Kepala Sekolah menyampaikan pengantar pada acara pembukaan Tes Pemetaan PPDB. Didampingi anggota PRM dan Komite Sekolah. Poto koleksi penulis. |
Kepala sekolahnya bukan malaikat, guru-gurunya juga bukan peri yang suka menolong, tenaga penunjang kependidikannya pun bukan pangeran tampan dan dayang-dayang jelita seperti karakter kisah di dunia dongeng. Ini juga, gedungnya pun tidak menyerupai eloknya Fairy Garden atau istana kerajaan di dunia peri. Ah, entahlah.
Tahun Ajaran Baru
Menjelang Tahun Ajaran Baru, sekolah sangat sibuk menjaring calon peserta didik. TIM PPDB dibentuk. Promosi, open house, beasiswa, program unggulan, atau tawaran biaya rendah tapi fasilitas keren banyak ditawarkan. Ya, tentu saja agar dapat murid.
Banyak sekolah yang berhasil. Peserta didik baru melebihi kuota. Ada sekolah yang bersyukur masih dapat mempertahankan kuota tahun lalu. Ada sekolah yang mulai gelisah sebab kuota tidak terpenuhi. Ada sekolah yang terpuruk karena hanya dapat setengah kuota saja. Ada pula sekolah yang bercucuran air mata karena tidak mendapat murid sama sekali.
Ada banyak faktor keberhasilan atau kegagalan sekolah mendapat peserta didik baru. Berbagai analisis untuk membaca peluang dan gejala-gejalanya dilakukan sekolah. Kadang, ia begitu rumit sehingga sulit ditemukan formula untuk mengatasinya. Namun, dengan kesungguhan dan strategi cerdik problem itu bisa dipecahkan.
Kadang problem kuota begitu sederhana, hanya saja diabaikan karena dianggap bukan faktor yang mengancam. Akan tetapi, faktor sederhana yang diabaikan itu menjadi begitu mematikan di belakang hari. Puluhan kelas kosong melompong karena tidak dapat murid. Kelas-kelas yang beberapa tahun ke belakang selalu ramai, tiba-tiba senyap, menjadi seperti kontrakan yang ditinggalkan penyewanya. Ini menyakitkan.
Maka bagi sebagian kalangan di sekolah, menjelang tahun ajaran baru di akhir semester ganjil, ia bisa menjadi waktu menikmati liburan, atau jantung terasa copot karena detaknya mengikuti ritme grafik naik atau turun kuota PPDB.
Kecintaan Alumni
Tidak sedikit SDM dikerahkan, biaya juga banyak dianggarkan untuk mengelola PPDB. Di beberapa sekolah masih pula mengalokasikan biaya cetak banner, spanduk, dan brosur untuk menarik minat mata masyarakat. Hanya saja banner, spanduk, dan brosur kadang kurang efektif memengaruhi masyarakat menjatuhkan pilihan.
Ada promosi rendah biaya. Boleh jadi, malah tidak ada sesen pun biaya yang dikeluarkan sekolah untuk mendapatkan murid dengan promosi ini. Apa itu? Mengikat hati alumni.
Kecintaan alumni pada almamater itu berkah. Ia bisa menjadi jalan promosi alami paling murah, tapi digdaya menjaring murid. Sekolah cukup menyediakan hati untuk merawat mereka. Ikat mereka agar terus mencintai almamater. Bila cinta sudah melekat, maka peluang sekolah mendapat murid baru secara turun temurun cukup terbuka.
Jalan mengikat cinta alumni memang panjang. Namun, asalkan pola pendidikan sekolah memberi kesan, pola interaksi dan komunikasi warga sekolah pun memberi kesan cinta bisa tumbuh bak cendawan di musim hujan. Bila cinta sudah melekat, cinta itu akan menarik mereka ingin kembali lagi ke sekolah dengan memasukkan adik, saudara, keponakan, sepupu, anak-anak, bahkan cucu mereka juga.
