Aku dan sahabat sedang meresapi qoute-nya Helen Keller: "Walking with a friend in the dark is better than walking alone in the light" di Kota Bambu Selatan, Slipi, Senin 07 Oktober 2024. |
Hari yang ajaib. Tubuhmu “dimatikan sementara”. Kehidupanmu dikuasai fungsinya oleh alat-alat medik. Pisau bedah merobek. Jarum dan benang menjahit. Alat-alat warisan Abul Qasim az-Zahrawi 1.011 tahun yang lalu itu menjalankan fungsinya di meja bedah.
Dokter bekerja cermat. Semua dihitung dengan akurasi amat presisi. Sebab taruhannya hidup atau mati. Aku tidak bisa menebak ada di mana titik pasrahmu saat itu bersemayam. Mungkin sudah pada maqam syatahat-nya para sufi, di mana hidup dan mati sama-sama tiada beda, sebab keduanya mengantarmu pada gerbang kebahagiaan yang dicari-cari pemburu rida Tuhan. Begitulah kamu kemarin, saat ikhtiar perobatan berhenti di ruang operasi.
Hari yang sungguh-sungguh ajaib. Saat dokter berjuang mengatasi kebocoran jantung yang kamu derita, jantung dan paru-paru sintetis mengambil alih fungsinya. Alat-alat itu bekerja persis seperti kerja jantung memompa darah dan paru-paru memompa oksigen. Tuhan tahu, dokter-dokter itu bukan sedang menyaingi Diri-Nya dengan jantung dan paru-paru buatan yang dipasang di luar tubuhmu. Tuhan tahu, dokter-dokter itu hanya sedang menyempurnakan ikhtiar hambanya yang sabar. Tuhan tidak pula cemburu sebab mahakarya-Nya diambil alih.
Manusia wajib mencari kesembuhan dari setiap penyakit. Sedangkan Tuhan, tiadalah Dia menciptakan penyakit melainkan Dia menyandingkannya dengan obat peyembuh. Bila obat penyembuh itu adalah operasi, maka Tuhan mengizinkan. Aku percaya, kamu telah mengatasi semua tekanan dari bayang-bayang operasi teramat berat dan menakutkan. Bukan lagi soal rasa sakitnya, melainkan risiko paling fatal bila operasi mengalami kegagalan.
Mataku mengembun mendengar ceritamu. Segera kualihkan wajah, menyamping sambil menatap gerbang pintu yang terbuka. Angin semilir masuk dari celah itu. Ke sana lah wajahku kuhadapkan agar embusannya segera menyapu embun di mataku agar segera kering. Aku malu bila titik air mata itu memberitahumu dan menyangka bahwa aku sedih, sementara kamu begitu pasrah saat bercerita.
Tapi jangan salah paham, itu bukan air mata sedih sahabat, bukan. Itu air mata campuran partikel-partikel haru biru, bahagia merah merona, bersyukur seputih kapas, takjub yang menjingga, dan entah apalagi warna perasaan yang menggumpal mendapati keadaanmu sekarang. Kau tahu, bila air mataku itu disiram cahaya matahari pagi di pematang bawang di kampungmu yang hangat, kau akan melihat kilau seperti kristal menari-nari di wajahku.
Sebelumnya, ada bagian dari ceritamu yang membuat aku berpikir, pantas saja banyak orang menjadi kufur sebab alat-alat canggih hari ini bisa mengambil alih fungsi hidup sehingga mereka mengingkari adanya Tuhan. Orang-orang itu menihilkan kuasa di atas segala kuasa karena meyakini kehidupan itu berjalan alami tanpa campur tangan siapa pun termasuk Tuhan. Bahkan Friedrich Nietzsche menyebut “Gott ist tot” atau “Tuhan telah mati”. Si filsuf Jerman ini terlalu durhaka. Bila durhaka Fir’aun baru sampai merampas posisi Tuhan dengan mengaku sebagai “ana rabbakum al-a'la”, Nietzsche bahkan berani terang-terangan “membunuh tuhan”.
Namun bagi kita, Allah adalah Tuhan Yang Maha Hidup. Dia pula yang pantas menyandang sebagai Yang Maha Menyembuhkan. Karena Allah lah kita menyimpan harapan yang tidak pernah kering untuk sebuah kesembuhan. Maka saat kesembuhan itu menghampiri, lupalah kita pada kesombongan manusiawi sambil berujar, “wa idzaa maridhtu fahuwa yasyfiin”. Namun, masih pula kita menyisakan terima kasih pada manusia yang membantu ikhtiar kesembuhan itu.
“Selamat, Pak. Operasi jantung Bapak sukses.” Itulah kalimat pertama yang kamu dengar dari petugas medik di saat pandangan matamu masih kabur karena efek anestesi operasi besar. Saya percaya, andaikan kamu bisa menangis saat itu, pastilah pecah tangis bahagiamu memenuhi langit-langit bangsal perawatan. Aku saja yang mendengarnya, menghangat mataku beberapa detik.
Itulah hari di mana kehidupan kedua diberikan Allah padamu. Ya, Tuhan kita ini Maha Sayang, sayang sekali. Kamu sudah “mati” berjam-jam. Namun, Allah mengembalikan ruhmu untuk melanjutkan hidup. Buhul-buhul yang mengikat tubuhmu hingga terbaring kaku di meja operasi lepas satu persatu.
Sahabat, nikmatilah kehidupan keduamu. Kamu yang rendah hati di hadapanku berkata, “Kalau bukan juga karena doa-doa teman-teman semua, aku tidak tahu bagaimana bisa melewati semua ini. Terima kasih.” Dan hatiku meleleh. Lalu, saat bekas sayatan di dadamu itu kau perlihatkan padaku, aku memejam. Aku tidak sanggup dan tidak ingin berlama-lama melihat. Entah, aku tidak bisa menafsirkan perasaanmu saat kali pertama mendapati sayatan itu. Hatiku berubah sesenggukan.
Siang ini, hatiku meleleh lagi mendapati pukul 14.05 kau kirim gambar sudah di Cirebon. Sebentar lagi sampai di muka pintu rumah. Berbahagialah, ada ibu yang sudah menanti di sana. Enjoy your second life.
Ciputat, 09 Oktober 2024.
Dari Balik Manisnya Persahabatan.
Komentar
Posting Komentar