Langsung ke konten utama

Berisik Soal Jilbab Paskibraka

Ilustrasi Paskibraka. Sumber gambar : https://id.pinterest.com/

Dalam konteks ini, anggapan bahwa Al-Qur’an itu suci adalah keliru. Kesucian yang dilekatkan pada Al-Qur’an (juga kitab lain) adalah “kesucian palsu” –psudo sacra. Tidak ada teks yang secara ontologis itu suci.
Yudian Wahyudi dan Kontroversi
BPIP, atau Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dikepalai Yudian Wahyudi. Ingat Yudian Wahyudi, ingat polemik sebuah disertasi doktor di UIN Sunan Kalijaga tentang konsep "Milk al-Yamin". "Milk al-Yamin" adalah konsep keabsahan hubungan seksual non-marital atau di luar pernikahan yang digagas Syahrur.

Dewan penguji meluluskan disertasi yang ditulis Abdul Aziz ini dengan nilai sangat memuaskan. Namun, bukan berarti serta merta sepakat konsep "Milk Al-Yamin" bisa diterapkan di Indonesia. Oleh Yudian Wahyudi, konsep ini dianggap tidak cocok diterapkan di Indonesia, khususnya Umat Islam atau bangsa Indonesia secara keseluruhan. Terus, di luar Umat Islam Indonesia cocok begitu?

Sewaktu masih menjabat Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta –selain soal disertasi Abdul Aziz– pada medio 2018, Yudian Wahyudi pernah membuat kebijakan melarang penggunaan cadar bagi mahasiswinya di kampus. Sepertinya, mahasiswi bercadar di UIN Sunan Kalijaga di mata Yudian Wahyudi dikategorikan mahasiswi yang butuh penanganan khusus. Rektor UIN ini telah membentuk tim konseling atau pendampingan bagi mahasiswi bercadar dalam tujuh tahapan untuk mengawal aturan yang dikeluarkannya.

Dalam catatan media, BPIP di tangan Yudian Wahyudi pun sering membuat kontroversi. Sasarannya, lagi-lagi menusuk jantung keyakinan. Entah sampai kapan lembaga ini digunakan untuk memainkan isu-isu sensitif, terutama keyakinan umat Islam atas nama Pancasila.

Pada Februari 2020, Yudian Wahyudi menyampaikan pernyataan tendensius. Ia mengatakan ada kelompok yang mereduksi agama sesuai kepentingannya sendiri yang tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Pernyataannya, “musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan” menuai kontroversi karena dianggap membenturkan agama dengan Pancasila dengan mengambil kasus paham Islam minoritas.

Pada momen memperingati Hari Santri Nasional 2021, BPIP kembali berulah. Lembaga ini mengadakan lomba penulisan artikel dengan mengangkat dua tema yakni 'Hormat Bendera Menurut Hukum Islam' dan 'Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam' dengan dalih pentingnya nilai-nilai keagamaan dalam menyikapi cinta tanah air.

Lomba ini memicu polemik dari berbagai kalangan. Buya Anwar Abbas gusar. Dengan kritik keras khasnya, Buya menilai lembaga pimpinan Megawati Soekarnoputri itu tidak memiliki kepekaan sosial di tengah pandemi Covid-19. Buya menyarankan agar BPIP dibubarkan saja.

Kali ini, jilbab Paskibraka jadi sasaran mainan isu BPIP. Anggota Paskibraka HUT ke-79 RI diminta melepas jilbab. Tak pelak, kebijakan ini memancing reaksi. BIP banjir kritik. Muhammadiyah bersuara. Aisyiyah bersuara. MUI dan berbagai Ormas juga bersuara keras. Dalih BPIP menggelikan, katanya pelepasan jilbab itu demi keseragaman.

Jilbab Dalam Pusaran Liberalisme
Dalam sejarah, aturan yang melarang mengenakan jilbab tidak lepas dari ideologi liberal alias paham kebebasan. Aneh memang. Liberal, tapi melarang kebebasan orang berjilbab. Pada kasus Turki menjadi negara sekuler misalnya, menggambarkan kasus ini sangat vulgar. Turki pada masa khilafah Utsmani, laki-laki muslim mengenakan Fez atau topi Turbus. Para muslimahnya mengenakan jilbab dan cadar. Namun, kebebasan berpakaian keagamaan itu berubah saat Atatürk yang nasionalis sekuler berkuasa pada rentang 29 Oktober 1923 hingga 10 November 1938.

Pada 3 Desember 1924, politisi dari Cumhuriyet Halk Partisi (Partai rakyat Republik) ini melarang perempuan Turki mengenakan jilbab dan cadar. Atatürk secara terang-terangan menyerang cara berpakaian perempuan Turki. Dalam setiap pidatonya, Atatürk secara terbuka menganjurkan agar para perempuan Turki mengenakan rok mini dan pakaian ala Barat. Rok mini dan pakaian ala Barat ini dipandangnya sebagai suatu keharusan. Bagi Atatürk, bangsa Turki modern tidak hanya harus berpikir rasional seperti orang Barat, tetapi juga harus meniru tatacara berperilaku dan berpakaian persis seperti orang Barat berperilaku dan berpakaian.

