Ilustrasi muazin. |
Pengumandang azan Subuh itu telah pergi. Dia meninggalkan rekaman abadi. Bukan pada pita kaset, pada keping piringan hitam, atau pada perangkat digital. Bukan. Sebab dia tak pandai pada media-media profan itu.
Suaranya yang yang khas sudah terekam dalam media buatan Tuhan. Menempel dalam memori setiap orang sekitar masjid Al-Huda, masjid Muhammadiyah yang megah di kampung kami. Apakah itu memori orang Muhammadiyah, memori orang Aswaja, bukan memori orang Muhammadiyah atau bukan pula orang Aswaja semua merekamnya.
Ayo! Kita bertaruh. Suara azannya itu bahkan terekam melekat pada memori orang Muhammadiyah atau orang Aswaja yang lupa sembahyang, lupa jalan ke masjid, atau lupa pada Tuhan seru sekalian alam. Semua merekamnya. Sebab rumah-rumah mereka yang pelupa itu hanya sejengkal saja berdiri di samping teritikan masjid, tetangga masjid, atau bahkan pengurus masjid atau musala.
Jadi, andaikata satu waktu pada tengah malam Tuhan berkehendak mengutus makhluk gaib untuk menirukan azannya sang muazin ini dari menara Masjid Al-Huda dengan suara yang persis sama, pastilah, baik yang ingat sembahyang atau yang lupa sembahyang akan bangun terperanjat lalu bergumam, “Itu azannya Bang Nasri!”[]
Muazin itu penyeru paling sabar, mengalahkan kesabaran orang yang paling sabar di kolong langit sekalipun. Tidak ada muazin yang mengadu kepada Allah karena kecewa panggilannya diabaikan. Dia tidak pernah ngomel-ngomel meskipun panggilan azannya diabaikan orang sekampung. Diabaikan orang se-Indonesia pun, dia tidak sakit hati. Bilal bin Rabah, atau Abdullah bin Ummi Maktum muazin kesayangan Nabi saja tidak pernah berdoa mengangkat tangan meminta, “Ya Allah, bikin saja orang yang mengabaikan azanku pada budeg semua!” karena sakit hati sebab seruannya tidak digubris.
Memang, apa hak muazin mesti sakit hati? Tuhan pemilik seruan azan itu saja tidak sakit hati kepada para pendosa yang dosanya sudah sundul ke langit. Mengapa? Karena muazin hanya penyambung lidah. Hakikatnya, Allah Yang Maha Besar lah yang sedang memanggil manusia, bukan sang muazin.
Akan tetapi, Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah menaruh keinginan buat membakar rumah orang-orang munafik yang mengacuhkan shalat berjamaah di masjid. ”Sungguh aku berkeinginan untuk memerintahkan muazin agar didirikan (iqamah) shalat, lalu aku perintahkan seseorang untuk memimpin shalat (berjamaah), kemudian aku mengambil bara api dan membakar (rumah) orang yang tidak keluar melaksanakan shalat berjamaah di masjid (tanpa alasan yang benar).” Demikian gambaran keinginan itu yang direkam oleh perawi hadits paling otoritatif; Imam Bukhari dan Imam Muslim.[]
Percayalah, manusia yang semasa hidupnya mengacuhkan azan, akan datang masanya dia merindukan azan melebihi rindunya kekasih ingin bertemu pujaan hatinya. Kapan? Nanti saat jasadnya akan disembahyangkan, saat kesempatan untuk memenuhi panggilan apa pun sudah diblokir.
Boleh jadi kita semua belum menyadari, bahwa azan tidak diizinkan dikumandangkan meskipun untuk panggilan shalat jenazah orang salih, tidak juga untuk mayat para bajingan. Azan seperti diblokir bagi sembahyang untuk semua orang yang sudah mati. Jadi, jangankan untuk shalatnya, untuk mendengarkan azannya saja kesempatan itu sudah ditutup.
Itulah mengapa ada banyak orang minta tangguh barang sedetik saat malaikat maut datang menjemput. Dia merengek-rengek memohon agar jangan dulu dicabut nyawanya karena dia ingin sedekah dulu, ingin jadi orang salih dulu. Boleh jadi juga karena dia ingin telinganya mendengar gema azan untuk kali yang terakhir.[]
Hampir sepuluh atau lima belas tahun Bang Nasri merekam azannya di udara. Dilantunkan panggilan itu berulang-ulang menembus langit. Kalimatnya sama, iramanya sama, durasi waktunya juga sama.
Dia jarang mengeluh, kecuali keluhan atas sakit kakinya yang sewaktu-waktu kambuh. Berjalannya jadi sudah tidak gesit lagi. Langkahnya limbung ke kiri dan ke kanan saat melangkah hendak menunaikan tugasnya di masjid. Sebagai “penyambung seruan Tuhan” dia jalani peran ini sampai akhir hayat. Azan Subuh pada Jumat 27 September 2024 menjadi azan Subuh terakhirnya berkumandang.
Kepada saya, seorang kerabat Bang Nasri bercerita. Beberapa waktu kemarin Bang Nasri ingin menyerahkan kunci masjid. Saya paham, boleh jadi karena kondisi fisik semakin payah dia tahan. Bukan mustahil karena khawatir kinerjanya terus menurun dan tugas-tugasnya sebagai marbot banyak terbengkalai.
Namun, takdir seperti tidak menginginkan kunci itu diserahkan. Malah kewafatannya pada Sabtu 28 September 2024 yang meluluskan niatnya itu semasa hidup. Itu penyerahan kunci yang tidak bisa ditolak dan tidak bisa ditarik kembali.
Sebelum meninggalkan masjidnya, Bang Nasri dua kali kehilangan paku. Paku itu cantolan, tempat biasa Bang Nasri menggantung kain atau celana di balik pintu di lorong sekira dua setengah meter dari kamar kecil. Itu kebiasaannya mengurangi ribet bolak-balik membawa kain tiap kali ke masjid. Tidak ada yang tahu, ke mana perginya paku itu. Boleh jadi paku itu sengaja pergi mendahului Bang Nasri seakan tahu tuannya sebentar lagi akan meninggalkannya.[]
Nasarudin bin Amit, muazin Masjid Jami Al-Huda Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pulo semasa hidup. Foto milik keluarg.a |
Selamat jalan, Bang Nasri. Banyak orang akan merindukan azanmu. Banyak pula emak-emak tetangga Abang yang akan merindukan suaramu saat membangunkan mereka menjelang masak sahur setiap Ramadhan.
Di bulan Ramadhan, umumnya emak-emak itu bukan takut kepada para suami Bang, tapi, takut kesiangan! Sebab kalau mereka kesiangan, suaminya bisa marah, THR bisa diblokir. Karena itu, berapa banyak emak-emak terselamatkan dari marahnya suami mereka karena Abang rajin sekali membangunkan mereka. Sekarang, Abang telah pergi, pergi meninggalkan emak-emak juru masak paling andal di rumah tangga mereka masing-masing. Ramadhan esok, entah berapa banyak emak-emak yang kesiangan.
Bang, maafkan bila ada kata dan perilaku yang menggores di hati Abang semasa kita hidup dan bergaul. Mohon jangan adukan hal itu kepada Allah, tapi sampaikan kepada-Nya bahwa Abang telah memaafkan kami semua.
Sekali lagi selamat jalan. Semoga lapang kuburmu.
Ciputat, 01 Oktober 2024.
Dari meja kelas P5RA 8C Madrasah Pembangunan Jakarta.
Komentar
Posting Komentar