Ilustrasi bingkisan cantik. Foto Credit: https://mediaindonesia.com/ |
حين حذق ابنه حماد سورة الحمد وهب المعلم خمسمائة درهم –وفي رواية ألف درهم– فقال المعلم : ما صنعت حتى انفذ الي هذا واحضره واعتذر له. فقال أبو حنيفة: يا هذا تستحقر ما علمت ولدي, والله لو كان معنا أكثر من ذلك لدفعناه تعظيما للقرآن.
Kalimat di atas kutipan dari Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaidi pada karyanya berjudul “Imamat al-Imam al-A’zham Abu Hanifah Radhiyallahu anhu fi al-Suluk wa al-Aqidah wa al-Hadits wa al-Fiqh”, hal. 168. Karena kutipan dari aslinya “gundul”, maka dibiarkan “gundul” alias tanpa harakat. Mau saya kasih “rambut”, belum mantap sebab masih suka keder mana mubtada muakhor, khabar muqaddam, fi’il, fail, naibul fail, maf’ul, hal, sifat maushuf, mudhaf mudhaf ilaih, dan serangkaian rumit kaidah ilmu nahwu.
Soal terjemah, ini lebih sederhana. Dengan mengintip kamus, selesai masalah. Maka, kira-kira begini arti kutipan di atas itu:
“Ketika putranya, Hammad, telah mahir membaca Surah Al-Fatihah, Abu Hanifah memberikan kepada pengajarnya 500 dirham –dalam riwayat lain disebutkan 1000 dirham. Guru itu kemudian berkata: "Apa yang telah saya lakukan sampai dia mengirimkan ini kepada saya? Saya perlu menghadirkan dan meminta penjelasannya." Lalu, Abu Hanifah berkata: "Wahai Tuan, apakah Anda meremehkan apa yang telah Anda ajarkan kepada anak saya? Demi Allah, jika kami memiliki lebih dari itu, kami akan memberikannya lebih banyak sebagai bentuk penghormatan terhadap Al-Qur'an."
Apa ini tidak salah? hanya anaknya baru bisa baca dan hafal Al-Fatihah, Imam Hanafi memberi pengajar anaknya itu hadiah 500 dirham? Bagaimana bila hafal juz 30 apalagi 30 juz?
500 dirham berapa nilainya bila dirupiahkan? Banyak itu. Bila kurang percaya, coba dihitung pelan-pelan.
Khalil Ahmad Al-Siharanfuri dalam Badzl Al-Majhud fi Hall Abi Dawud yang dikutip Nurul Irfan dalam Fiqih Jinayah, Jakarta: AMZAH, 2019, hal. 192., menyebutkan bahwa pada masa Nabi SAW, harga mata uang dirham nilainya setara dengan 1/10 dinar. 1 dinar setara dengan 4,25 gram emas murni.
Jadi, bila dihitung-hitung, 2 dirham itu sama dengan 2 x 0,425 gram emas= 0,85 gram. Andaikata 1 gram emas hari ini harganya 100.000, berarti 0,85 x 100.000 = 85.000. Lha, kalo 500 dirham dikalikan 85.000, berapa duit itu? Monggo hitung sendiri.
Lebih mencengangkan lagi pemberian Al Qadhi Abdullah bin Ghanim seperti yang diceritakan Ibnu Raqiq berikut ini:
عبد الله بن غانم القاضي كان له ابن، فجاء من عند معلمه فسأله عن سورته وحفظه، فقرأ عليه أم القرآن فأحسن في قراءته، فدفع إليه عشرين دينارا… [مواقف وأحوال – هكذا كان السلف ينفقون على تعلم أولادهم القرآن]
"Al-Qadhi Abdullah bin Ghanim mempunyai seorang anak laki-laki. Ketika anaknya pulang dari rumah gurunya, ia menanyakan apa yang barusan dipelajari dan dihafalkan dari Al-Qur’an. Maka anaknya menjawab dengan membacakan surah Al-Fatihah dengan bacaan yang bagus. Karena gembiranya, sang Qadhi mengirimkan hadiah untuk guru anaknya tersebut 20 dinar." (Lihat, http://almahajjafes.net/مواقف-وأحوال-هكذا-كان-السلف-ينفقون-على/ . Juga dalam https://www.souhnoun.com/الأولياء-و-الصالحون-في-تونس/عبد-الله-بن-غانم-القاضي/
Pengalaman Imam Abu Hanifah dan Al-Qadhi Abdullah bin Ghanim di atas apakah bisa dijadikan sandaran bolehnya orangtua memberi hadiah kepada guru yang mengajarkan anaknya sesuatu? Demikian juga, apakah dapat dijadikan argumentasi guru diperkenankan menerima hadiah pemberian orang tua murid?[]
Sebuah institusi pendidikan mengeluarkan kebijakan melarang Pendidik dan Tenaga Kependidikan menerima atau meminta hadiah dari orang tua peserta didik itu sah-sah saja. Apabila larangan itu dimaksudkan untuk membangun iklim birokrasi pendidikan yang bersih, transparan, dan akuntabel, serta bermaksud untuk merawat integritas dalam proses pendidikan, rasa-rasanya kebijakan itu memang diperlukan.
Marwah pendidikan itu ada di tangan guru, orang tua dan masyarakat, dan institusi pendidikan. Maka, tanggung jawab membangun iklim birokrasi pendidikan yang bersih, transparan, dan akuntabel ada di tangan ketiganya secara kolektif. Artinya, kesadaran bersama untuk membangun kultur pendidikan yang baik melalui kebijakan tertulis atau peraturan tidak bisa berjalan secara parsial.
Harus jujur diaku, tidak semua peraturan bisa langsung dipahami substansinya, apalagi diterima. Terlebih apabila peraturan tersebut menyangkut pembatasan atau bahkan pembatalan urusan yang menyenangkan seperti hadiah. Hadiah itu sering dimaknai sebagai rezeki “min haitsu la yahtasib”, atau “rezeki nomplok”.
Hadiah saat pembagian raport misalnya, atau saat kenaikan kelas dalam institusi sekolah itu termasuk rezeki “min haitsu la yahtasib” meskipun sudah bisa diprediksi. Sebenarnya secara psikologis, ini berdampak kepada jiwa selain guru wali kelas. Setuju atau tidak, begitulah adanya. Hanya saja, Pendidik itu etiketnya sering berjalan di depan mendahului ego. Maka, betapapun kontras ada di hadapannya ia bisa ditelan dalam diam.
Hadiah itu ibarat gula-gula, manis dan sedap rasanya. Menerima hadiah seperti mengemut gula. Karena itu, hampir tidak ada orang yang tidak suka apabila mendapat hadiah. Apalagi hukum asal hadiah dan saling memberi hadiah itu boleh. Dalam sebuah riwayat, saling memberi hadiah itu bisa memupuk sikap saling mengasihi.
Akan tetapi, meskipun hukum asal hadiah itu boleh, namun bila ia terkoneksi dengan jabatan, tugas pokok, dan institusi, boleh jadi itu tidak murni hadiah. Apalagi bila hadiah itu dikhawatirkan mengganggu pola interaksi yang bersih, prinsip transparansi, akuntabilitas, integritas lembaga, jabatan dan tugas pokok, reasoning pelarangan menerima atau meminta hadiah sebagai ucapan terima kasih bisa diterima.
Dahulu, Nabi SAW pernah menegur Ibn al-Lutbiyyah karena hadiah yang dia terima. Ibn al-Lutbiyyah ini pejabat yang mendapat tugas mengumpulkan zakat di Banu Sulaim. Ibnu al-Lutbiyyah datang kepada Nabi SAW melaporkan soal pendapatan pajak dan hadiah yang dia terima. Rupanya Nabi SAW tidak berkenan soal hadiah itu. "Kenapa Anda dulu tidak memilih untuk tetap tinggal di rumah ayah dan ibumu saja (tidak menjadi pejabat), lalu menunggu apakah Anda diberi hadiah atau tidak?" tegur Nabi SAW.
Lalu, di mana harus ditempatkan hadiah yang diterima Pendidik atau Tenaga Kependidikan dalam sebuah institusi? Rasanya, kasus Ibn al-Lutbiyyah lebih matching dipasangkan dari pada kaidah umum: “Saling memberi hadiahlah, niscaya kalian akan saling mencintai”.
Maka, boleh jadi keluhuran akhlak Imam Abu Hanifah dan Al-Qadhi bin Ghanim yang memberi hadiah kepada guru anaknya itu diberikan kepada guru privat, bukan guru yang sudah mendapatkan gaji resmi dari institusi seperti tempat guru itu mengajar. Tentu, hadiah seperti ini tidak terlalu perlu mempertimbangkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan integritas sebab bersifat sangat personal.[]
Peraturan yang bersifat larangan, tentu punya konsekuensi-konsekuensi. Bila larangan itu tidak dipatuhi atau dilanggar, biasanya ada sanksi yang diterapkan semisal sanksi administratif. Maka, siapa pun yang menerima atau memberi hadiah sama-sama kena sanksi. Bila tidak ada sanksi, maka larangan itu menjadi kurang bermakna untuk apa dia dihadirkan.
Kemudian, bila tujuannya adalah ingin membangun iklim birokrasi pendidikan yang bersih, transparan, dan akuntabel, serta merawat integritas dalam proses pendidikan, maka hal itu mencakup semua aktivitas. Artinya, pelarangan ini tidak hanya menyasar pada persoalan menerima atau memberi hadiah kepada wali kelas atau guru saja. Ini tidak komprehensif dan terlalu parsial.
Maka, uang “kerahiman” dari guru penerima sertifikasi atau dana hibah yang dihimpun koordinator ini bisa ditinjau kembali atau didiskusikan kembali. Demikian juga uang “kerahiman” yang dihimpun pada momen-momen tertentu seperti menjelang lebaran yang dipersembahkan kepada teman-teman yang menjadi garda terdepan sektor kebersihan sekolah sebagai tanda terima kasih.
Selama ini, pondasi bangunan alasan pemberian uang “kerahiman” itu adalah kompensasi atas tenaga membantu urusan administrasi guru atau wali kelas. Membantu dimintai tolong urusan fotocopy, jilid, bantu-bantu angkat raport wali kelas dari ruang guru ke ruang kelas, atau hal yang berhubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan pembelajaran.
Dengan diberlakukannya edaran larangan menerima hadiah atau tanda terima kasih, maka alasan-alasan di atas tidak bisa digunakan lagi sebagai dalil kebolehan menerima hadiah atau memberi hadiah. Lain hal bila ada kebijakan tertulis yang mengatur secara legal formal yang legalitasnya setara dengan aturan soal larangan menerima hadiah.
Buntut dari pelarangan dimaksud, suka atau tidak suka akan menyentuh soal uang “kerahiman” itu. Pertama, sama seperti Pendidik, Tenaga Kependidikan sudah mendapat gaji, tunjangan, gaji ke-13, asuransi, dan THR sesuai aturan kepegawaian dari institusi. Maka, pendapatan di luar pos-pos itu bisa dikategorikan sebagai hadiah.
Kedua, tugas dan fungsi Tenaga Kependidikan fokus pada penyediaan layanan administrasi Pendidik dalam urusan administrasi kepegawaian untuk menunjang proses pembelajaran. Jadi, Tupoksi mereka memang di sana tempatnya. Sementara Tupoksi guru merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran di kelas. Memang, Tupoksi Tenaga Kependidikan dan Pendidik saling terkoneksi, namun tidak sampai pada substitusi Tupoksi.
Ketiga, Tenaga Kependidikan serta elemen penunjang tugas dan fungsi setiap bagian sama kedudukannya, sama pula dalam perlakukan kompensasi atau penghasilan yang didapat selama bekerja sesuai aturan kepegawaiannya. Karena itu, alasan “kerahiman” tidak sepenuhnya bisa diterapkan dalam tata kelola kepegawaian.
Maka, yang menjadi pertanyaan berikutnya, apakah uang “kerahiman” itu termasuk hadiah atau bukan. Bila termasuk hadiah, maka sudah sepatutnya berlaku kebijakan larangan itu. Bila bukan, dimasukkan dalam kategori apa pemberian itu.[]
Iklim birokrasi pendidikan yang sehat tidak hanya berhenti pada soal larangan menerima dan memberi hadiah. Semua aktivitas yang melibatkan keuangan institusi pun harus dijamin kebersihan, transparansi, dan akuntabilitasnya. Misalnya kepanitiaan dalam sebuah event. Pintu masuk cukup lebar ada di sini untuk bisa diuji transparansi dan akuntabilitasnya.
Soal kepanitiaan dalam sebuah event, prinsip transparansi tampak kasat mata. Siapa dan jadi apa mudah sekali dibaca setelah SK atau Surat Tugas diterima. Apabila tidak ada indikasi ada person yang dipasang “selalu ada di mana-mana” dan person yang dikunci untuk “tidak ada di mana-mana”, ini sudah memenuhi prinsip keterbukaan dan keadilan. Maka, matrik atau grafik siapa yang terlalu sering dan terlalu kering dari akumulasi event dalam satu atau dua semester berjalan bisa dibuat dalam waktu sekali duduk.
Akan tetapi, menyangkut aspek keuangan, setiap event agak tertutup. Yang dimaksud aspek keuangan dalam konteks ini adalah peluang untuk menilai pembiayaan dan sumber keuangan secara keseluruhan sebuah event. Tidak semua persona panitia punya akses yang sama. Namun demikian, bila pengelolaan keuangan dijalankan dengan sistem atau aturan yang baku di mana setiap satu rupiah dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya, maka itu transparan dan akuntabel.
Hanya saja, prinsip transparan dan akuntabel tidak berhenti di situ. Apakah distribusi keuangan kepanitiaan telah memenuhi prinsip keadilan atau belum. Memang perlu dada yang longgar menyoal isu ini selapang membaca tulisan ummi.leni.rahayu dalam akun Instagram-nya soal hadiah yang sudah di-like oleh 67. 240 orang itu.
Ambil contoh suatu event yang dilaksanakan di luar kota, memerlukan durasi dua sampai empat hari, dan harus meninggalkan keluarga serta kegiatan rutinnya di masyarakat. Bila kebijakan besar kecil distribusi honorarium panitia tidak cermat diperhatikan, misalnya selisih honorarium panitia yang umumnya wali kelas terlalu jauh nominalnya dengan honor guru yang posisinya hanya pendamping, ini bisa mengundang banyak spekulasi. Prinsip keadilan pun dipertanyakan.
Dasar argumennya sederhana. Pertama, semua event dalam konteks kegiatan itu dibiayai oleh peserta didik melalui uang kegiatan. Wali peserta didik membayar uang kegiatan itu dan tidak ada korelasinya dengan jabatan wali kelas, jabatan kepala , dan panitia pelaksana. Artinya, siapa pun yang dilibatkan dalam kepanitiaan satu event, dia berhak mendapat honorarium yang sama berkeadilan. Sebab, hakikatnya yang membayar honor panitia dan semua kegiatan itu itu uang peserta didik. Sekolah dan panitia hanya diberi mandat terbatas untuk mengelola keuangan itu.
Kedua, perbedaan besar kecilnya honorarium itu perkara wajar, asalkan bukan dikaitkan dengan jabatan wali kelas atau kepala . Mengapa? Karena kompensasi jabatan wali kelas atau kepala itu sudah ada mekanismenya sendiri, yaitu: tunjangan jabatan yang setiap bulan mereka nikmati, bukan pada gelaran event. Ada atau tidak ada event, mereka tetap menerima tunjangan setiap bulan sampai nanti jabatan itu selesai periodisasinya. Jadi, besar kecilnya honorarium rasanya lebih memenuhi rasa keadilan apabila didasarkan pada struktur kepanitiaan pada event tertentu.
Lagi pula, dalam setiap event, wali kelas akan selalu jadi panitia bergantung tingkat event tiap kelas di mana ia menjabat. Kepala sekolah bahkan selalu masuk dalam kepanitiaan hampir di seluruh tingkat. Pada event yang bersifat umum yang berlaku di semua tingkat atau pada event lintas unit atau yayasan, juga selalu ada di sana. Begitulah, privilege guru dengan tugas tambahan seperti di atas memang tidak sama dengan guru tanpa tugas tambahan apa pun. Di manapun, di setiap institusi pendidikan sekolah selalu begitu meskipun dengan kebijakan khas masing-masing.
Ketiga, selain perbedaan besaran honor karena posisi kepanitiaan, volume beban kerja juga harus menjadi dasar pertimbangan selisih honorarium. Untuk memenuhi prinsip keadilan tetes keringat, selisih ini sah. Adalah adil bila ada persona panitia yang beban tugasnya memikul 20,5 kg sound system lebih berhak menikmati selisih honor lebih besar volumenya dari yang hanya memangku bakul nasi yang seberat 2,5 kg. Jangan dibalik. Bila dibalik zalim namanya.
Setiap persona panitia juga harus fair. Bila dalam distribusi tugas kepanitiaan ada panitia yang dapat tugas memanggul 20,5 kg beban dan ada panitia dapat tugas memangku 2,5 kg beban, itu “takdir” buatan manusia. Semuanya harus legowo. Takdir pun selalu berjodoh mengikuti potensi sunnatullah, bahwa “Tuhan tidak akan memberi beban di luar batas kesanggupan manusia”. Boleh jadi yang diberi beban lebih berat karena badannya tinggi kekar dan kuat. Sementara yang bebannya ringan karena tubuhnya cungkring dan suka sesak napas.
Keempat, bila dalam event itu panitia mendapatkan fee dari pihak ketiga seperti hotel, tempat wisata, armada bus, atau restoran maka ia harus didistribusi kepada semua panitia. Boleh jadi besarannya bervariasi mengikuti pola posisi kepanitiaan dan panitia yang menangani pos-pos tersebut. Maka, di sini leadership itu diuji. Jangan cawe-cawe. Apabila dasar pertimbangan pengelolaan fee ini bertumpu jabatan struktural atau siapa punya koneksi dengan siapa, maka kecenderungannya komersialisasi. Bila sudah komersialisasi, maka yang terjadi “saya dan apa dan dapat berapa”. Ini tidak elok dipasangkan dengan semangat kolaboratif dan kebersamaan.
Event-event kepanitiaan seperti ini sebenarnya lebih krusial diperhatikan bila tujuannya untuk menciptakan iklim birokrasi pendidikan yang bersih, transparan, dan akuntabel daripada sekadar persoalan hadiah kepada Pendidik. Event-event kepanitiaan lebih krusial karena agak senyap, tapi potensi transparansi dan akuntabilitasnya dalam pengelolaan keuangan tidak sebening kaca.[]
Sebagai guru yang pernah mengajar di sekolah sangat bersahaja, kebersamaan dalam arti yang sebenarnya kami nikmati setiap hari. Pada jam istirahat misalnya, sekolah hanya sanggup menyajikan bakwan jagung dan tahu goreng plus cabe rawit. Jumlahnya tidak kurang tidak lebih. Setiap guru hanya bisa menikmati satu keping bakwan dan satu kepal tahu. Cabe rawit boleh nambah sesuka yang dimau. Itulah kompensasi untuk “uang makan” kami, tidak seperti yang biasa dinikmati para guru yang mengajar di sekolah-sekolah berkelas.
