Soal sertifikasi guru, sebenarnya itu tanggung jawab negara sebab ia adalah amanat undang-undang. Setiap guru dengan kualifikasi dan syarat terpenuhi berhak mendapatkannya. Masalahnya, Pak Tris ini selalu menyimpan rasa “cemburu” bila tidak turun tangan mengambil peran mengisi kekosongan untuk guru-guru di bawah binaannya melalui sertifikasi internal.
Kemarin, Kamis 19 Desember 2024 sekolah BM 400 menggelar Kick Off Meeting Sekolah Bakti Mulya 400 Tahun 2025 dan Peluncuran School Leadership Program. Ada diskusi panel bertajuk Character and Leadership Education: “Preparing Future Leaders with Values and Integrity” sebagai core dari acara ini. Sudirman Said dan Hamdan Zoelva dihadirkan untuk bicara leadership. Bolehlah, bagiku diajak menyerap energi leadership dari kedua tokoh ini aku sebut sebagai keberuntungan yang menyenangkan. Atas undangan Pak Tris, aku hadir membaur, nyempil di antara guru-guru Bakti Mulya 400 menikmati paparan dua narasumber berkelas ini.
Mbak Anisa, Pak Irwan Kelana, dan Rahma—Tim yang turut menangani Sutrisno Muslimin Sang Inovator— juga hadir. Mas Irul tak usahlah aku sebut hadir sebab dia bagian dari acara ini. Mbak Anisa duduk di sebelahku, Pak Irwan di depan. Kabar angin dari Mas Irul menyebut, Rahma juga hadir duduk di belakang. Ah, mungkin Rahma lagi marah padaku dan enggan mendekat. Bangku yang disediakan di sebelah Mbak Anisa untuknya jadi kosong tak berpenghuni.
Mbak Anisa lebih familiar di sini. Banyak kolega yang dia kenal di BM 400. ‘Gak kebayang bila aku tanpa dia kemarin. Blash! Pastilah aku laksana penyendiri di tengah keramaian. Memang, ada juga wajah-wajah petinggi BM 400 yang aku simpan gambarnya di benak yang mengenalku sedikit saat peluncuran Sutrisno Muslimin Sang Inovator setahun yang lalu. Tapi, itu bukan alasan dan tidak akan menutup kesepianku bila tidak ada Mbak Anisa.
Mencerahkan
Character and Leadership Education: “Preparing Future Leaders with Values and Integrity” disajikan dua narasumber dengan santai bernas. Hamdan Zoelva, praktisi hukum dan mantan Hakim Konstitusi di Mahkamah Konstitusi memberikan wawasan hukum dan kaitannya dengan leadership.
Beliau yang juga Ketua Umum Sarekat Islam (SI) sempat sedikit me-review SI dengan apik dan kontekstual. Disebutnya SI itu rumah leadership Indonesia. Dari rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto yang sempit lahir tokoh-tokoh besar. Rupanya, Tjokroaminoto pendiri SI adalah guru langsung Founding Fathers dan inspirator bagi tokoh-tokoh penggagas pendidikan tanah air yang melegenda seperti KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah.
Setahuku, SI dan KH Ahmad Dahlan memang punya hubungan khusus. Pada “Statuten Perhimpoenan Centraal Sarekat Islam” yang dibuat di Surabaya pada 26 Juli 1915, ada nama Ahmad Dahlan. Pada susunan pengurus, tertulis bahwa Ahmad Dahlan sebagai penasihat. Nama dia dilengkapi dengan profesinya sebagai guru agama. Nanti, pada 1913 —sebagaimana laporan Engelenberg, A.P.E. Korver— Ahmad Dahlan sudah menjadi komisaris dalam kepengurusan Centraal Sarekat Islam.
Di sini, aku menggulung panjang benar merah sejarah. Sebagai guru Sejarah Kebudayaan Islam, poin ini terasa seperti sup daging yang lezat dan segar kuahnya. Aku tidak tahu, apakah audiens pada forum ini seperti citarasaku menikmati sajian Hamdan Zoelva.
Dalam konteks kekinian, Hamdan Zoelva sampai pada kesimpulan bahwa nilai-nilai luhur leadership bangsa yang diwariskan para pendahulu seperti Tjokroaminoto sudah dirusak oleh kepentingan politik pragmatis. Ah, ini poin sangat menarik. Aku serius sekali menyimak.
Boleh jadi, watak Agus Salim, Hatta, Kartosuwiryo, Tan Malaka, Soekarno, dan lain-lain tokoh yang pernah berguru pada Tjokroaminoto seakan tidak bernilai lagi hari ini bagi para petualang politik. Politik untuk kemakmuran rakyat yang diperjuangkan para pendiri bangsa di atas telah dibelokkan skenarionya oleh mereka hanya untuk menambah pundi-pundi kekayaan dan melanggengkan kekuasaan segelintir orang.
Hamdan Zoelva menyebut, ada banyak pemangku kepentingan sudah kehilangan keadaban bernegara. Dalam bahasaku —boleh jadi yang dimaksud Hamdan Zoelva— moral etik tidak lagi menjadi cermin untuk mengontrol kekuasaan politik. Moral etik sudah dibuang, diganti tipu daya untuk mengatur strategi mengawetkan uang dan kekuasaan.
Paparan Hamdan Zoelva ini satu napas dengan temuan penting Syed Muhammad Naquib al-Attas mengenai loss of adab (keruntuhan atau hilangnya adab), kebingungan (kerancuan) ilmu (confusion of knowledge) dan konsep kepemimpinan. al-Attas menyebut problem ini sebagai “dilema” umat Islam dan bangsa kita hari ini. Dampaknya mengerikan. Dari loss of adab lahir kebingungan dan kerancuan ilmu; dari kerancuan ilmu dan loss of adab lahirlah para pemimpin palsu, yaitu para pemimpin yang tidak memiliki identitas dan integritas.
Mbak Anisa lebih familiar di sini. Banyak kolega yang dia kenal di BM 400. ‘Gak kebayang bila aku tanpa dia kemarin. Blash! Pastilah aku laksana penyendiri di tengah keramaian. Memang, ada juga wajah-wajah petinggi BM 400 yang aku simpan gambarnya di benak yang mengenalku sedikit saat peluncuran Sutrisno Muslimin Sang Inovator setahun yang lalu. Tapi, itu bukan alasan dan tidak akan menutup kesepianku bila tidak ada Mbak Anisa.
Mencerahkan
Character and Leadership Education: “Preparing Future Leaders with Values and Integrity” disajikan dua narasumber dengan santai bernas. Hamdan Zoelva, praktisi hukum dan mantan Hakim Konstitusi di Mahkamah Konstitusi memberikan wawasan hukum dan kaitannya dengan leadership.
Beliau yang juga Ketua Umum Sarekat Islam (SI) sempat sedikit me-review SI dengan apik dan kontekstual. Disebutnya SI itu rumah leadership Indonesia. Dari rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto yang sempit lahir tokoh-tokoh besar. Rupanya, Tjokroaminoto pendiri SI adalah guru langsung Founding Fathers dan inspirator bagi tokoh-tokoh penggagas pendidikan tanah air yang melegenda seperti KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah.
Setahuku, SI dan KH Ahmad Dahlan memang punya hubungan khusus. Pada “Statuten Perhimpoenan Centraal Sarekat Islam” yang dibuat di Surabaya pada 26 Juli 1915, ada nama Ahmad Dahlan. Pada susunan pengurus, tertulis bahwa Ahmad Dahlan sebagai penasihat. Nama dia dilengkapi dengan profesinya sebagai guru agama. Nanti, pada 1913 —sebagaimana laporan Engelenberg, A.P.E. Korver— Ahmad Dahlan sudah menjadi komisaris dalam kepengurusan Centraal Sarekat Islam.
Di sini, aku menggulung panjang benar merah sejarah. Sebagai guru Sejarah Kebudayaan Islam, poin ini terasa seperti sup daging yang lezat dan segar kuahnya. Aku tidak tahu, apakah audiens pada forum ini seperti citarasaku menikmati sajian Hamdan Zoelva.
Dalam konteks kekinian, Hamdan Zoelva sampai pada kesimpulan bahwa nilai-nilai luhur leadership bangsa yang diwariskan para pendahulu seperti Tjokroaminoto sudah dirusak oleh kepentingan politik pragmatis. Ah, ini poin sangat menarik. Aku serius sekali menyimak.
Boleh jadi, watak Agus Salim, Hatta, Kartosuwiryo, Tan Malaka, Soekarno, dan lain-lain tokoh yang pernah berguru pada Tjokroaminoto seakan tidak bernilai lagi hari ini bagi para petualang politik. Politik untuk kemakmuran rakyat yang diperjuangkan para pendiri bangsa di atas telah dibelokkan skenarionya oleh mereka hanya untuk menambah pundi-pundi kekayaan dan melanggengkan kekuasaan segelintir orang.
Hamdan Zoelva menyebut, ada banyak pemangku kepentingan sudah kehilangan keadaban bernegara. Dalam bahasaku —boleh jadi yang dimaksud Hamdan Zoelva— moral etik tidak lagi menjadi cermin untuk mengontrol kekuasaan politik. Moral etik sudah dibuang, diganti tipu daya untuk mengatur strategi mengawetkan uang dan kekuasaan.
Paparan Hamdan Zoelva ini satu napas dengan temuan penting Syed Muhammad Naquib al-Attas mengenai loss of adab (keruntuhan atau hilangnya adab), kebingungan (kerancuan) ilmu (confusion of knowledge) dan konsep kepemimpinan. al-Attas menyebut problem ini sebagai “dilema” umat Islam dan bangsa kita hari ini. Dampaknya mengerikan. Dari loss of adab lahir kebingungan dan kerancuan ilmu; dari kerancuan ilmu dan loss of adab lahirlah para pemimpin palsu, yaitu para pemimpin yang tidak memiliki identitas dan integritas.
Bahasan leadership, Sudirman Said menyampaikannya secara sistematis. Bahasanya yang mengalir menjadikan penjelasan topik ini enak disimak poin per poin. Terasa seperti sedang mendengarkan seorang profesor idola mengajar di kelas kuliah. Aku benar-benar menikmatinya, namun tidak ingin mengulasnya di sini. Cukuplah menelaah handout Pak Dirman yang dibagikan Mas Irul atau menyimak rekaman videonya untuk menyerap penjelasan Pak Dirman biar tetap dapat sisi ilmiah dan autentisitasnya.
Tiga Daya
Tiga Daya
Sekarang aku kembali kepada Pak Tris. Di benakku, bukan lagi soal pengalaman autentik masa kecil kami mengejar layangan putus yang selalu kukenang. Itu sudah selesai. Sorry, sudah bergeser.
Memang, dia tidak pernah lelah menghadirkan inovasi. Rupanya, sejak Sutrisno Muslimin Sang Inovator diluncurkan, inovasinya masih terus dia gulirkan. Menggelinding dari waktu ke waktu. Baginya, setiap saat harus ada inovasi baru sebagai legacy bahwa dia pernah ada. Energinya untuk ini seperti tidak habis-habis. Makan dan minum apa orang ini.
Inovasi yang paling kasat mata pada acara kemarin tentu School Leadership Program. Lagi-lagi Pak Tris menunjukkan bagaimana cara dia bekerja dan berpikir. Langkahnya selalu dilandasi filosofi yang kuat. Menghadirkan Sudirman Said dan Hamdan Zoelva bicara soal kepemimpinan, tentu upaya Pak Tris memberikan landasan filosofis School Leadership Program itu.
Program sertifikasi internal guru BM 400, ini juga mengejutkan —setidaknya buatku sebagai outsider teacher. Soal sertifikasi guru, sebenarnya itu tanggung jawab negara sebab ia adalah amanat undang-undang. Setiap guru dengan kualifikasi dan syarat terpenuhi berhak mendapatkannya. Masalahnya, Pak Tris ini selalu menyimpan rasa “cemburu” bila tidak turun tangan mengambil peran mengisi kekosongan untuk guru-guru di bawah binaannya melalui sertifikasi internal. Seakan-akan, Pak Tris ingin bersaing dengan negara untuk urusan pendidikan dan kesejahtaeraan guru. Boleh jadi, karena Pak Tris adalah leader yang berangkat dari dapur seorang guru, paham betul asam garamnya kehidupan mereka.
Teringatlah aku pada pelajaran menulis yang aku dapat dari Bambang Trim. Aku ingin memakai analogi Bambang Trim soal buku untuk memotret Pak Tris. Pak Tris itu leader seperti buku bagus. Buku bagus itu selalu menyimpan tiga daya: daya pikat, daya ubah, dan daya gugah.
Daya pikat Pak Tris ada pada saat dia berorasi. Kemarin, aku tercengang. Benarlah, aku seperti terhipnotis, seperti khalayak di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terkagum-kagum oleh khutbahnya dua orang laki-laki yang diceritakan Ibnu Umar. Khutbah dua laki-laki ini amat memikat, sehingga Rasulullah berkata: “Inna ba’dho al-bayaani sihrun”, sesungguhnya sebagian dari bayan (penjelasan) itu adalah sihir.
Daya pikat Pak Tris tidak berhenti pada keterpukauan orang pada orasinya saja, bukan pada wacana yang dia lempar semata. Namun, bagaimana orasi itu diterjemahkan menjadi program yang dinikmati buahnya oleh komunitas di bawah otoritasnya bekerja. Begitulah, daya pikat ini melekat pada diri Pak Tris meskipun boleh jadi dia menampiknya.
Daya kedua dan ketiga, yakni daya ubah dan daya gugah. Aku rasa, orang-orang dekat Pak Tris dan orang-orang yang bekerja di bawah kepemimpinannya langsung lebih peka dariku soal ini. Tentu, Mbak Anisa, Rahma, atau Mas Irul termasuk orang yang secara atraktif menangkap dua daya ini secara terus menerus sepanjang mereka berinteraksi. Atau Pak Irwan Kelana yang kerap mengulas berita soal Pak Tris di media massa. Biar mereka saja lah yang bertutur.
Selamat, Pak Tris.
Selamat berbahagia guru-guru BM 400. Ini catatan dari pengalaman berharga di Hari Bela Negara, 19 Desember 2024 di forum Kick Off Meeting kemarin. Mbak Dian, terima kasih undangannya. Mas Irul, terima kasih bukunya.
Depok, 20 Desember 2024.
Jumat pagi yang selalu berkah.
0 Comments
Posting Komentar