Keluarlah Undang-Undang yang melarang berpakaian agama oleh orang yang tidak memiliki jabatan agama. Undang-undang ini juga mewajibkan semua pegawai negeri sipil mengenakan pakaian stelan ala Barat. Lebih tegas lagi, Undang-undang yang dikeluarkan pada November 1925, di mana laki-laki Turki diwajibkan memakai topi dan pemakaian Fez atau Turbus dinyatakan sebagai sebuah kejahatan.

Virus Atatürk
Pasca reformasi di Indonesia, pada 2001 muncul kelompok liberal JIL (Jaringan Islam Liberal). Para pengasong JIL seperti terjangkit virus Atatürk yang getol sekali menawarkan liberalisme pemikiran, termasuk pemikiran sekuler yang menyentuh ranah agama.

Di antara produk pemikiran JIL dalam konteks jilbab, jilbab dipandang bukan syariat. Ia hanya budaya Arab. Maka, jilbab pun tidak wajib dikenakan muslimah. Ada lah, saya dengar dari kawan alumnus UIN Jakarta yang pernah sekelas dengan pentolan JIL ini di kampus. Di Jakarta jilbabnya dibuka. Pas pulang ke kampung bertemu orang tuanya yang kiai, jilbabnya dipasang lagi. Ini pentolan JIL, tapi liberalnya setengah hati. ’Gak liberal kaaffah.

Memang, terdapat ikhtilaf soal hukum jilbab ini. Itu soal lain. Melarang mengenakan jilbab itu soal yang lain pula. Siapa pun perempuan yang memegang pendapat jilbab bukan wajib seperti pendapat pangasong JIL, terserah. Mau lepas pasang seperti pentolan JIL itu, juga silakan. Itu sebuah pilihan. Tanggung jawab, urusan pribadi masing-masing.

Akan tetapi, melarang perempuan mengenakan jilbab, atau memerintahkan perempuan itu melepaskan jilbabnya, ini merenggut kebebasan berkeyakinan. Bagi bangsa kita, tindakan ini jelas bertentangan dengan Pancasila yang berdasar Ketuhanan serta prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

Apabila dalih pelarangan itu adalah keseragaman, Bhinneka Tunggal Ika-nya di mana? Penyeragaman dengan berdalih semangat Bhinneka Tunggal Ika, pun keliru. Kebhinekaan menjamin keragaman, bukan? Maka, bila dalam satu komunitas ada yang berjilbab, ada yang tidak, itulah keragaman sebagai ekspresi keyakinan masing-masing.

Ada Sumanto di Paskibraka
Membaca postingan Sumanto Al-Qurtuby, kok seolah pengaruh paham liberal dalam kasus jilbab Paskibraka 2024 ini boleh dibilang tidak terlalu samar. Ya, karena salah satu alasannya ada kehadiran Sumanto Al-Qurtuby di sana. Dalam jagat liberalisme, siapa yang tidak kenal orang ini?

Pada laman Facebooknya tertanggal 15 Juli, liberalis dan penulis buku “Lubang Hitam Agama” ini menulis status: “Rasa capek belum hilang habis acara workshop dan diskusi maraton di Jogja langsung diminta BPIP untuk “menggemblung” eh “menggembleng” adik-adik Paskibraka, yang akan bertugas 17 Agustus nanti, di Cibubur, Jawa Barat. Urip kuwi jebule mung mampir ndobos.”

Rasanya, bila Sumanto “menggemblung” eh “menggembleng” soal teknik formasi baris-berbaris 68 anggota anggota Paskibraka Kelompok 17, Kelompok 8, dan Kelompok 45, kurang bisa meyakinkan publik. Apa orang yang mendaku antropolog ini mahir melatih formasi baris berbaris 17-8-45? Rasanya tidak. Lebih meyakinkan apabila Sumanto punya peran “menggemblung” eh “menggembleng” dari sisi ideologi.

Pemikiran Sumanto ini banyak dibincangkan rusaknya di kalangan kontra liberalisme. Bukunya Lubang Hitam Agama sarat dengan pemikiran liberal yang “menggemblungkan” kewarasan pemikiran. Kata Sumanto dalam buku itu; “Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan, mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil menunjukkan surga-Nya yang mahaluas, di sana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain, Jesus, Muhammad, Sahabat Umar, Ghandi, Luther, Abu Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharudin Lopa, dan Munir!” 

Entah, surga yang mana yang dimaksud Sumanto ini.

Pemikiran Sumanto yang lebih “menggemblungkan” saat terang-terangan menyerang Al-Qur’an. Ia menganggap Al-Qur’an hasil konspirasi jahat antara Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dengan para penulis dan Al-Quran dianggap sebagai barang rongsokan yang sudah usang. Lebih “menggemblungkan” lagi, Sumanto mengarang bebas dengan narasi, “Dalam konteks ini, anggapan bahwa Al-Qur’an itu suci adalah keliru. Kesucian yang dilekatkan pada Al-Qur’an (juga kitab lain) adalah “kesucian palsu” –psudo sacra. Tidak ada teks yang secara ontologis itu suci.”

Seperti saya, boleh jadi Anda melongo membaca buah pikir Sumanto pada tulisannya yang lain. Misalnya soal seks bebas. Tulisannya berjudul ”Agama, Seks, dan Moral” yang dimuat dalam sebuah buku berjudul Jihad Melawan Ekstrimis Agama, Membangkitkan Islam Progresif (terbit pertama Oktober 2009) bisa-bisa membuat kening berkerut sambil berujar “kesambet setan apa ini orang.”

Kata Sumanto, “Saya rasa Tuhan tidak mempunyai urusan dengan seksualitas. Jangankan masalah seksual, persoalan agama atau keyakinan saja yang sangat fundamental, Tuhan – seperti secara eksplisit tertuang dalam Al-Qur'an – telah membebaskan manusia untuk memilih: menjadi mukmin atau kafir. Maka, jika masalah keyakinan saja Tuhan tidak perduli, apalagi masalah seks? Jika kita mengandaikan Tuhan akan mengutuk sebuah praktek ”seks bebas” atau praktek seks yang tidak mengikuti aturan resmi seperti tercantum dalam diktum keagamaan, maka sesungguhnya kita tanpa sadar telah merendahkan martabat Tuhan itu sendiri. Jika agama masih mengurusi seksualitas dan alat kelamin, itu menunjukkan rendahnya kualitas agama itu.

Katanya lagi, "Demikian juga jika kita masih meributkan soal kelamin –seperti yang dilakukan MUI yang ngotot memperjuangkan UU Pornografi dan Pornoaksi– itu juga sebagai pertanda rendahnya kualitas keimanan kita sekaligus rapuhnya fondasi spiritual kita. Sebaliknya, jika roh dan spiritualitas kita tangguh, maka apalah artinya segumpal daging bernama vagina dan penis itu. Apalah bedanya vagina dan penis itu dengan kuping, ketiak, hidung, tangan dan organ tubuh yang lain. Agama semestinya ”mengakomodasi” bukan ”mengeksekusi” fakta keberagaman ekspresi seksualitas masyarakat. Ingatlah bahwa dosa bukan karena ”daging yang kotor” tetapi lantaran otak dan ruh kita yang penuh noda. Paul Evdokimov dalam The Struggle with God telah menuturkan kata-kata yang indah dan menarik: ”Sin never comes from below; from the flesh, but from above, from the spirit. The first fall occurred in the world of angels pure spirit…”

Ini yang lebih "menggemblungkan", katanya, "Lalu, bagaimana hukum hubungan seks yang dilakukan atas dasar suka sama suka, “demokratis”, tidak ada pihak yang “disubordinasi” dan “diintimidasi”? Atau bagaimana hukum orang yang melakukan hubungan seks dengan pelacur (maaf kalau kata ini kurang sopan), dengan escort lady, call girl dan sejenisnya? Atau hukum seorang perempuan, tante-tante, janda-janda atau wanita kesepian yang menyewa seorang gigolo untuk melampiaskan nafsu seks? Jika seorang dosen atau penulis boleh “menjual” otaknya untuk mendapatkan honor, atau seorang dai atau pengkhotbah yang “menjual” mulut untuk mencari nafkah, atau penyanyi dangdut yang “menjual” pantat dan pinggul untuk mendapatkan uang, atau seorang penjahit atau pengrajin yang “menjual” tangan untuk menghidupi keluarga, apakah tidak boleh seorang laki-laki atau perempuan yang “menjual” alat kelaminnya untuk menghidupi anak-istri/suami mereka?"

Nah, orang dengan isi kepala seperti Sumanto ini diberi porsi untuk “menggemblung” eh “menggembleng” mental dan ideologi anggota anggota Paskibraka ini. Memang, belum tentu Sumanto yang meminta 18 anggota Paskibraka perempuan itu buat melepas jilbab mereka. Belum tentu, meskipun corak “gemblungannya” eh “gemblengannya” kuat diduga beraroma liberal seperti pemikirannya.

Akan tetapi, Paskibraka Aprilliya Putri Dwi Mahendra dari Maluku, Siti Janeeta Abdul Wahab dari Gorontalo, Zahra Aisyah Aplizya dari Sulawesi Tengah, Alysia Noreen Ramadhani dari kalimantan Tengah, Zahratushyta Dwi Artika dari Kalimantan Barat, Keynina Evelyn Candra dari DIY, Mutia Al Vanie dari Lampung, Amanda Aprillia dari Bengkulu, Kamilatun Nisa dari Riau, Rahma Azzahra dari Jambi, Maulia Permata Putri dari Sumatera Barat, Mutiara Wasilah dari Sulawesi Barat, Della Selfavia Azahra dari Kalimantan Selatan, Amna Kayla dari NTB, Indri Marwa Delvita Ahek dari Papua Barat, Sofia Sahla dari Jawa Barat, dan Dzawata Maghfura Z dari Aceh harus merasakan “gemblungnya” paham liberal yang menggusur jilbab mereka.

Efek Berisik di Medsos
Tekanan, kritik, dan efek berisik di Medsos efektif mempengaruhi sebuah kebijakan. Pengurus Pusat Purna Paskibraka Indonesia (PPI) termasuk yang paling keras mengkritik. Bahkan, Kesbangpol (Kesatuan Bangsa dan Politik) Aceh meminta menarik Paskibraka dari daerahnya. Hasilnya, BPIP tidak bergeming.

Boleh jadi, ada orang yang berpikir tidak sesimpel afektif atau tidak cara ini. Soal jilbab Paskibraka ini dipandangnya sebagai skenario kecil untuk melahirkan pahlawan. Sang pahlawan diyakini akan hadir di saat kegaduhan sudah memuncak. Siapa lagi kalau bukan sosok otoritatif. Ia berada pada barisan paling depan memihak para pengkritik dan turut meramaikan berisiknya Medsos. Ini soal lain, soal pikiran yang out of the box.

Siang ini, https://toraja.tribunnews.com/ merilis berita “Kontroversi soal Paskibraka Lepas Hijab, Kepala BPIP Minta Maaf”. Dalam beritanya, Kepala Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi diberitakan mengizinkan anggota Paskibraka mengenakan jilbab saat bertugas pada Upacara HUT Ke-79 RI di Ibu Kota Nusantara (IKN). Yudian juga mengungkapkan permintaan maaf atas keputusan sebelumnya yang melarang Paskibraka mengenakan jilbab selama pengukuhan dan upacara kenegaraan. Syukurlah.

Efek berisik di Medsos sebagai bagian dari peran citizen journalism kerap memang mujarab. Ia penting untuk mengontrol kebijakan, termasuk kebijakan negara yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kebebasan berekspresi yang bersumber dari ekspresi beragama dan berkeyakinan. Di sinilah pentingnya kekuatan kontrol dari citizen journalism ini. Maka boleh jadi, bila Medsos sunyi senyap dan semua orang tiarap, 18 Paskibraka itu benar-benar direnggut jilbabnya saat bertugas nanti.

Citizen journalism sebagai jurnalisme yang dilakukan oleh orang-orang yang bukan merupakan jurnalis profesional, perlu pula mengedepankan etika jurnalistik. Menghindari komentar yang bernuansa provokatif di Medsos atas sebuah peristiwa menjadi nilai standar yang harus diperhatikan. Meskipun geram kepada Yudian Wahyudi sudah sampai ubun-ubun, tahanlah jemari dari mengetik pesan provokatif. Maka, teruslah berisik di Medsos dengan baik untuk melawan kezaliman.

Depok, dua hari menjelang 17 Agustus 2024.
Dituntaskan sepulang dari Fatmawati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

Naskah Pentigraf MTs Pembangunan 2023 yang Lolos Seleksi

MTs Pembangunan kembali menggelar event menulis. Dimulai dari rangkaian kegiatan Field Trip, kemudian dilanjutkan dengan event menulis Pentigraf. Tim Editor yang bekerja sejak akhir Oktober 2023, telah menyelesaikan 100 % proses naskah seleksi dan editing. Pengumuman hasil seleksi telah dimuat di situs ini secara berkala setiap Sabtu, dimulai Sabtu, 09 Desember 2023 sampai dengan Sabtu, 23 Desember 2023. Hari ini, Sabtu, 23 Desember 2023 adalah pengumuman tahap terakhir naskah yang lolos seleksi. Kepada para penulis yang naskahnya belum lolos seleksi, tetap semangat menulis untuk mengikuti event-event menulis berikutnya, Keputusan Tim editor bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Selamat kepada penulis yang naskahnya sudah dinyatakan lolos TIM Editor berikut ini: Akbar Diawur. Judul pentigraf "Kehidupan di Masa Depan". Athaya Juneeta. Judul Pentigraf "Warisan Nenek" . Binar Bening Embun. Judul Pentigraf "Mukidi". M. Akhtar Ziyad. Judul Pentigraf &

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah