjadi adab orang alim (guru) yang tidak boleh ia tinggalkan. Guru itu harus memelihara spirit “luzum al-ilm”, tidak berhenti menuntut ilmu.

Legacy Guru

Berbagi pengalaman bukan seperti berbagi sedikit roti. Sedikit pengalaman yang dibagi-bagi, maka ia menjadi banyak. Sejujurnya, pun masih sedikit yang saya tahu soal Implementasi Kurikulum Merdeka. Sempat ragu juga saat akhirnya bersedia berbagi dengan guru-guru Muhammadiyah yang militan itu. Biarlah sedikit pengalaman yang dibagikan asalkan penting dan berarti, sebab yang saya lakukan bukan sedang berbagi roti.

Berbekal sedikit, berarti saya datang tidak dengan have no experience soal Kurikulum Merdeka. Ada seminar, workshop yang saya simak, dan penerapannya dalam pembelajaran di kelas saya. Ada juga partner di Madrasah Pembangunan teman diskusi, curhat, dan ngobrol ringan soal “kegagapan” bagaimana harus menerjemahkan kurikulum ini di kelas. Karena itu, bolehlah saya sedikit optimis telah keluar dari frame “faaqidu al-sya’i laa yu’thih”, bahwa orang yang tidak punya sesuatu, tidak bisa memberi.

Harus diakui, banyak hal dari kurikulum ini yang belum tuntas di benak para guru. Soal titel “Guru Penggerak” saja, programnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia yang diperkenalkan pada 2020 sebagai program pendidikan kepemimpinan bagi guru, bersifat transformasi dan beririsan dengan Kurikulum Merdeka, seolah bikin cemburu. Ya, seakan ada garis demarkasi yang dipasang melintang memisah mereka yang Penggerak dan bukan Penggerak. Padahal esensinya bukan pada titel itu, tapi pada paradigma. Bahwa harus ada yang di depan, ini juga harus dipahami. 

Saya tidak berada pada maqom “Guru Penggerak”. Ini terlalu berat buat saya pikul. Akan tetapi, bukan pula penyandang “Guru Pendiam”, meskipun ada juga yang menyebut saya “Guru Penyendiri”. Ealah, biarlah itu tidak penting, itu soal persepsi saja.

Begini, asalkan setiap guru mengerti kapan ia harus bergerak, kapan memilih diam, dan menepi mengambil waktu menyendiri untuk sebuah legacy yang dinikmati manfaatnya bagi banyak orang, itu sudah cukup. Begitulah peradaban guru dibangun meskipun gerak tiap guru tidak sama intensitasnya.

Dengan kekuatan Kurikulum Merdeka, Michrophone bisa berdiri. Foto Credit Suprihatiningsih
Paradigma Belajar

Nah, kebanyakan kegagapan guru di sini, soal bagaimana mengelola pembelajaran berbasis Kurikulum Merdeka. Ini kegagapan rasional dan empirik merespons perubahan kurikulum. Sebaiknya, memang kegagapan ada di sini menurut saya, bukan pada perangkat.

Perangkat bisa menggunakan model yang disediakan pemerintah, dibuat lewat jalan pintas serupa ATM (Amati, Tiru, dan Modifikasi), atau perintah saja AI (Artificial Intelligence) untuk menyelesaikannya. Di era serba digital sekarang, jangan dianggurin lah, si AI ini. Kasihan dia bila diabaikan bertepuk sebelah tangan. Maka, jangan kehadirannya malah menjadi kemubaziran digital sebab tidak dimanfaatkan untuk edukasi. Bukankah si AI memang direkayasa untuk menjadi "Pembantu Digital"? 

Coba sesekali mengunjungi si Gemini AI misalnya. Baru halaman pertama saja, si Gemini sudah menawarkan layanan: “Halo. Ada yang bisa saya bantu?” Nah, tunggu apa lagi? Jadikan saja dia asisten pribadi. "Gauli" si AI ini dengan makruf.

Asalkan gurunya lebih cerdas memanfaatkan kecerdasan si AI-nya, tidak masalah. Jujur ya, peserta didik hari ini, jauh lebih canggih memanfaatkan teknologi ini daripada guru-gurunya. Ngaku aja lah, kita. Apalagi saya, lelaki Gen X yang terperangkap di zaman Baby Boomers. Otak dan tubuh saya harus tertatih-tatih merespons perubahan zaman Gen-Z yang serba cepat.  

Maka, kali pertama mendapat pesan apa yang harus saya sampaikan pada obrolan bareng guru Muhammadiyah itu, lebih baik saya fokuskan pada paradigma belajar, pada esensi kurikulum yang memerdekakan, bukan pada perangkat yang terkesan mekanis.

Fokus saja pada yang baju item. Foto Credit Suprihatiningsih

Paradigma Diferensiasi

Paradigma belajar hari ini berorientasi pada kesiapan, potensi, minat, dan kecerdasan peserta didik yang tidak sama. Simpelnya, kekuatan belajar tiap individu ada yang auditori, visual, kinestetik, dan pengalaman membaca dan menulis yang intens. Karena perbedaan kekuatan belajar ini memerlukan strategi, pendekatan, dan metode yang berbeda tiap individu, maka ia menuntut kesiapan sungguh-sungguh.

Problemnya, bagaimana mengelola perbedaan itu dalam proses pembelajaran di kelas agar menjangkau semua potensi peserta didik, alat bantu apa yang bisa dimaksimalkan, dan bagaimana pula model asesmennya. Ini lebih penting dari sekadar urusan kelengkapan administrasi.

Maka, proses asesmen awal amat ditekankan pada paradigma belajar sekarang. Efeknya panjang. Itu tadi, proses ini bukan saja langkah untuk memetakan di mana kekuatan belajar setiap peserta didik, melainkan untuk memutuskan strategi pembelajaran yang bagaimana yang akan digunakan dan asesmen model apa yang disajikan. Di sinilah letak pembelajaran berdiferensiasi dalam Kurikulum Merdeka harus ada jejaknya.

Akan tetapi, soal perangkat bukan berarti tidak penting. Dia harus ada sebagai rekam jejak, tanda patuh pada aturan dan undang-undang, nilai kredit, dan nama baik institusi. Bila ini diabaikan, bisa ditegur birokrasi dua hari dua malam.

Suka atau tidak suka, guru juga harus tunduk pada institusi tempatnya mengajar. Dia harus buat RPP atau Modul Ajar di mana paradigma diferensiasi proses pembelajaran harus dibunyikan di sana. Bikin modul, e-modul, bahan ajar, banyak dah pokoknya. Pusing, kan? Apalagi saya.

Ya, sudah. Istirahat dulu sambil menyesap secangkir kopi. Yang penting, bahagia menjalani peran. Bila bahagia, tidak ada tantangan yang tidak bisa dijawab. Bukan begitu, Bu Fitriyanti penerus Al-Khawarizmi?😄


Foto di akhir sesi. Semoga tetap semringah menjawab perubahan paradigma mengajar. Foto Credit Suprihatiningsih.

Depok, 5 Juli 2027.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

Naskah Pentigraf MTs Pembangunan 2023 yang Lolos Seleksi

MTs Pembangunan kembali menggelar event menulis. Dimulai dari rangkaian kegiatan Field Trip, kemudian dilanjutkan dengan event menulis Pentigraf. Tim Editor yang bekerja sejak akhir Oktober 2023, telah menyelesaikan 100 % proses naskah seleksi dan editing. Pengumuman hasil seleksi telah dimuat di situs ini secara berkala setiap Sabtu, dimulai Sabtu, 09 Desember 2023 sampai dengan Sabtu, 23 Desember 2023. Hari ini, Sabtu, 23 Desember 2023 adalah pengumuman tahap terakhir naskah yang lolos seleksi. Kepada para penulis yang naskahnya belum lolos seleksi, tetap semangat menulis untuk mengikuti event-event menulis berikutnya, Keputusan Tim editor bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Selamat kepada penulis yang naskahnya sudah dinyatakan lolos TIM Editor berikut ini: Akbar Diawur. Judul pentigraf "Kehidupan di Masa Depan". Athaya Juneeta. Judul Pentigraf "Warisan Nenek" . Binar Bening Embun. Judul Pentigraf "Mukidi". M. Akhtar Ziyad. Judul Pentigraf &

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah