Pluralisme Agama. Ilustrasi milik: https://annursungaiduri.id/pluralisme-agama-sejarah-dan-konsep-2/
Kelas menjadi hening. Untuk beberapa saat saya juga tercengang. Ketercengangan saya baru buyar saat mendengar pintu dibanting seorang mahasiswa yang meninggalkan kelas sambil berteriak: “Dosen kafir!
Topik Berat
Pagi ini, Ahad, 29 Desember 2024 membawakan topik: "Membentengi Akidah dari Paham Sepilis (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme)”. Dua minggu sebelumnya, seorang anggota PCA menghubungi, menawarkan, dan meminta saya membawakan topik ini pada Pengajian Cabang Aisyiyah dan Muhammadiyah Cimanggis-Tapos.
Tentu, agak terkejut juga diminta ngomongin topik “Sepilis” ini. Ini topik berat, njlimet, dan agak-agak sensitif di sebagian kecil kalangan Muhammadiyah—boleh jadi, karena dalam skala nasional ada beberapa sosok penting dari Muhammadiyah yang sangat dihormati ditengarai menjadi penumpang dari gerbong pengusung paham ini.
Sepengetahuan saya, “Sepilis” bukan pula topik populer pada pengajian-pengajian Muhammadiyah di sini. Umumnya, pengajian di lingkungan Muhammadiyah Depok lebih banyak membahas penguatan ideologi Muhammadiyah—merujuk pada MKCH, HPT, PHIWM, Tafsir At Tanwir—atau tema-tema kajian lepas yang dihubungan dengan nilai-nilai keislaman dan kemuhammadiyahan. Maka, saat diharap bisa membahas topik ini, agak bergidik juga untuk menyanggupi.
Dosen dari Mc. Gill
Saya mengenal model pemikiran “Sepilis” dari dua kutub yang berseberangan. Pertama, saat menjadi mahasiswa UIN Jakarta di mana kesempatan sangat terbuka bagi saya bergaul dengan pemikiran ini melalui beberapa kegiatan, dialog, stadium general, buku, jurnal, dan menyerap materi kuliah di kelas. Tentu, pengalaman yang terakhir menjadi pengalaman yang paling membekas, bahkan menyadarkan saya pada kekeliruan paham ini di belakang hari.
Adalah seorang dosen muda yang baru lulus dari McGill University mengisi kelas Sejarah Aliran Modern Dalam Islam. Menikmati mata kuliah ini menjadi puncak kekaguman saya pada pemikiran berbasis sekularisme, pluralisme, dan liberalisme saat itu. Bukan saja karena dosennya yang handsome, muda, dan cerdas, melainkan juga kepiawaiannya menjelaskan topik kuliah dengan sangat menarik, logis, dan menantang.
Asli, mata kuliah ini dan dosennya keren. Saya seperti anak kecil yang kegirangan karena dibelikan mainan baru tiap kali menyimak sajian tentang jilbab sebagai budaya Arab belaka, soal natal dan dibolehkannya mengucapkan selamat natal, kebebasan beragama termasuk kebebasan untuk tidak beragama, HAM, gender equality, rekonstruksi tafsir klasik dengan pendekatan hermeneutika, tema-tema Islam progresif, dan kebebasan berpikir. “Inilah yang saya cari”, begitu kata hati saat itu. Akan tetapi, dari mulut dosen lulusan McGill University ini pula saya mulai mencurigai ada yang tidak beres pada pemikiran “Sepilis” ini.
Malaikat dan Mukjizat
Satu kali—saya lupa entah itu pertemuan kuliah yang ke berapa—dosen ini membuka wacana diskusi soal-soal keimanan. “Anda percaya Malaikat?” begitu dosen ini bertanya memulai diskusi. Jawaban dan argumentasi normatif dari mahasiswa bersusulan bahwa malaikat itu ada dan merupakan salah satu pilar dari rukun iman. Tentu, saya termasuk yang menjawab dengan jawaban normatif itu dan menegaskan percaya malaikat merupakan perkara pokok keimanan.
Dan, alangkah saya terkejut saat dosen ini merespons, “Tidak ada itu malaikat. Malaikat itu mitos belaka. Mana ada malaikat peniup sangkakala. Emangnya Kenny G!” ujar dosen ini dengan sangat meyakinkan.
Kelas menjadi hening. Untuk beberapa saat saya juga tercengang. Ketercengangan saya baru buyar saat mendengar pintu dibanting seorang mahasiswa yang meninggalkan kelas sambil berteriak: “Dosen kafir!”
Kecurigaan saya semakin kuat saat diskusi seputar keharusan merasionalkan dogma yang disebut dosen ini sebagai ajaran yang mematikan nalar. Katanya, Islam adalah agama rasional, ajarannya masuk akal. Katanya lagi, umat Islam sudah terlalu lama terjebak pada dogma berupa mitos-mitos yang terus dihidupkan dan menggiring umat Islam lebih percaya pada hal-hal ajaib yang tidak jelas. Percaya dan meyakini kebenaran pada mitos-mitos inilah yang bikin umat Islam tidak maju-maju. Maka, segala hal dari ajaran Islam yang tidak rasional—termasuk perkara mukjizat yang memang di luar nalar—harus ditafsir ulang sebagaimana Barat menafsir ulang dogma Kristen. Tafsir ulang atas dogma Kristen inilah yang kemudian mendorong kemajuan dan peradaban mereka.
Disajikanlah contoh kisah Nabi Ibrahim as. yang meminta penegasan bagaimana Allah kuasa menghidupkan dan mematikan—kisah ini dimuat dalam surat Al-Baqarah [2]: 260. Allah kemudian mempertanyakan sikap Ibrahim as. ini apakah belum yakin bahwa Allah Maha menghidupkan dan mematikan. "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)," ujar Ibrahim.
"Kalau demikian tujuanmu, ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. Letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera," firman Allah menjawab permintaan Ibrahim as.
Nabi Ibrahim as. pun segera melaksanakan titah itu. Beliau mencincang-cincang empat ekor burung dan menempatkannya di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian dagingnya. Saat Ibrahim as. memanggil bagian-bagian daging cacahan itu, ia datang merespons panggilan Ibrahim as. dalam bentuk sempurna burung sebab Allah telah menghidupkannya kembali seperti semula.
“Pemahaman yang benar atas ayat itu bukan “cincanglah” burung itu, tapi “latihlah” burung itu agar jinak. Nanti, setelah burung itu dilatih dan jinak, kapan saja dia dipanggil burung itu akan datang menghampiri.” Begitu sang dosen berkesimpulan menguatkan tafsir hermeneutika-nya.
Exactly right! Begitu juga kata hati saya. Itu rasional dan logis. Akan tetapi, bukan itu poin tafsirannya. Poinnya adalah soal kuasa menghidupkan dan mematikan, bukan perkara menjinakkan dan memanfaatkan kejinakan burung itu menurut saat ia dipanggil.
Maka, kemerdekaan berpikir saya pun berkata, “Kalau cuma sekadar melatih burung supaya jinak dan bisa dipanggil pulang, jangan kata Allah, anak kampung yang tidak sekolah juga bisa melakukannya.” Sedangkan bagi Allah, menghidupkan dan mematikan bukan perkara yang tidak masuk akal, bahkan ia sangat mudah dan sangat rasional namun begitu ajaib dan menakjubkan bagi manusia. Bertambahlah keyakinan dan iman manusia atas kuasa Allah yang Mahamenghidupkan dan mematikan dari kasus ini.
