Langsung ke konten utama

Azan Misa dan Kaum Liberal

Ilustrasi Paus Fransiskus dan soal Azan Magrib. Sumber ilustrasi VIVA.co.id 

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melalui Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika telah mengeluarkan surat permohonan terkait peniadaaan siaran Azan Magrib saat Misa bersama Paus Fransiskus.
_____________

Aku memikirkan Hagia Sophia, dan aku sangat sedih.
Siaran azan di televisi diganti dengan running text untuk menghormati Misa Paus di Indonesia hari-hari ini, ini penerapan paham liberal sekuler level paling rendah. Ini belum apa-apa, baru level warming up. Mungkin, Anda bergidik bila sempat mengikuti sekularisasi azan di Turki. Ini sekularisasi azan paling ekstrem sepanjang sejarah kaum muslimin di dunia.

Azan dan Warisan Fetih Sultan Mehmet

Konstantinopel memang unik. Dari wajahnya yang Kristen Timur menjadi Istanbul yang berwajah Islam di bawah Utsmani, lalu berwajah sekuler di tangan Mustafa Kamâl Atatürk, dan kembali mendekati Islami di tangan Adnan Menderes dan Recep Tayyip Erdoğan. Pada ketiga masa ini, azan menjadi begitu ikonik.

Pada pertengahan abad ke-15, Konstantinopel dan seluruh Kekaisaran Byzantium jatuh ke tangan Turki Utsmani. Hari bersejarah itu terjadi pada Selasa, 29 Mei 1453 M setelah 53 hari pengepungan. Bagi umat Islam, peristiwa ini menjadi pembuktian nubuwwah. Sebab, 800 tahun sebelumnya, Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan; “Sesungguhnya Konstantinopel itu pasti akan dibuka (dibebaskan). Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya," (HR Bukhari).

Nubuwwah itu terbukti di tangan pemuda 21 tahun kelahiran 30 Maret 1432, di Edirne, Turki. Mehmet adalah sultan Utsmani yang ketujuh, berkuasa pada 1444-1446 dan 1451-1481, putra dari Sultan Murad II dan Hüma Hatun. Hagia Sophia dibeli dan diubah menjadi Ayasofya Camii atau Masjid Raya Ayasofya oleh Fetih Sultan Mehmet menggenapi nubuwwah itu.

Tiga hari setelah penaklukkan, pada Jum’at 1 Juni 1453, azan berkumandang di atas langit Konstantinopel dari dalam Hagia Sophia yang megah. Itulah kumandang azan untuk shalat Jum’at kali pertama di bekas wilayah kekaisaran Byzantium.

Sebelum dimuliakan menjadi masjid, sepanjang antara 360-1453 M, Hagia Sophia –Magna Ecclesia, Gereja Besar– adalah Gereja Kalsedon, Gereja Katolik, dan Gereja Ortodoks. Pada era Byzantium, Gereja St. Sophia atau The Great Church ini, merupakan gereja terbesar di Konstantinopel, sekaligus pusat bagi keorganisasian gereja Ortodoks. Maka, saat mendengar Konstantinopel jatuh dan Hagia Sophia jadi “mualaf”, Eropa dan Vatikan meradang seperti pesakitan. Mereka tidak percaya.

Sejak itu, selama 481 tahun setelah penaklukan, kaum muslimin menikmati Hagia Sophia sebagai masjid, pusat ilmu dan peradaban, bahkan sebagai pusat pemerintahan Islam; Turki Utsmani. Tentu menikmati pula lantunan merdu azan muazin-muazin Turki.

Azan dan Nyawa Adnan Menderes

Akan tetapi, azan di Turki redup dan akhirnya hilang sejak khilafah Utsmani ditumbangkan kelompok sekuler liberal pada 1922. Turki menjadi Republik di tangan Mustafa Kamâl Atatürk (19 Mei 1881 – 10 November 1938). Bapak Turki Modern itu menjauhkan Islam dari kehidupan bangsa Turki sebagai konsekuensi sekularisme yang dianutnya. Maka, azan dan beberapa elemen syari’at Islam diberangus.

Pada 1932, sekularisasi azan diterapkan Atatürk. Orisinalitas azan yang berbahasa Arab diganti dengan bahasa Turki. 30 Januari 1932, di masjid Fatih, Istanbul, azan Turki mulai diterapkan. Hafiz Rifat Bey menjadi muazin pertama yang mengumandangkannya selama 18 tahun. Setahun kemudian, pada 1933 M, melantunkan azan dalam bahasa Arab sudah dimasukan dalam kategori pelanggaran hukum, dikategorikan sebagai kejahatan oleh pemerintah sekuler Turki.

Bukan hanya azan, bahkan, hampir saja, bacaan shalat pun hendak dibahasaturkikan oleh Atatürk. Masjid saja hendak diganti nama menjadi “Gereja Islam” modern. Inilah bentuk ekstrem sekularisme, pluralisme, dan liberalisme dalam kehidupan muslim Turki.

Azan kembali dipulihkan sampai datang Adnan Artekin Menderes, Perdana Menteri Turki periode 1950-1960. Pria Turki kelahiran tahun 1899 di Turki ini, pada masa mudanya aktif berpolitik dan bergabung dengan Republican People’s Party– dalam bahasa Turki: Cumhuriyet Halk Partisi (CHP)– yang didirikan oleh Atatürk.

Pada 1945, Menderes keluar dari partai CHP dan mendirikan Democrat Party (DP). Di sinilah Menderes mulai berjuang mengembalikan Turki Modern pada tradisi Islam yang sudah tercerabut dari akar sejarah bangsa Turki.

Menderes seperti penganut sekularisme liberalisme yang bertobat. Partainya mengusung visi Islami. Ia ingin mengembalikan azan ke dalam bahasa Arab, mengizinkan orang Turki melaksanakan ibadah haji, mendirikan sekolah untuk mengajarkan bahasa Arab, mencabut intervensi pemerintah atas pakaian wanita, dan memberikan kebebasan kepada penganut agama untuk melaksanakan keyakinan masing-masing.

Pada 1950, Menderes bersama partainya mengikuti Pemilu. Hasil pemilu mengguncang Turki. Partai Menderes merebut 318 kursi di parlemen sedangkan partai CHP Atatürk hanya mendapat 32 kursi saja. Menderes menjadi Perdana Menteri. Celal Bayar, ketua partai CP menjadi Presiden.

Setelah Pemerintahan dibentuk, Menderes mulai merealisasikan janji-janjinya. Azan kembali dikumandangkan dengan bahasa Arab di menara-menara masjid. Rakyat Turki diperbolehkan lagi melaksanakan ibadah haji setelah bertahun-tahun dilarang pemerintahan Atatürk.

Pada 1954 Menderes bertempur kembali dalam pemilu. Partainya menang telak dengan kursi lebih banyak dari pemilu sebelumnya. Dengan kemenangan mutlak ini, Menderes mulai membangun sekolah-sekolah untuk mengajarkan bahasa Arab, merenovasi 10 ribu masjid di seluruh Turki, membuka lebih dari ribuan madrasah yang sebelumnya ditutup. Menderes juga memperbaiki kembali hubungan dengan negara-negara Arab dan berani mengusir Duta Besar Israel dari Turki pada 1956.

Barat dan Israel berang. Dua entitas yang telah berjasa membantu Atatürk menumbangkan khilafah Utsmani dan menjadikan Turki negara sekuler serta menikmati hasil-hasilnya diganggu Menderes. Konspirasi militer Turki, CHP, dan Barat dibangun untuk mengkudeta pemerintahan Menderes.

Partai CHP dan sayap militer loyalis Atatürk memulainya dengan melakukan berbagai kekacauan. Puncaknya, pada Mei 1960, pimpinan militer Turki Jend. Cemal Gursel mengumumkan kudeta atas pemerintahan Adnan Menderes. Partai Demokrasi Menderes dibekukan. Menderes ditangkap dengan tuduhan melakukan kejahatan dan mengkhianati ajaran Atatürk atau Kemalisme. Sumber dakwaan atas Menderes karena ia mengembalikan azan ke dalam bahasa Arab, berusaha mengubah Turki yang sekuler menjadi negara Islam, dan berusaha untuk mengembalikan sistem khilafah.

Pada 17 September 1961 Adnan Menderes dieksekusi di tiang gantungan. Menjelang digantung, Menderes berujar, ”Saya akan mati, dan saya berharap semoga rakyat dan negara ini selalu bahagia.” Demikianlah kalimat penutup hidup Menderes. Sejarah Turki menjadi saksi seakan kehadiran Menderes menjadi Perdana Menteri hanya untuk mengembalikan muruah azan pada derajatnya yang agung.

Dari Museum Kembali ke Masjid

Atatürk telah mengkhianati Fetih Sultan Mehmet. Atatürk tak ubahnya Pasukan Salib IV yang di bawah titah suci Paus di Roma menista Hagia Sophia dengan menjarahnya, mengotori altarnya dengan pesta dan mabuk-mabukan, lalu menjadikannya sebagai kandang kuda dan kandang babi saat menduduki Konstantinopel pada 1204. Kota ini baru bisa diselamatkan dari invasi Tentara Salib pada 1261 M.

249 tahun kemudian, pada tahun penaklukkan yang sudah disinggung, Fetih Sultan Mehmet memuliakan Hagia Sophia untuk kali pertama menjadi masjid. Begitu tiba, Sang Pembebas bersujud ke arah kiblat di dekat Hagia Sophia. Sang Sultan menaburkan tanah ke atas kepalanya sebagai simbol membunuh kesombongannya. Lalu, Fetih mempermaklumkan Hagia Sophia sebagai masjid dalam kuasa pribadinya. Tidak boleh seorang pun mengusik permakluman itu.

Tapi rupanya, Atatürk bukan hanya mengkhianati Fetih dan azan di Hagia Sophia. Pada 1934, Atatürk menurunkan derajat Hagia Sophia dari masjid menjadi museum. Hagia Sophia diceraikan dari spirit Islam atas tuntutan Barat dan kaum sekuler pembenci syari’at.

Atatürk dengan tatapan mata elangnya yang keras itu menjadi presiden pengecut. Bapak Turki Modern ini bagai kerbau dicucuk hidung oleh tali kekang Barat. Ia dengan sukarela memenuhi permintaan pendiri Institut Bizantium Amerika, Thomas Whittemore, sahabat dekat Atatürk yang meminta agar Hagia Sophia dijadikan museum.

“Santa Sophia masih berupa masjid di hari saya berbincang dengannya –Atatürk. Keesokan paginya, ketika saya mendatangi masjid itu, ada sebuah tulisan di pintunya yang ditulis sendiri oleh Atatürk. Di sana tertulis, “Museum ini ditutup dalam rangka perbaikan (renovasi),” ungkap Thomas Whittemore. 

Sejak saat itu, shalat menjadi sesuatu yang terlarang di Hagia Sophia. Hilang pula kumandang azan dari menaranya. Sempurna. Atatürk telah mengkhianati azan, Hagia Sophia, dan Fetih Sultan Mehmet.

Erdoğan dan Spirit Utsmani

Erdoğan, saat ia menjadi wali kota Istanbul pada 1994 pernah berjanji, “Kami akan mengembalikan wajah Islam ke Istanbul dan Aya Sofia akan kembali menjadi masjid bagi kaum muslimin.” Demikian janji Erdoğan saat ia diwawancarai Majalah Al Mujtama’, Kuwait.

Pelan-pelan janji itu dilaksanakan Erdoğan. Pada 2006, pemerintah mengalokasikan satu ruangan khusus di kompleks Hagia Sophia untuk beribadah bagi staf museum. Langkah ini seperti langkah kecil yang kelak menjadi gelombang besar.

Pada 2013, babak baru untuk mengambalikan muru'ah sejarah penaklukkan 1453 dimulai para politisi secara terbuka dan terang benderang. Sejumlah politisi Turki dari partai pendukung pemerintah yang dianggap sebagai representasi sayap Islamis terang-terangan meminta agar Hagia Sophia dikembalikan sebagai masjid. 

Pada 2016, untuk pertama kalinya, azan dikumandangkan lagi di atas menara setelah 82 tahun raib meninggalkan kemegahan Hagia Sophia. Kemudian, pada November 2016, giliran Asosiasi Perlindungan Monumen dan Lingkungan Bersejarah, sebuah organisasi non-pemerintah mengajukan gugatan agar Hagia Sophia diubah kembali menjadi masjid. Namun, gugatan itu ditolak oleh pengadilan.

Puncaknya, pada 10 Juli 2020, Hagia Sophia benar-benar kembali menjadi masjid. Muazin mengumandangkan lagi azan berbahasa Arab dari atas menaranya. Rantai sekularisme yang membelenggu Hagia Sophia menjadi museum telah putus. Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan seperti mengembalikan spirit Mehmet, spirit Utsmani setelah hampir 86 tahun Hagia Sophia menjadi museum. Sekali lagi, Israel, Barat, dan Paus meradang.

Sakit Hati Barat dan Sekularis Turki

Pada perayaan 567 tahun penaklukan Konstantinopel dan pembacaan surah Al-Fath di Hagia Sophia, Jum'at 29 Mei 2020 Yunani mengecam acara tersebut. “Ini bukan hanya urusan orang-orang Yunani dan Kristen secara umum. Ini terkait penghinaan warisan kebudayaan dunia,” ucap Stelios Petsas, Jubir Pemerintah Yunani.

Kyriakos Mitsotakis, Perdana Menteri Yunani juga berang. Katanya, “Yunani mengecam keputusan Turki untuk mengonversi Hagia Sophia menjadi masjid. Keputusan ini telah menghina mereka yang telah mengakui monumen ini sebagai situs warisan dunia,” ujarnya.

Lina Mendoni, Menteri Kebudayaan Yunani bahkan menilai langkah nasionalisme Erdogan membuat Turki mundur 6 abad ke belakang.

Vladimir Dzhabarov, Wakil Kepala Utusan Parlemen Rusia menilai, menjadikan Hagia Sophia sebagai masjid tidak berpengaruh apa-apa bagi negara-negara muslim. Bahkan katanya, hal itu hanya akan membuat negara-negara muslim bertikai.

Josep Borrel, perwakilan Uni Eropa menyesalkan keputusan Dewan Negara Turki itu. Keputusan Presiden Erdogan yang menempatkan Hagia Sophia di bawah Direktorat Urusan Keagamaan sebagai keputusan yang sangat disesalkan di era modern.

Kekecewaan jelas-jelas dilontarkan Morgan Ortagus, Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS. “Kami kecewa atas keputusan yang diambil pemerintah Turki terkait perubahan status Hagia Sophia.”

Sementara UNESCO, meminta kepada otoritas Turki untuk membuka dialog secepatnya untuk menghindari mundurnya nilai universal dari warisan yang berharga yang kelestariannya akan direview oleh Komite Warisan Dunia pada sesi selanjutnya.

Dari kalangan Turki sendiri, pengubahan status Hagia Sophia sempat tidak disetujui dari politisi pihak oposisi; CHP, partai yang didirikan Atatürk. Ibrahim Koboglu, politisi CHP membuat statement penolakan. “Istana Topkapi harus tetap dilestarikan sebagai museum, Hagia Sophia harus tetap dilestarikan sebagai museum, bahkan (masjid) Sultan Ahmet juga seharusnya dijadikan museum, karena itu semua merupakan warisan umum umat manusia saat ini.”

Penyesalan Paus

Selain kaum sekularis, komunitas Kristen memang yang paling meradang saat Hagia Sophia akan dikembalikan menjadi masjid dan azan berkumandang lagi di sana. Beberapa pemimpin Kristen, seperti Uskup Hilarion, yang mengepalai departemen Gereja Ortodoks Rusia untuk hubungan gereja eksternal, menggambarkannya sebagai "pukulan bagi Kekristenan global". Kepala Gereja Ortodoks Athena dan seluruh Yunani, Uskup Agung Ieronymos, mengecam apa yang ia gambarkan sebagai "instrumentalisasi agama untuk tujuan partisan atau geopolitik".

Otoritas Gereja Rusia, Vladimir Legoide, Juru Bicara Gereja Orthodoks Rusia terang-terangan membawa komunitas Kristen sebagai bentuk kekecewaan saat putusan pengadilan mengembalikan Hagia Sophia menjadi masjid. Ia merasa, keprihatinan dari jutaan umat Kristen tidak didengar. Keputusan pengadilan ini menunjukkan bahwa seruan untuk memberikan perhatian yang serius untuk urusan ini menurutnya telah diabaikan.

Dewan Gereja Dunia, yang mewakili 350 gereja Kristen, mengatakan telah menulis surat kepada Erdoğan untuk mengungkapkan "kesedihan dan kecemasan" mereka.

Demikian juga Pemimpin Gereja Katolik Roma, Paus Fransiskus. Pemimpin Vatikan –kini tengah berada di Indonesia sejak 3 sampai 6 September 2024– menyatakan kerisauannya terkait keputusan Turki mengubah museum Hagia Sophia menjadi masjid. Kerisauan Paus Francis ini disampaikan menjelang akhir khotbah tengah hari di Lapangan Santo Petrus, Minggu 12 Juli 2020.

“Aku memikirkan Hagia Sophia, dan aku sangat sedih." Begitu ungkap sang Paus.

Hari ini, Paus Fransiskus masih di Indonesia. Boleh jadi, siaran azan Magrib di televisi hari ini yang diganti dengan running text saat Misa yang dipimpin Paus lahir dari bisikan penganut liberalis sekuler atas dalih toleransi salah kaprah. 

Namun, keganjilan ini bukan hal yang mengejutkan. Bukankah pernah ada penganut liberal mengasosiasikan lantunan azan dengan gonggongan anjing? Bukankah yang membela puisinya Sukmawati yang bersyair: “Suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok, Lebih merdu dari alunan azanmu” adalah dosen liberal yang pernah ditelanjangi pendemo hingga tinggal sempaknya saja yang menempel? 

Jadi, orang yang paling sering menodai agama itu terang benderang pelakunya. Siapa lagi kalau bukan liberalis! Liberalis itu cemen. Azan saja dimusuhi. Bah!

Ciputat, 05 September 2024.
Menjelang mulih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

Naskah Pentigraf MTs Pembangunan 2023 yang Lolos Seleksi

MTs Pembangunan kembali menggelar event menulis. Dimulai dari rangkaian kegiatan Field Trip, kemudian dilanjutkan dengan event menulis Pentigraf. Tim Editor yang bekerja sejak akhir Oktober 2023, telah menyelesaikan 100 % proses naskah seleksi dan editing. Pengumuman hasil seleksi telah dimuat di situs ini secara berkala setiap Sabtu, dimulai Sabtu, 09 Desember 2023 sampai dengan Sabtu, 23 Desember 2023. Hari ini, Sabtu, 23 Desember 2023 adalah pengumuman tahap terakhir naskah yang lolos seleksi. Kepada para penulis yang naskahnya belum lolos seleksi, tetap semangat menulis untuk mengikuti event-event menulis berikutnya, Keputusan Tim editor bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Selamat kepada penulis yang naskahnya sudah dinyatakan lolos TIM Editor berikut ini: Akbar Diawur. Judul pentigraf "Kehidupan di Masa Depan". Athaya Juneeta. Judul Pentigraf "Warisan Nenek" . Binar Bening Embun. Judul Pentigraf "Mukidi". M. Akhtar Ziyad. Judul Pentigraf &

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah