Hari-hari ini terasa amat berat dijalani dia yang sedang sakit. Bagaimana tidak, sakit memakan fisik dan psikisnya berganti-ganti. Dia hanya mengeluh, merasakan nyeri, disertai sabar seraya berharap segera sehat kembali, ingin agar penyakit itu segera enyah dan tidak kembali lagi. Pengobatan terus diupayakan, namun tanda-tanda kesembuhan seakan mendekat sangat lambat.
Adalah manusiawi, bahwa tidak ada dari manusia yang ingin jatuh sakit. Baik ringan, apalagi sakit yang berat. Begitu juga dia. Akan tetapi, sakit itu sunnatullah seperti juga sehat adalah sunnatullah. Karena itu, hampir tidak ada orang di dunia ini yang kebal dari sakit. Tidak pula mustahil, bahwa orang bisa sehat lagi seperti sedia kala. Begitulah sunnatullah fil kaun berlaku.
Kadang, penyakit itu datangnya secepat angin. Ia menempel pada tubuh setiap orang tanpa orang itu menyadari sebelumnya. Tahu-tahu, kekuatan tubuhnya melemah perlahan, nafsu makannya berkurang, dan cahaya wajahnya meredup. Bila yang sakit itu orang yang beriman, dosa-dosa yang melekat pada dirinya juga sedang ditarik satu demi satu.
Bila sudah sampai waktunya Allah berkehendak menyembuhkan, maka kesembuhan itu pun datang secepat embusan angin. Kekuatan tubuh si sakit dikembalikan seperti semula. Begitu juga nafsu makannya kembali normal. Cahaya wajahnya berseri-seri lagi mengiringi kesembuhan. Hanya satu yang tidak dikembalikan Yang Maha Penyembuh kepada si sakit yaitu dosa-dosanya. Dosa-dosanya diangkat, tidak dikembalikan lagi, diganti pengampunan sebagai balasan dari kesabaran menjalani penyakit yang telah menyiksanya siang dan malam.
Sebagaimana riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, atau penyakit, atau khawatir, atau kesedihan, atau gangguan, bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” Jadi, betapa Allah sedang menyayangi penderita sakit meski penyakit itu ringan atau sangat berat ditanggung badan, lelah diratapi jiwa seperti tidak berkesudahan.
Hanya saja, kehadiran penyakit itu rentan. Ia rentan memancing keluh kesah, sedih, tangis sedu sedan, bahkan putus asa yang timbul tenggelam di antara usaha pengobatan. Bukan saja rentan bagi si penderita, melainkan rentan juga bagi keluarganya yang merawat. Dapatlah dibayangkan, bila saja tidak ada kesabaran sama sekali, akan begitu mudahnya si sakit atau keluarganya tergelincir sampai kemudian istighfar mengingatkan kembali bahwa ujian memang masih berlangsung.
Seringkali di penghujung istighfar, ada anak kalimat yang mengiringi, “Ya Rabb, kapan ujian ini akan berlalu. Jika memang Engkau belum berkehendak menyembuhkan, ringankanlah.” Itu karena begitu berat ujian sakit, sehingga apabila kesembuhan masih di ujung langit, berharap diringankan sudahlah cukup.
Salah satu obat yang meringankan dari ujian sakit itu adalah simpati atau perhatian. Ia hadir karena nurani. Nurani itu peka, mudah tersentuh bila mendapati penderitaan sedang ditanggung orang yang dikenal. Maka, teman, handai tolan, tetangga, apalagi dari kerabat dekat silih berganti memberi perhatian baik penghiburan atau sekadar saran. Tentu, semua itu sedikit banyak membahagiakan bagi penderita dan keluarga.
Hanya saja, dari semua perhatian, bila bentuknya adalah saran, adakalanya ia harus ditimbang. Berobat itu, kan layaknya mengonsumsi makanan. Ada makanan yang halal, mubah, makruh, dan haram. Begitu juga berobat, ada berobat yang diharamakan seperti yang dipesankan baginda Nabi SAW. Bukan sok bijak. Bukan. Karena memang, lain orang lain sikapnya. Lain pula keyakinannya.
Saran untuk mendatangi orang pintar –sering disebut juga dengan “orang pinter”– misalnya, belum tentu pas pada semua orang. Seperti memberi hadiah baju, belum tentu sedeng dipakai pada orang yang diberi. Bajunya sedeng dipakai, tapi belum tentu juga model, warna dan coraknya sedeng di badan.
Bolehlah baju itu sedeng untuk diri sendiri, sebagaimana orang pintar itu sedeng dan cocok pada kita. Namun, bila dipikir sedikit saja, memberi perhatian dengan saran, hendaknya saran yang sehat dan rasional. Jangan karena merasa cocok dengan orang pintar, lalu cara itu dianggap cocok pula untuk diterapkan kepada keluarga si penderita sakit.
“Coba ke orang pinter. Yang namanya orang kerja …” begitu bunyi saran si A, si B, atau si C.
Boleh jadi, saran seperti ini diniatkan sebagai bentuk perhatian. Akan tetapi bagi orang tertentu, saran ini dirasa salah alamat, bikin “ilang feeling”. Alih-alih saran yang sehat yang didapat, malah menambah beban penyakit bila dituruti. Timbulah nelangsa, “Gua, kan bukan elu.”
Saran seperti itu mudah ditebak ke mana arahnya. Pertama, buka saja https://kbbi.lektur.id/. Ketik “Orang Pintar KBBI”. Dalam sekejap, kbbi.lektur.id sudah memberi informasi.
Kata lektur, orang pintar berasal dari kata dasar orang. Arti dari orang pintar dapat masuk ke dalam jenis kiasan sehingga penggunaan orang pintar dapat bukan dalam arti yang sebenarnya. Maka, orang pintar menurut KBBI itu;
1. Dukun;
2. Paranormal.
Nah!
Kedua, anak kalimat dari saran “Yang namanya orang kerja …” kuat sekali aroma buruk sangka di sana. Bila diteruskan, saran seperti itu bisa begini, “Yang namanya orang kerja, ada aja yang iri, ada aja yang nggak suka, ada aja yang pengen jatuhin kita.” Ya, apa ya? Nah, semua pertanyaan-pertanyaan itu, secara implisit oleh si penganjur bisa diselesaikan orang pintar, alias dukun, alias paranormal.
Maaf-maaf kata, salah satu karakter dukun atau paranormal itu “sok serba tahu”. Padahal kebanyakan yang dijual mereka hanya duga-duga, nebak-nebak, atau dalam bahasa orang kampung saya kali-kali bae. Duga-duga, nebak-nebak, dan kali-kali bae ini menjadi perangkat buat mendiagnosis penyakit, rezeki, jodoh, peruntungan, atau masa depan orang. Memang begitu cara kerja orang sok tahu itu.
Ini pengalaman. Pada 1995, saya mengalami muntah darah. Para tetangga yang menjenguk, rupa-rupa memberi saran. Pas pada kali ke sekian saya muntah darah, seorang tetua yang sedang menjenguk berkata, “Elu mah, dikerjain orang ini tong!”
Saat itu, sakit ini terasa bertambah-tambah. Sakit badan yang menakutkan, jiwa pun menjadi lebih sakit karena dihantui prasangka, “siapa yang ngerjain saya?” “Tetangga sendiri, apa teman kuliah?’ “Apa tujuannya?” “Saya salah apa sama dia?” Dan sederet pertanyaan-pertanyaan yang tidak berujung pangkal kecuali hanya memupuk kecurigaan sana-sini. Saking curiganya sampai merasa linglung bertambah kalut. Jiwa dan raga sakit dua-duanya.
Sementara hasil diagnosis rumah sakit, pemeriksaan penyakit dalam, dan foto rontgen menunjukkan paru-paru sebelah kanan saya bocor. Sejak itu, jiwa mulai tenang. Obat untuk mengatasi kebocoran sudah bisa diresepkan. Selebihnya minum obat, sabar, dan banyak berdoa berharap sembuh. Sebab, hanya Allah yang punya hak memberi sembuh.
Butuh 15 hari rawat inap, tiga kantong darah transfusi, dan 24 botol cairan infus disuntikkan ke tubuh saya. Setelah itu, saya dinyatakan bisa pulang. Selebihnya menjalani rawat jalan dan enam bulan rutin minum obat. Setahun berikutnya, perlahan kesehatan semakin membaik. Alhamdulillah pulih.
Lalu, bagaimana soal yang katanya saya dikerjain orang? Ah, biar saja. Itu bukan urusan saya, sebab saya lebih sayang pada shalat dan ibadah saya. Buat apa shalat jumprit-jumprit, ngaji seminggu tiga kali, tapi masih percaya dukun. Sedangkan Nabi pernah mengingatkan dari jauh-jauh abad, “Barang siapa yang mendatangi tukang ramal (dukun), lalu ia bertanya kepadanya tentang sesuatu hal, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh malam.” (HR. Muslim).
Hadits riwayat Imam Ahmad dari Abu Hurairah dan al-Hasan lebih serem lagi. “Barang siapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu ia mempercayai hasil ramalannya, maka sungguh ia telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad SAW.” (HR. Ahmad).
Al-Kahanah atau perdukunan konsekuensinya syirik. Orang yang paham, syirik itu sebenarnya lebih ganas dari tumor yang menggerogoti kesehatan. Ia melalap habis amal salih seperti api yang memakan kayu bakar, hangus tak tersisa. Na’uzubillah.
Namun juga jangan salah. Berobat kepada dokter itu sifatnya ikhtiar dengan pendekatan medik. Kesembuhan tetap diserahkan kepada Yang Maha Penyembuh, seperti keyakinan setiap yang taat pada Allah, “wa idzaa maridhtu fahuwa yasyfiin”. Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku. Begitu kira-kira maknanya.
Maka, untukmu yang sedang terbaring sakit, bersabarlah, bertawakallah, dan berobatlah. Biarlah badanmu sakit, asalkan imanmu tidak jatuh pada perbuatan syirik. Jangan terpesona pesan ingin cepat sembuh dengan cara keliru. Semoga kesembuhan semakin mendekat.
Wallahu a’lam.
Depok, 27 Juli 2024.
Adalah manusiawi, bahwa tidak ada dari manusia yang ingin jatuh sakit. Baik ringan, apalagi sakit yang berat. Begitu juga dia. Akan tetapi, sakit itu sunnatullah seperti juga sehat adalah sunnatullah. Karena itu, hampir tidak ada orang di dunia ini yang kebal dari sakit. Tidak pula mustahil, bahwa orang bisa sehat lagi seperti sedia kala. Begitulah sunnatullah fil kaun berlaku.
Kadang, penyakit itu datangnya secepat angin. Ia menempel pada tubuh setiap orang tanpa orang itu menyadari sebelumnya. Tahu-tahu, kekuatan tubuhnya melemah perlahan, nafsu makannya berkurang, dan cahaya wajahnya meredup. Bila yang sakit itu orang yang beriman, dosa-dosa yang melekat pada dirinya juga sedang ditarik satu demi satu.
Bila sudah sampai waktunya Allah berkehendak menyembuhkan, maka kesembuhan itu pun datang secepat embusan angin. Kekuatan tubuh si sakit dikembalikan seperti semula. Begitu juga nafsu makannya kembali normal. Cahaya wajahnya berseri-seri lagi mengiringi kesembuhan. Hanya satu yang tidak dikembalikan Yang Maha Penyembuh kepada si sakit yaitu dosa-dosanya. Dosa-dosanya diangkat, tidak dikembalikan lagi, diganti pengampunan sebagai balasan dari kesabaran menjalani penyakit yang telah menyiksanya siang dan malam.
Sebagaimana riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, atau penyakit, atau khawatir, atau kesedihan, atau gangguan, bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” Jadi, betapa Allah sedang menyayangi penderita sakit meski penyakit itu ringan atau sangat berat ditanggung badan, lelah diratapi jiwa seperti tidak berkesudahan.
Hanya saja, kehadiran penyakit itu rentan. Ia rentan memancing keluh kesah, sedih, tangis sedu sedan, bahkan putus asa yang timbul tenggelam di antara usaha pengobatan. Bukan saja rentan bagi si penderita, melainkan rentan juga bagi keluarganya yang merawat. Dapatlah dibayangkan, bila saja tidak ada kesabaran sama sekali, akan begitu mudahnya si sakit atau keluarganya tergelincir sampai kemudian istighfar mengingatkan kembali bahwa ujian memang masih berlangsung.
Seringkali di penghujung istighfar, ada anak kalimat yang mengiringi, “Ya Rabb, kapan ujian ini akan berlalu. Jika memang Engkau belum berkehendak menyembuhkan, ringankanlah.” Itu karena begitu berat ujian sakit, sehingga apabila kesembuhan masih di ujung langit, berharap diringankan sudahlah cukup.
Salah satu obat yang meringankan dari ujian sakit itu adalah simpati atau perhatian. Ia hadir karena nurani. Nurani itu peka, mudah tersentuh bila mendapati penderitaan sedang ditanggung orang yang dikenal. Maka, teman, handai tolan, tetangga, apalagi dari kerabat dekat silih berganti memberi perhatian baik penghiburan atau sekadar saran. Tentu, semua itu sedikit banyak membahagiakan bagi penderita dan keluarga.
Hanya saja, dari semua perhatian, bila bentuknya adalah saran, adakalanya ia harus ditimbang. Berobat itu, kan layaknya mengonsumsi makanan. Ada makanan yang halal, mubah, makruh, dan haram. Begitu juga berobat, ada berobat yang diharamakan seperti yang dipesankan baginda Nabi SAW. Bukan sok bijak. Bukan. Karena memang, lain orang lain sikapnya. Lain pula keyakinannya.
Saran untuk mendatangi orang pintar –sering disebut juga dengan “orang pinter”– misalnya, belum tentu pas pada semua orang. Seperti memberi hadiah baju, belum tentu sedeng dipakai pada orang yang diberi. Bajunya sedeng dipakai, tapi belum tentu juga model, warna dan coraknya sedeng di badan.
Bolehlah baju itu sedeng untuk diri sendiri, sebagaimana orang pintar itu sedeng dan cocok pada kita. Namun, bila dipikir sedikit saja, memberi perhatian dengan saran, hendaknya saran yang sehat dan rasional. Jangan karena merasa cocok dengan orang pintar, lalu cara itu dianggap cocok pula untuk diterapkan kepada keluarga si penderita sakit.
“Coba ke orang pinter. Yang namanya orang kerja …” begitu bunyi saran si A, si B, atau si C.
Boleh jadi, saran seperti ini diniatkan sebagai bentuk perhatian. Akan tetapi bagi orang tertentu, saran ini dirasa salah alamat, bikin “ilang feeling”. Alih-alih saran yang sehat yang didapat, malah menambah beban penyakit bila dituruti. Timbulah nelangsa, “Gua, kan bukan elu.”
Saran seperti itu mudah ditebak ke mana arahnya. Pertama, buka saja https://kbbi.lektur.id/. Ketik “Orang Pintar KBBI”. Dalam sekejap, kbbi.lektur.id sudah memberi informasi.
Kata lektur, orang pintar berasal dari kata dasar orang. Arti dari orang pintar dapat masuk ke dalam jenis kiasan sehingga penggunaan orang pintar dapat bukan dalam arti yang sebenarnya. Maka, orang pintar menurut KBBI itu;
1. Dukun;
2. Paranormal.
Nah!
Kedua, anak kalimat dari saran “Yang namanya orang kerja …” kuat sekali aroma buruk sangka di sana. Bila diteruskan, saran seperti itu bisa begini, “Yang namanya orang kerja, ada aja yang iri, ada aja yang nggak suka, ada aja yang pengen jatuhin kita.” Ya, apa ya? Nah, semua pertanyaan-pertanyaan itu, secara implisit oleh si penganjur bisa diselesaikan orang pintar, alias dukun, alias paranormal.