Tidak ada privilege yang mencolok. Guru biasa, wali kelas, dan kepala sekolah sama-sama menjalankan fungsi pengajaran dan pendidikan. Tidak ada tunjangan jabatan, tidak ada THR, tidak ada asuransi, tidak pula gaji ke-3, tidak ada field trip. Semua fasilitas mahal itu seperti “makhluk asing” dalam dunia idealisme mengajar yang tulus. Kami tidak mengenalnya sama sekali.
Tiap kali asesmen suamtif berakhir –waktu itu istilahnya THB, Tes Hasil Belajar– kami dikumpulkan di ruang pengawas. Semua guru jadi panitia waktu itu. Ketuanya kepala sekolah, wakilnya bendahara sekolah dibantu seorang TU. Bendahara menyampaikan kabar bahwa ada sisa uang operasional THB. Kepala sekolah menyampaikan agar sisa uang dibagi rata saja.
Lalu, bendahara berkeliling mendistribusikan uang itu di atas meja kami lembar demi lembar sampai lembaran uang di tangannya habis. Bila sisa uang tidak cukup untuk didistribusi setiap meja untuk putaran berikutnya, maka uang itu disepakati diberikan kepada kepala sekolah dan bendahara. Bila rata-rata kami menerima 60 sampai 70 ribu rupiah, kami tahu, kepala sekolah dan bendahara masing-masing dapat 90 dan 85 ribu saja.
Betapa sederhananya prinsip keadilan diterjemahkan dengan cara demikian itu. Tapi, kami semua bahagia. Uang 60 sampai 70 ribu saat itu rasanya besar sekali di banding honor kami yang bervariasi dari angka 15 ribu dan yang tertinggi 50 ribu per bulan. Namun, jangan terlalu takjub, itu berlaku pada 1994, tiga puluh tahun yang lalu, saat kita para guru belum mengenal transaksi dengan GoPay.
Rasanya kami para guru amat beruntung. Satu sama lain saling menaruh hormat, terutama kepada guru-guru yang lebih dahulu mengabdi. Tidak pernah ada “api dalam sekam”, di luar tampak adem, di dalam yang membakar cemburu. Hampir tidak ada pemantik yang menciptakan api di sana.
Iklim sekolah yang bersih, transparan, akuntabel, dan integritas para pendidik begitu menonjol. Cara menyuburkannya pun dengan pupuk sederhana yaitu kebersahajaan dan dari kesyukuran sekeping bakwan jagung dan cabe rawit, bukan dengan bungkus-bungkus artifisial bermotif batik.[]
Setiap guru punya peran mengantarkan peserta didik menyelesaikan proses belajarnya di sekolah. Bila diibaratkan buah, pada tingkat bawah peserta didik yang datang masih hijau beranjak menguning. Di tengah, kuning itu meredup menjadi kemerahan. Nanti di atas, merahnya sempurna. Tandanya dia sudah matang.
Sampailah masa wisudah digelar, toga akan disematkan di kepala mereka dengan senyum semringah, itu hasil sentuhan tangan para guru dari semua tingkat yang dilalui mereka. Namun, siapa pendidik yang paling berjasa mengantarkan toga itu?
Secara simbolik, yang paling berjasa adalah mereka yang menerima sekuntum bunga, mereka yang hari itu menghirup keharuman bunga di antara riuh gemuruh tepuk tangan wisudawan dan tamu undangan.
Banyaklah yang tepekur. Menitik air matanya menyaksikan haru membuncah. Ada yang segera beranjak pulang. Dia tak sabar ingin segera menghirup keharuman bunga. Keharuman bunga itu rupanya tidak jauh dari pelataran rumah. Ia menyeruak dari rambut anak-anaknya yang belum keramas dari habis bermain layang-layang di tegalan. Harumnya memang tidak semewah aroma setangkai mawar yang didapat di forum wisuda, tapi bau rambut anak-anak biologisnya itu autentik. Keharumannya bukan artifisial dari simbol setangkai mawar.[]
Iklim birokrasi pendidikan yang bersih, transparan, dan akuntabel serta berintegritas memang selalu dirindukan para perindu.
Ciputat, 21 Oktober 2024.
Ruang Guru
Komentar
Posting Komentar