Tangkapan layar suasana Ngaji Pekanan Tematik Korps Mubaligh Muhammadiyah Kota Depok #143. Tangkapan layar milik kumta.id |
NGAJI Pekanan Tematik Korps Mubaligh Muhammadiyah Kota Depok malam ini seri ke-143. Narasumbernya “Orang Korea”; Ustaz Irfanuddin R,Lc., M.PD.I. Tema yang diangkat “Kaidah Dasar Pendidikan Islam”. Materinya sangat substansial. Saya ingin mencuplik bagian luarnya saja, yang ringan-ringan, yang tipis-tipis.
Iman, adab, dan ilmu menjadi titik berangkat bahasan Ustaz Irfan. It's exactly. Ketiganya itu core values pendidikan Islam. Core values ini warna yang membedakan pendidikan Islam dengan pendidikan sekular. Poin ini teramat penting. Ia mendesak untuk terus dibincangkan para pendidik muslim. Pangkalnya cuma satu, yaitu bahwa iman, adab, dan ilmu selalu berhadapan dengan sekularisme yang menggerus iman dan adab.Ada poin yang cukup menohok dari uraian narasumber, soal muatan tahfizh. Boleh jadi, poin ini menjadi trend pendidikan di beberapa lembaga pendidikan Islam. Memang ia bukan sesuatu yang keliru. Trend ini baik. Akan tetapi, bila trend muatan tahfizh itu hanya fenomena latah atau sekadar komoditas pasar yang patut dijual, sedang ramai, dan lepas dari substansi dari Al-Qur’an itu sendiri, ini perlu ditimbang kembali.
Menghafal Al-Qur'an itu penting, sebab dahulu Al-Qur'an terpelihara otentisitasnya dari hafalan dan catatan para sahabat, tabi’in, tabi'it tabi'in hingga zaman akhir kita sekarang. Akan tetapi, berakhlak sesuai Al-Quran jauh lebih penting. Tentu jauh lebih penting lagi hafal Al-Qur’an dan adabnya Qur’ani. Pendidikan Islam perlu fokus di sini. Sekali lagi, hafalan itu penting pada porsinya yang proporsional.
Dunia keilmuan Islam sangat menjunjung tinggi adab, akhlak, atau moralitas. Dalam tradisi periwayatan hadits misalnya, seseorang yang didapati bermoral jahat tidak akan dipercaya periwayatannya. Ini sangat berbeda dengan tradisi keilmuan Barat yang sekular. Ilmuan besar Barat yang menjadi rujukan keilmuan dunia internasional saat ini seperti Rousseau, Henrik Ibsen, Leo Tolstoy, Ernest Hemingway, Karl Marx, Bertrand Russel, atau Jean-Paul Sartre itu sudah menjadi rahasia umum sebagai pribadi-pribadi bermoral bejat. Dan, itu tidak masalah dalam tradisi Barat.
Dalam bukunya “Intellectuals” yang dikutip Adian Husaini, Paul Johnson menyebut Rousseau sebagai “manusia gila yang menarik” (an interesting man). Saat berusia 15 tahun, pada 1728, Rousseau rela menukar agamanya menjadi Katolik agar dapat menjadi peliharaan Madame Francoise- Louise de Warens. Ernest Hemingway, ilmuan jenius, tidak punya agama yang jelas meskipun kedua orangtuanya penganut Kristen yang taat. Hadley, istri pertamanya menyatakan hanya melihat Hemingway sembahyang dua kali, yaitu saat perkawinan dan saat pembaptisan anaknya. Untuk menyenangkan Pauline, istri keduanya, Hemingway berganti agama menjadi penganut Katolik Roma. Kata Johnson, Hemingway bukan saja tidak percaya Tuhan, bahkan menganggap “organized religion” sebagai ancaman terhadap kebahagiaan manusia.
Bisakah perilaku demikian diterima pada pribadi seorang ulama dalam tradisi keilmuan Islam?
Saya pernah mengikuti seminar tentang pendidikan di Finlandia. Semua tahu, pendidikan Finlandia dipandang sebagai pendidikan paling baik saat ini. Finlandia menjadi model dan kiblat dunia pendidikan yang dibincangkan para guru sampai ke kedai-kedai kopi. Namun, alangkah saya terkejut saat narasumber mengisahkan sisi moralitas guru dan orang Finlandia.
Di sekolah-sekolah Finlandia, selalu ada ruang khusus yang diperuntukkan bagi guru yang sedang mabuk karena alkohol. Di ruang itu, guru yang masih teler bebas mengekspresikan kemabukannya yang bersifat kasar, brutal, atau perilaku khas orang mabuk. Selama guru itu masih berada di bawah pengaruh alkohol, dia tidak boleh masuk kelas untuk mengajar. Ia baru diizinkan masuk kelas untuk mengajar bila sudah benar-benar bebas dari pengaruh alkohol.
Saya pernah mengikuti seminar tentang pendidikan di Finlandia. Semua tahu, pendidikan Finlandia dipandang sebagai pendidikan paling baik saat ini. Finlandia menjadi model dan kiblat dunia pendidikan yang dibincangkan para guru sampai ke kedai-kedai kopi. Namun, alangkah saya terkejut saat narasumber mengisahkan sisi moralitas guru dan orang Finlandia.
Di sekolah-sekolah Finlandia, selalu ada ruang khusus yang diperuntukkan bagi guru yang sedang mabuk karena alkohol. Di ruang itu, guru yang masih teler bebas mengekspresikan kemabukannya yang bersifat kasar, brutal, atau perilaku khas orang mabuk. Selama guru itu masih berada di bawah pengaruh alkohol, dia tidak boleh masuk kelas untuk mengajar. Ia baru diizinkan masuk kelas untuk mengajar bila sudah benar-benar bebas dari pengaruh alkohol.
Dalam tradisi pendidikan Islam, guru macam apa yang begini? Apa bisa jadi panutan bagi peserta didiknya sebagaimana fungsi seorang murabbi dalam pendidikan Islam?
Ini Finlandia yang sangat paradoks sebagai negara pendidikan terbaik seperti yang diceritakan Munif Chatib, sang narasumber seminar yang saya sebut tadi. Bila musim akan berganti Polar Night–keadaan ketika matahari tidak muncul atau tidak terbit yang berlangsung selama beberapa hari– banyak orang sesama –saudara, kolega, teman, atau tetangga– berpelukan sambil berkata, “Semoga kita masih bisa berjumpa pada musim berikutnya.”
Mengapa demikian? Itu karena ada orang Finlandia yang stress menjalani hidup pada fase Polar Night. Sebagaimana kita ketahui, Finlandia adalah negara dengan malam terpanjang di dunia dengan durasi hingga 200 hari di kota Kuusamo, 2 bulan di Finlandia Utara, dan yang tersingkat hanya sehari di wilayah garis Lingkar Arktik. Dalam bahasa Finlandia malam panjang atau fenomena Polar Night ini lebih dikenal dengan nama “Kaamos”, yaitu fenomena malam kutub yang biasa terjadi pada saat musim dingin.
Hidup pada fase “Kaamos” mengganggu psikis tidak sedikit orang Finlandia. Banyak di antara mereka mengakhiri hidupnya dengan cara menabrakan diri pada kereta yang sedang melaju cepat yang melintasi stasiun-stasiun seperti Santa Claus Express, Allegro Train, VR Finnish Rail, Suonenjoen Rautatieasema, Hämeenlinnan Rautatieasema, atau Louhela Railway Station.
Kita boleh bertanya, mengapa sistem pendidikan Finlandia yang katanya terbaik itu menghasilkan banyak orang putus asa mengakhiri hidup dengan cara itu? Di mana hasil kedewasaan sebagai tujuan pendidikan yang diperkenalkan Barat selama ini?
Maka, orang Finlandia yang saling mengenal satu sama lain kembali berpelukan saat fase “Kaamos” berakhir. Mereka bahagia bisa bertemu kembali dalam keadaan masih hidup dan bersyukur bisa melewati masa-masa berat “Kaamos”.
Bila cerita Munif Chatib ini benar, maka, boleh jadi secara fisik, pendidikan Finlandia yang terbaik. Akan tetapi dari sisi kedewasaan bagaimana menyikapi fenomena alam secara kejiwaan, jauh panggang dari api.
Jadi, masih kesemsem dengan pendidikan Finlandia?
Satu lagi hal penting yang disinggung Ustaz Irfan, yaitu soal konsep pendidikan Barat yang kerap diterima tanpa kritik. Secara tidak sengaja, kadang para pendidik muslim membebek teori-teori pendidikan Barat sekular. Seperti soal larangan menggunakan instruksi “jangan” dalam interaksi pendidikan. Seolah kata “jangan” tak ubahnya barang haram yang tidak boleh disentuh. Padahal Al-Quran sebagai landasan pendidikan Islam kerap menggunakan kata “jangan” dalam konteks mendidik umat menuju kedewasaan berpikir dan bersikap.
Beberapa tahun terakhir, dunia sekolah kita dijejali oleh apa yang dikenal dengan konsep Pendidikan Karakter. Perumusnya seorang keturunan Yahudi Amerika; Lawrence Kohlberg, Profesor dalam bidang psikologi sosial di Universitas Chicago dan pakar pendidikan di zamannya.
Ini Finlandia yang sangat paradoks sebagai negara pendidikan terbaik seperti yang diceritakan Munif Chatib, sang narasumber seminar yang saya sebut tadi. Bila musim akan berganti Polar Night–keadaan ketika matahari tidak muncul atau tidak terbit yang berlangsung selama beberapa hari– banyak orang sesama –saudara, kolega, teman, atau tetangga– berpelukan sambil berkata, “Semoga kita masih bisa berjumpa pada musim berikutnya.”
Mengapa demikian? Itu karena ada orang Finlandia yang stress menjalani hidup pada fase Polar Night. Sebagaimana kita ketahui, Finlandia adalah negara dengan malam terpanjang di dunia dengan durasi hingga 200 hari di kota Kuusamo, 2 bulan di Finlandia Utara, dan yang tersingkat hanya sehari di wilayah garis Lingkar Arktik. Dalam bahasa Finlandia malam panjang atau fenomena Polar Night ini lebih dikenal dengan nama “Kaamos”, yaitu fenomena malam kutub yang biasa terjadi pada saat musim dingin.
Hidup pada fase “Kaamos” mengganggu psikis tidak sedikit orang Finlandia. Banyak di antara mereka mengakhiri hidupnya dengan cara menabrakan diri pada kereta yang sedang melaju cepat yang melintasi stasiun-stasiun seperti Santa Claus Express, Allegro Train, VR Finnish Rail, Suonenjoen Rautatieasema, Hämeenlinnan Rautatieasema, atau Louhela Railway Station.
Kita boleh bertanya, mengapa sistem pendidikan Finlandia yang katanya terbaik itu menghasilkan banyak orang putus asa mengakhiri hidup dengan cara itu? Di mana hasil kedewasaan sebagai tujuan pendidikan yang diperkenalkan Barat selama ini?
Maka, orang Finlandia yang saling mengenal satu sama lain kembali berpelukan saat fase “Kaamos” berakhir. Mereka bahagia bisa bertemu kembali dalam keadaan masih hidup dan bersyukur bisa melewati masa-masa berat “Kaamos”.
Bila cerita Munif Chatib ini benar, maka, boleh jadi secara fisik, pendidikan Finlandia yang terbaik. Akan tetapi dari sisi kedewasaan bagaimana menyikapi fenomena alam secara kejiwaan, jauh panggang dari api.
Jadi, masih kesemsem dengan pendidikan Finlandia?
Satu lagi hal penting yang disinggung Ustaz Irfan, yaitu soal konsep pendidikan Barat yang kerap diterima tanpa kritik. Secara tidak sengaja, kadang para pendidik muslim membebek teori-teori pendidikan Barat sekular. Seperti soal larangan menggunakan instruksi “jangan” dalam interaksi pendidikan. Seolah kata “jangan” tak ubahnya barang haram yang tidak boleh disentuh. Padahal Al-Quran sebagai landasan pendidikan Islam kerap menggunakan kata “jangan” dalam konteks mendidik umat menuju kedewasaan berpikir dan bersikap.
Beberapa tahun terakhir, dunia sekolah kita dijejali oleh apa yang dikenal dengan konsep Pendidikan Karakter. Perumusnya seorang keturunan Yahudi Amerika; Lawrence Kohlberg, Profesor dalam bidang psikologi sosial di Universitas Chicago dan pakar pendidikan di zamannya.
Soal karakter ini lebih substansial daripada sekadar larangan kata "jangan". Akan tetapi, lagi-lagi, ini konsep pendidikan Barat sekular. Tipologi Pendidikan Karakter ala Barat itu “bebas nilai”. Substansinya, Pendidikan Karakter di Barat itu hanya membantu siswa menemukan nilainya sendiri. Mereka bebas punya nilai yang berbeda-beda sebab tidak ada norma moral yang dipegang sebagai acuan kecuali norma kebebasan.
Tidak banyak orang tahu, di penghujung hidupnya, Kohlberg jatuh sakit. Penyakitnya berhasil didiagnosa dokter pada Mei tahun 1973. Kohlberg kemudian harus menerima suatu kondisi, dimana rasa sakit, ketidakberdayaan, hingga pada tahap depresi melanda kehidupannya selama 16 tahun sebab penyakitnya tidak kunjung sembuh.
Senin, 19 Januari 1987, Kohlberg meminta cuti satu hari dari Rumah Sakit Massachusetts tempat ia dirawat. Kohlberg menghilang. Malang nian nasib Kohlberg si pencetus Pendidikan Karakter ini. Polisi hanya menemukan mobil Kohlberg terparkir di perumahan Jalan Winthrop pada 21 Januari 1987. Kohlberg berhasil ditemukan dalam keadaan sudah tidak bernyawa pada April 1987. Tepat pukul 12:30 siang, seorang polisi negara bagian menemukan jenazah Kohlberg mengapung sekitar 1.000 meter ke arah selatan pantai.
Dari hasil pemeriksaan medis, disimpulkan bahwa tenggelam adalah penyebab kematian seorang Kohlberg. Diduga, Kohlberg menenggelamkan tubuhnya ke dalam samudera bersama virus yang telah menggerogoti tubuhnya dalam waktu sekian lama.
Sampai saat ini, kematian Kohlberg terus dirayakan oleh beberapa kalangan di Amerika. Mereka menilai Kohlberg telah mengambil pilihan hidup yang tepat bagi dirinya. Ya, persis seperti doktrin Pendidikan Karakter yang dianutnya yang “bebas nilai”, seperti kasus orang Finlandia yang bebas menabrakan dirinya pada kereta karena depresi melawan musim.
Begitulah. So, Ngaji Pekanan Tematik Korps Mubaligh Muhammadiyah Kota Depok malam ini mencerahkan.[]
Depok, 24 September 2024, menjelang tidur.
Have a nice rest.
0 Comments
Posting Komentar