Jangan lupa merawat cinta itu dengan melibatkan mereka secara berkelanjutan. Boleh jadi, dari alumni yang masih menyimpan rasa cinta itu ada yang sudah menjadi menteri, anggota dewan, dokter, dosen, insinyur, pengusaha, pilot, diplomat, artis, pengacara, presenter, Polisi, TNI, ah, banyak lagi. Sekali dua kali, undanglah mereka. Beri ruang untuk sharing pengalaman dan kesuksesan kepada siswa sekolah. Kebayang tidak efeknya?
Intinya, jangan kecewakan aset alami lumbung murid baru seperti mereka. Bila mereka kecewa, selesai sudah. Ironi yang mengenaskan, apabila alumni malah merusak reputasi sekolahnya sendiri. Lalu tanpa bersalah mereka bersulang dengan menularkan perilaku tak terpuji itu kepada adik-adik kelasnya, kepada mereka yang masih belajar di kelas-kelas yang dahulu mereka duduk di dalamnya. Ini ironi di atas ironi.
Daftar Inden
Lha, sepertinya kan tidak lucu, ya. Masa bayi baru berusia 4 bulan sudah didaftarkan orang tuanya masuk ke sebuah SD di Yogyakarta untuk tahun ajaran 2030/2031 pada 29 Juni 2024 kemarin —sila browsing di YouTube atau Tik Tok, wa akhwatuha. Jadi, daftarnya enam tahun sebelum anaknya masuk sekolah nanti.
Dari pemetaan itu juga akan terbaca bahwa calon peserta didik memiliki kecerdasan yang paling menonjol di antara beragam kecerdasan seperti teorinya Howard Gardner. Jadi, bila diilustrasikan, begini kira-kira: bila calon peserta didik diketahui memiliki potensi menjadi elang, dengan pendampingan belajar yang tepat, potensi elangnya diberi ruang untuk tumbuh dan berkembang, maka peserta didik ini akan menjadi elang. Dia akan bisa terbang tinggi sekali layaknya elang.
Akan tetapi, bila potensi itu tidak terbaca lalu salah pendampingan, boleh jadi dia tetap bisa terbang. Hanya saja, kemampuan terbangnya rendah, sekelas terbang burung emprit atau burung sejenis emprit. Tragedi yang lebih menyedihkan, apabila kesalahan pendampingan itu malah membuat sayap-sayap modal terbang itu dibuat patah atau lumpuh.
Kecintaan Alumni
Tidak sedikit SDM dikerahkan, biaya juga banyak dianggarkan untuk mengelola PPDB. Di beberapa sekolah masih pula mengalokasikan biaya cetak banner, spanduk, dan brosur untuk menarik minat mata masyarakat. Hanya saja banner, spanduk, dan brosur kadang kurang efektif memengaruhi masyarakat menjatuhkan pilihan.
Ada promosi rendah biaya. Boleh jadi, malah tidak ada sesen pun biaya yang dikeluarkan sekolah untuk mendapatkan murid dengan promosi ini. Apa itu? Mengikat hati alumni.
Kecintaan alumni pada almamater itu berkah. Ia bisa menjadi jalan promosi alami paling murah, tapi digdaya menjaring murid. Sekolah cukup menyediakan hati untuk merawat mereka. Ikat mereka agar terus mencintai almamater. Bila cinta sudah melekat, maka peluang sekolah mendapat murid baru secara turun temurun cukup terbuka.
Jalan mengikat cinta alumni memang panjang. Namun, asalkan pola pendidikan sekolah memberi kesan, pola interaksi dan komunikasi warga sekolah pun memberi kesan cinta bisa tumbuh bak cendawan di musim hujan. Bila cinta sudah melekat, cinta itu akan menarik mereka ingin kembali lagi ke sekolah dengan memasukkan adik, saudara, keponakan, sepupu, anak-anak, bahkan cucu mereka juga.
Jangan lupa merawat cinta itu dengan melibatkan mereka secara berkelanjutan. Boleh jadi, dari alumni yang masih menyimpan rasa cinta itu ada yang sudah menjadi menteri, anggota dewan, dokter, dosen, insinyur, pengusaha, pilot, diplomat, artis, pengacara, presenter, Polisi, TNI, ah, banyak lagi. Sekali dua kali, undanglah mereka. Beri ruang untuk sharing pengalaman dan kesuksesan kepada siswa sekolah. Kebayang tidak efeknya?
Intinya, jangan kecewakan aset alami lumbung murid baru seperti mereka. Bila mereka kecewa, selesai sudah. Ironi yang mengenaskan, apabila alumni malah merusak reputasi sekolahnya sendiri. Lalu tanpa bersalah mereka bersulang dengan menularkan perilaku tak terpuji itu kepada adik-adik kelasnya, kepada mereka yang masih belajar di kelas-kelas yang dahulu mereka duduk di dalamnya. Ini ironi di atas ironi.
Daftar Inden
Lha, sepertinya kan tidak lucu, ya. Masa bayi baru berusia 4 bulan sudah didaftarkan orang tuanya masuk ke sebuah SD di Yogyakarta untuk tahun ajaran 2030/2031 pada 29 Juni 2024 kemarin —sila browsing di YouTube atau Tik Tok, wa akhwatuha. Jadi, daftarnya enam tahun sebelum anaknya masuk sekolah nanti.
Ada juga sekolah setingkat SMP atau MTs yang sudah membuka pendafataran untuk calon peserta didik yang masih duduk di kelas 4 dan 5 SD. Banyak yang daftar dan kuotanya sudah habis di semester ganjil. Ini apa-apaan?
Saya masih “kucek-kucek mata” —seperti orang yang belum percaya pada apa yang dilihat— dengan fenomena kebijakan suatu sekolah yang sudah menjalankan program daftar inden ini. Apa resepnya, apa formulanya, dan apa daya tarik yang bisa membuat para orang tua bersedia mengikuti permainan ini. Apakah karena rahasia pendidikan langit sudah mereka pecahkan sehingga peminat pendidikan di bumi seolah bersimpuh di hadapannya? Halagh!
Otak saya yang tempurungnya hanya untuk space menjadi guru biasa, terseok-seok untuk menganalisis. Faktanya, memang ada sekolah yang demikian itu. Kepala sekolahnya bukan malaikat, guru-gurunya juga bukan peri yang suka menolong, tenaga penunjang kependidikannya pun bukan pangeran tampan dan dayang-dayang jelita seperti karakter kisah di dunia dongeng. Ini juga, gedungnya pun tidak menyerupai eloknya Fairy Garden atau istana kerajaan di dunia peri. Ah, entahlah.
Akan tetapi, boleh jadi, meskipun jasad fisik mereka bukanlah tokoh-tokoh itu, jiwa-jiwa mereka seperti jiwa-jiwa “malaikat”, jiwa “peri penolong”, dan jiwa-jiwa “pangeran” dan “dayang-dayang” yang begitu memikat para orang tua. Bukan mustahil, muatan pendidikan dan layanan yang mereka tawarkan itu manusiawi dan memenuhi harapan. Bukan saja manusiawi kepada para orang tua dan siswa, melainkan juga memanusiakan siapa saja yang tetes keringatnya turut menyertai membesarkan sekolah itu.
Tes Pemetaan
Pada sekolah-sekolah tertentu, tes pemetaan calon peserta didik kerap dilakukan. Umumnya berlaku pada sekolah-sekolah yang tidak terlalu dipusingkan dengan problem kuota peserta didik baru terpenuhi atau tidak. Jadi, sekolah macam ini sudah selesai untuk urusan peminat.
Persoalannya, apakah pemetaan itu substansial atau administratif saja sifatnya. Jadi, masalahnya ada di sini. Asalkan pemetaan itu bukan sekadar untuk mendapat kesimpulan apakah calon peserta didik bisa direkomendasikan diterima atau tidak diterima, itu substansial. Namun, bila tes pemetaan itu hanya berhenti di situ —sebatas keputusan diterima atau tidak— ini hanya administrasi saja, tidak substansial, tidak berefek.
Apakah tes pemetaan itu memang penting? Penting. Asli penting. Sebab, proses ini menjadi layanan pendidikan yang berkorelasi langsung dengan proses belajar.
Sebatas teoretis ilmu pedagogik, tes pemetaan merupakan proses untuk menggali potensi dan kesiapan belajar calon peserta didik. Ini substansinya. Nanti, hasil pemetaan ini akan dibaca guru dan menjadi dasar pertimbangan mereka merancang proses pembelajaran di kelas.
Kecerdasan Unik
Saya masih “kucek-kucek mata” —seperti orang yang belum percaya pada apa yang dilihat— dengan fenomena kebijakan suatu sekolah yang sudah menjalankan program daftar inden ini. Apa resepnya, apa formulanya, dan apa daya tarik yang bisa membuat para orang tua bersedia mengikuti permainan ini. Apakah karena rahasia pendidikan langit sudah mereka pecahkan sehingga peminat pendidikan di bumi seolah bersimpuh di hadapannya? Halagh!
Otak saya yang tempurungnya hanya untuk space menjadi guru biasa, terseok-seok untuk menganalisis. Faktanya, memang ada sekolah yang demikian itu. Kepala sekolahnya bukan malaikat, guru-gurunya juga bukan peri yang suka menolong, tenaga penunjang kependidikannya pun bukan pangeran tampan dan dayang-dayang jelita seperti karakter kisah di dunia dongeng. Ini juga, gedungnya pun tidak menyerupai eloknya Fairy Garden atau istana kerajaan di dunia peri. Ah, entahlah.
Akan tetapi, boleh jadi, meskipun jasad fisik mereka bukanlah tokoh-tokoh itu, jiwa-jiwa mereka seperti jiwa-jiwa “malaikat”, jiwa “peri penolong”, dan jiwa-jiwa “pangeran” dan “dayang-dayang” yang begitu memikat para orang tua. Bukan mustahil, muatan pendidikan dan layanan yang mereka tawarkan itu manusiawi dan memenuhi harapan. Bukan saja manusiawi kepada para orang tua dan siswa, melainkan juga memanusiakan siapa saja yang tetes keringatnya turut menyertai membesarkan sekolah itu.
Tes Pemetaan
Pada sekolah-sekolah tertentu, tes pemetaan calon peserta didik kerap dilakukan. Umumnya berlaku pada sekolah-sekolah yang tidak terlalu dipusingkan dengan problem kuota peserta didik baru terpenuhi atau tidak. Jadi, sekolah macam ini sudah selesai untuk urusan peminat.
Persoalannya, apakah pemetaan itu substansial atau administratif saja sifatnya. Jadi, masalahnya ada di sini. Asalkan pemetaan itu bukan sekadar untuk mendapat kesimpulan apakah calon peserta didik bisa direkomendasikan diterima atau tidak diterima, itu substansial. Namun, bila tes pemetaan itu hanya berhenti di situ —sebatas keputusan diterima atau tidak— ini hanya administrasi saja, tidak substansial, tidak berefek.
Apakah tes pemetaan itu memang penting? Penting. Asli penting. Sebab, proses ini menjadi layanan pendidikan yang berkorelasi langsung dengan proses belajar.
Sebatas teoretis ilmu pedagogik, tes pemetaan merupakan proses untuk menggali potensi dan kesiapan belajar calon peserta didik. Ini substansinya. Nanti, hasil pemetaan ini akan dibaca guru dan menjadi dasar pertimbangan mereka merancang proses pembelajaran di kelas.
Kecerdasan Unik
Setiap calon peserta didik memiliki kesiapan belajar yang berbeda-beda, potensi yang berbeda-beda, juga ragam kecerdasan yang unik. Itulah titik-titik yang menjadi sketsa hasil pemetaan yang akan diterjemahkan dalam aktivitas belajar. Bila pemetaan diarahkan demikian, ini keren.
Sketsa yang saya maksud adalah setiap wali kelas dan guru mendapat salinan hasil tes pemetaan bahwa calon peserta didik bernama A adalah auditori, B visual, C kinestetik, D visual kinestetik —penelitian terbaru belakangan, teori ini sudah dianggap usang—, dan seterusnya. Sketsa ini menjadi pertimbangan bagi guru dalam merancang pembelajaran —menetapkan metode, pendekatan, penilaian, alat bantu belajar— yang menjangkau diferensiasi peserta didik sesuai kebutuhan mereka.
Sketsa yang saya maksud adalah setiap wali kelas dan guru mendapat salinan hasil tes pemetaan bahwa calon peserta didik bernama A adalah auditori, B visual, C kinestetik, D visual kinestetik —penelitian terbaru belakangan, teori ini sudah dianggap usang—, dan seterusnya. Sketsa ini menjadi pertimbangan bagi guru dalam merancang pembelajaran —menetapkan metode, pendekatan, penilaian, alat bantu belajar— yang menjangkau diferensiasi peserta didik sesuai kebutuhan mereka.
Dari pemetaan itu juga akan terbaca bahwa calon peserta didik memiliki kecerdasan yang paling menonjol di antara beragam kecerdasan seperti teorinya Howard Gardner. Jadi, bila diilustrasikan, begini kira-kira: bila calon peserta didik diketahui memiliki potensi menjadi elang, dengan pendampingan belajar yang tepat, potensi elangnya diberi ruang untuk tumbuh dan berkembang, maka peserta didik ini akan menjadi elang. Dia akan bisa terbang tinggi sekali layaknya elang.
Akan tetapi, bila potensi itu tidak terbaca lalu salah pendampingan, boleh jadi dia tetap bisa terbang. Hanya saja, kemampuan terbangnya rendah, sekelas terbang burung emprit atau burung sejenis emprit. Tragedi yang lebih menyedihkan, apabila kesalahan pendampingan itu malah membuat sayap-sayap modal terbang itu dibuat patah atau lumpuh.
Apalah artinya elang bila tidak sanggup mengepakkan sayap. Kasihan. Elang yang hanya mampu berjalan menginjak tanah sambil mematuk remah-remah, hilang wibawanya di dunia burung karena tidak sanggup mengudara. Lha, kok ke sono?😂
Visi Kecerdasan
Sabtu kemarin 14/12/24, sempat menghadiri pembukaan proses Tes Pemetaan PPDB di suatu sekolah. Saya kenal baik beberapa guru di sini. Kenal baik juga Kepala Sekolahnya. Sebelum acara pembukaan dimulai, menyempatkan berbincang dengan “The Young Principal” ini. Asyik dan nyambung.
Meskipun tidak mengikuti proses pemetaannya, saya percaya pemetaan yang dilakukan sekolah ini dilakukan untuk mendapatkan sketsa kesiapan belajar calon peserta didik baru esok. Saya kira, reputasi sekolah ini memang harus melakukan pemetaan yang diarahkan pada tujuan menunjang keberhasilan belajar peserta didiknya.
Sebagai sekolah yang bercirikan Islam yang kuat, fokus pada kecerdasan tertinggi, yakni kecerdasan spiritual atau kecerdasan tauhid cukup diperhatikan. Sementara kecerdasan Spasial – Visual, Linguistik, Interpersonal, Intrapersonal, Musikal, Kinestetik, dan kecerdasan Logis – Matematis ada juga dikembangkan pada ragam ekstra kurikuler yang disediakan.
Muara pendidikan Islam itu adalah kecerdasan tauhid. Ia bertujuan menyadarkan siswa untuk apa dia hidup di dunianya masing-masing. Jadi, visinya adalah akhirat. Inilah yang membedakan pendidikan Islam dengan pendidikan sekuler yang tidak mau menghubungkan urusan dunia dengan agama, apalagi terkoneksi langsung dengan akhirat.
Bagi kita, anak boleh jadi apa saja yang baik-baik sesuai cita-cita dan kecerdasan masing-masing. Akan tetapi, menjadi apa saja yang baik-baik itu harus menyadarkan mereka bahwa capaian-capaian itu hanya sarana untuk kebahagiaan akhiratnya.
Apalah artinya jadi elang yang bisa terbang tinggiii sekali, namun tidak tahu ke mana dia akan pulang dan di dahan mana akan hinggap. Ini seperti dokter, insinyur, dan apalah semua yang gemerlap itu yang fasih pada urusan dunia, tapi gagap bila sudah menyangkut urusan ibadah. Sedih tidak, bila murid sudah sukses dunianya, tapi tidak tahu caranya bersuci, tidak paham wudhu, dan tidak bisa membedakan mandi wajib dan mandi biasa?
Baiklah bapak “The Young Principal”, tetaplah menjadi nakhoda yang mengantarkan guru dan siswa bapak meraih kecerdasan tertinggi, kecerdasan tauhid. Cara bapak membangun kepercayaan diri peserta didik seperti yang saya lihat kemarin, itu detail yang tidak bisa dianggap sepele. Maturnuwun sanget.
Happy weekend.
Depok, 15 Desember 2024.
Di sela Ahad yang sibuk.
Visi Kecerdasan
Sabtu kemarin 14/12/24, sempat menghadiri pembukaan proses Tes Pemetaan PPDB di suatu sekolah. Saya kenal baik beberapa guru di sini. Kenal baik juga Kepala Sekolahnya. Sebelum acara pembukaan dimulai, menyempatkan berbincang dengan “The Young Principal” ini. Asyik dan nyambung.
Meskipun tidak mengikuti proses pemetaannya, saya percaya pemetaan yang dilakukan sekolah ini dilakukan untuk mendapatkan sketsa kesiapan belajar calon peserta didik baru esok. Saya kira, reputasi sekolah ini memang harus melakukan pemetaan yang diarahkan pada tujuan menunjang keberhasilan belajar peserta didiknya.
Sebagai sekolah yang bercirikan Islam yang kuat, fokus pada kecerdasan tertinggi, yakni kecerdasan spiritual atau kecerdasan tauhid cukup diperhatikan. Sementara kecerdasan Spasial – Visual, Linguistik, Interpersonal, Intrapersonal, Musikal, Kinestetik, dan kecerdasan Logis – Matematis ada juga dikembangkan pada ragam ekstra kurikuler yang disediakan.
Muara pendidikan Islam itu adalah kecerdasan tauhid. Ia bertujuan menyadarkan siswa untuk apa dia hidup di dunianya masing-masing. Jadi, visinya adalah akhirat. Inilah yang membedakan pendidikan Islam dengan pendidikan sekuler yang tidak mau menghubungkan urusan dunia dengan agama, apalagi terkoneksi langsung dengan akhirat.
Bagi kita, anak boleh jadi apa saja yang baik-baik sesuai cita-cita dan kecerdasan masing-masing. Akan tetapi, menjadi apa saja yang baik-baik itu harus menyadarkan mereka bahwa capaian-capaian itu hanya sarana untuk kebahagiaan akhiratnya.
Apalah artinya jadi elang yang bisa terbang tinggiii sekali, namun tidak tahu ke mana dia akan pulang dan di dahan mana akan hinggap. Ini seperti dokter, insinyur, dan apalah semua yang gemerlap itu yang fasih pada urusan dunia, tapi gagap bila sudah menyangkut urusan ibadah. Sedih tidak, bila murid sudah sukses dunianya, tapi tidak tahu caranya bersuci, tidak paham wudhu, dan tidak bisa membedakan mandi wajib dan mandi biasa?
Baiklah bapak “The Young Principal”, tetaplah menjadi nakhoda yang mengantarkan guru dan siswa bapak meraih kecerdasan tertinggi, kecerdasan tauhid. Cara bapak membangun kepercayaan diri peserta didik seperti yang saya lihat kemarin, itu detail yang tidak bisa dianggap sepele. Maturnuwun sanget.
Happy weekend.
Depok, 15 Desember 2024.
Di sela Ahad yang sibuk.
0 Comments
Posting Komentar