Maaf-maaf kata, salah satu karakter dukun atau paranormal itu “sok serba tahu”. Padahal kebanyakan yang dijual mereka hanya duga-duga, nebak-nebak, atau dalam bahasa orang kampung saya kali-kali bae. Duga-duga, nebak-nebak, dan kali-kali bae ini menjadi perangkat buat mendiagnosis penyakit, rezeki, jodoh, peruntungan, atau masa depan orang. Memang begitu cara kerja orang sok tahu itu.
Ini pengalaman. Pada 1995, saya mengalami muntah darah. Para tetangga yang menjenguk, rupa-rupa memberi saran. Pas pada kali ke sekian saya muntah darah, seorang tetua yang sedang menjenguk berkata, “Elu mah, dikerjain orang ini tong!”
Saat itu, sakit ini terasa bertambah-tambah. Sakit badan yang menakutkan, jiwa pun menjadi lebih sakit karena dihantui prasangka, “siapa yang ngerjain saya?” “Tetangga sendiri, apa teman kuliah?’ “Apa tujuannya?” “Saya salah apa sama dia?” Dan sederet pertanyaan-pertanyaan yang tidak berujung pangkal kecuali hanya memupuk kecurigaan sana-sini. Saking curiganya sampai merasa linglung bertambah kalut. Jiwa dan raga sakit dua-duanya.
Sementara hasil diagnosis rumah sakit, pemeriksaan penyakit dalam, dan foto rontgen menunjukkan paru-paru sebelah kanan saya bocor. Sejak itu, jiwa mulai tenang. Obat untuk mengatasi kebocoran sudah bisa diresepkan. Selebihnya minum obat, sabar, dan banyak berdoa berharap sembuh. Sebab, hanya Allah yang punya hak memberi sembuh.
Butuh 15 hari rawat inap, tiga kantong darah transfusi, dan 24 botol cairan infus disuntikkan ke tubuh saya. Setelah itu, saya dinyatakan bisa pulang. Selebihnya menjalani rawat jalan dan enam bulan rutin minum obat. Setahun berikutnya, perlahan kesehatan semakin membaik. Alhamdulillah pulih.
Lalu, bagaimana soal yang katanya saya dikerjain orang? Ah, biar saja. Itu bukan urusan saya, sebab saya lebih sayang pada shalat dan ibadah saya. Buat apa shalat jumprit-jumprit, ngaji seminggu tiga kali, tapi masih percaya dukun. Sedangkan Nabi pernah mengingatkan dari jauh-jauh abad, “Barang siapa yang mendatangi tukang ramal (dukun), lalu ia bertanya kepadanya tentang sesuatu hal, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh malam.” (HR. Muslim).
Hadits riwayat Imam Ahmad dari Abu Hurairah dan al-Hasan lebih serem lagi. “Barang siapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu ia mempercayai hasil ramalannya, maka sungguh ia telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad SAW.” (HR. Ahmad).
Al-Kahanah atau perdukunan konsekuensinya syirik. Orang yang paham, syirik itu sebenarnya lebih ganas dari tumor yang menggerogoti kesehatan. Ia melalap habis amal salih seperti api yang memakan kayu bakar, hangus tak tersisa. Na’uzubillah.
Namun juga jangan salah. Berobat kepada dokter itu sifatnya ikhtiar dengan pendekatan medik. Kesembuhan tetap diserahkan kepada Yang Maha Penyembuh, seperti keyakinan setiap yang taat pada Allah, “wa idzaa maridhtu fahuwa yasyfiin”. Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku. Begitu kira-kira maknanya.
Maka, untukmu yang sedang terbaring sakit, bersabarlah, bertawakallah, dan berobatlah. Biarlah badanmu sakit, asalkan imanmu tidak jatuh pada perbuatan syirik. Jangan terpesona pesan ingin cepat sembuh dengan cara keliru. Semoga kesembuhan semakin mendekat.
Wallahu a’lam.
Depok, 27 Juli 2024.
Komentar
Posting Komentar