Dosen ini berpindah pada mukjizat Mabi Musa as. Menurutnya, Nabi Musa as. dan pengikutnya bukan menyeberangi Laut Merah saat dikejar-kejar Fir'aun dan bala tentaranya, melainkan sedang berlari dengan melintasi rawa-rawa kering. Pada bagian-bagian dari rawa yang kering itulah Musa as. dan pengikutnya melompat dari satu gundukan ke gundukan yang lain di dasar rawa dan selamat sampai ke tepian.
Ajib!
Sayangnya, dosen ini tidak menjelaskan bagaimana nasib Fir'aun sesudah itu. Sungguh, ini pemaknaan baru atas mukjizat yang dipaksa harus masuk akal. Namun, hasilnya malah tidak rasional. Kesimpulan saya, pemikiran liberal sedang mendegradasi autentisitas mukjizat yang dikisahkan Al-Qur'an dan berusaha membuangnya dari keyakinan umat Islam.
Bersikap Adil dan Kritis Pada “Sepilis”
Pengalaman bergumul dengan pemikiran “Sepilis” yang kedua saya dapati saat rutin mengikuti kajian di INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) di Kalibata. Bertemulah saya dengan pemikiran beberapa akademisi yang kritis pada “Sepilis” semisal Hamid Fahmi Zarkasyi, Adian Husaini, Adnin Armas, Anis Malik Thoha, Syamsuddin Arif, Nirwan Syafrin, Henri Salahuddin, juga Dinar Dewi Kania dan beberapa cendekiawan muda yang lain termasuk Fahmi Salim. Umumnya, mereka adalah akademisi murid-murid langsung Syed Muhammad Naquib al-Attas di ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) Kuala Lumpur Malaysia yang menguasai Sejarah Peradaban Islam dan expert pada disiplin ilmu-ilmu syariah, menguasai diskursus liberalisme dan sekularisme, mendalami pemikiran dan peradaban Barat Kristen, dan penguasaan atas Islamic Worldview yang sangat matang.
Selain mengikuti kajian, diskusi, dan acara-acara rutin INSISTS, membaca jurnal dan buku-buku tulisan ber-genre counter-liberalism sangat membantu saya memahami “Sepilis” secara lebih adil dan akademis. Hingga sampailah kesadaran dan kesimpulan bahwa memang paham ini bermasalah. Terlebih saat mengikuti gagasan-gagasan liberal kelompok JIL (Jaringan Islam Liberal) yang mendestruksi syariat secara terang-terangan—silakan akses tautan https://www.canva.com/design/DAGZ4bQbl4M/rzv6P0h-DUHzOfhtf1vxMQ/edit?utm_content=DAGZ4bQbl4M&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=sharebutton untuk memberi sedikit gambaran gagasan-gagasan pengusung “Sepilis”.
Kiprah JIL yang terang-terangan menyebarkan pemikiran—meminjam kesimpulan Adian Husaini— yang: (1) menghancurkan aqidah Islam dengan menyebarkan paham pluralisme agama, (2) meruntuhkan bangunan syariat Islam dengan program “kontekstualisasi ijtihad” dan penggunaan metodologi interpretasi hermeneutika terhadap al-Qur’an, (3) membongkar konsep al-Qur’an sebagai wahyu Allah, lafdhan wa ma’nan minallah, yang suci dari kesalahan, (4) membongkar konsep-konsep dasar Islam seperti makna iman, kufur, murtad, Islam dan sebagainya, (5) meruntuhkan otoritas ulama dalam pemahaman Islam dan (6) mendukung kerusakan akhlak, dengan berpegang pada paham liberalisme dan relativisme moral, cukuplah sudah bagi saya untuk say no to liberalisme.
Pengajian Anti Mainstream
Bersikap Adil dan Kritis Pada “Sepilis”
Pengalaman bergumul dengan pemikiran “Sepilis” yang kedua saya dapati saat rutin mengikuti kajian di INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) di Kalibata. Bertemulah saya dengan pemikiran beberapa akademisi yang kritis pada “Sepilis” semisal Hamid Fahmi Zarkasyi, Adian Husaini, Adnin Armas, Anis Malik Thoha, Syamsuddin Arif, Nirwan Syafrin, Henri Salahuddin, juga Dinar Dewi Kania dan beberapa cendekiawan muda yang lain termasuk Fahmi Salim. Umumnya, mereka adalah akademisi murid-murid langsung Syed Muhammad Naquib al-Attas di ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) Kuala Lumpur Malaysia yang menguasai Sejarah Peradaban Islam dan expert pada disiplin ilmu-ilmu syariah, menguasai diskursus liberalisme dan sekularisme, mendalami pemikiran dan peradaban Barat Kristen, dan penguasaan atas Islamic Worldview yang sangat matang.
Selain mengikuti kajian, diskusi, dan acara-acara rutin INSISTS, membaca jurnal dan buku-buku tulisan ber-genre counter-liberalism sangat membantu saya memahami “Sepilis” secara lebih adil dan akademis. Hingga sampailah kesadaran dan kesimpulan bahwa memang paham ini bermasalah. Terlebih saat mengikuti gagasan-gagasan liberal kelompok JIL (Jaringan Islam Liberal) yang mendestruksi syariat secara terang-terangan—silakan akses tautan https://www.canva.com/design/DAGZ4bQbl4M/rzv6P0h-DUHzOfhtf1vxMQ/edit?utm_content=DAGZ4bQbl4M&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=sharebutton untuk memberi sedikit gambaran gagasan-gagasan pengusung “Sepilis”.
Kiprah JIL yang terang-terangan menyebarkan pemikiran—meminjam kesimpulan Adian Husaini— yang: (1) menghancurkan aqidah Islam dengan menyebarkan paham pluralisme agama, (2) meruntuhkan bangunan syariat Islam dengan program “kontekstualisasi ijtihad” dan penggunaan metodologi interpretasi hermeneutika terhadap al-Qur’an, (3) membongkar konsep al-Qur’an sebagai wahyu Allah, lafdhan wa ma’nan minallah, yang suci dari kesalahan, (4) membongkar konsep-konsep dasar Islam seperti makna iman, kufur, murtad, Islam dan sebagainya, (5) meruntuhkan otoritas ulama dalam pemahaman Islam dan (6) mendukung kerusakan akhlak, dengan berpegang pada paham liberalisme dan relativisme moral, cukuplah sudah bagi saya untuk say no to liberalisme.
Pengajian Anti Mainstream
Ngaji Sepilis di PCA dan PCM Cimanggis Tapos, Ahad 29 Desember 2024 di musala Nururrohman. Foto kiriman Annisa Nur Balqis.
Anggota PCA Cimanggis Tapos pada Pengajian bulanan, Ahad 29 Desember 2024 di musala Nururrohman. Foto kiriman Annisa Nur Balqis. |
Saya harus berkomentar bagaimana saat PCA dan PCM Cimanggis Tapos tertarik dan menyimak topik ini pada pengajian tadi pagi, speechless. Speechless, mereka warga Persyarikatan di Depok yang menaruh minat pada topik berat dan njlimet ini.
Saya sendiri menyebut “Sepilis” sebagai “Khurafat Milenial” dari Barat Kristen. Daya rusak khurafat jenis ini lebih dahsyat dari khurafat dan tahayul jahiliyah yang diberantas Kiai Dahlan pada masa-masa awal Muhammadiyah digerakkan. Menyatakan dan mendukung bahwa LGBT itu hal yang fitrah, kodrati, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam seperti yang disebarkan kelompok “Sepilis” misalnya, itu lebih menyesatkan dan daya rusaknya lebih dahsyat dari sekadar meyakini khurafat “bila mimpi gigi tanggal akan ada kerabat yang meninggal”.
Bukankah demikian?
Lepas dari itu, beneran, pengajian pagi tadi itu pengajian anti mainstream.
Depok, Ahad, 29 Desember 2024.
Catatan di ujung senja dari kader biasa.
0 Comments
Posting Komentar