Itiak lado Ijo Ngarai Sianok. Nikmatnya awet. Foto koleksi pribadi.

Dalam hati aku berkata, kebanyakan kita jatuh pada kesalahan karena sedikit tahu, tapi bicara banyak seolah menjangkau semua hal.

Masih diberi kesempatan menikmati sarapan itu rezeki di akhir bulan yang patut disyukuri saat dompet sudah hampir tiris. Harga sarapannya sih standar, sekira 13 ribu-an dengan menu soto Madura. Bila minta tambahan ceker atau tulangan, sedikit lebih mahal dua sampai tiga ribu rupiah bergantung sebanyak tambahan yang diminta.

Kuah soto mengepul uapnya. Aroma rempah merebak, menusuk hidung membangkitkan selera, khas sekali. Saat soto diaduk, seluruh udara seakan beraroma soto, beraroma gurih.

Perasan jeruk nipis, sedikit kecap, juga sambal, cita rasa sotonya tambah kuat. Berpadulah di atas mangkuk rasa gurih, asam, manis, dan pedas. Sarapan jadi bergairah, terasa istimewa.

Tentu, bila uang masih cukup, kerupuk menjadi penyerta sarapan makin sedap. Tekstur kerupuk yang renyah dan gurih cocok di segala hidangan. Apalagi dengan soto, hmmm. Nikmat Allah yang mana lagi yang tidak membahagiakan?

Bila sarapan pada Jum'at pagi minggu lalu itu dinikmati bersama sahabat karib, pastilah bertambah hangat. Namun tak apa, kekariban itu fleksibel sesuai arah angin berembus. Kadang dia lentur seperti karet, kadang ada masanya dia harus kaku seperti batang tusuk sate.|


Seorang laki-laki —barangkali usianya sepuluh atau dua belas tahun di atasku— menyapa sambil menunggu pesanannya dihidangkan. Wajahnya ganteng, putih. Sorot matanya tampak bersahabat. Senyumnya mengembang.

Aku merespons, balik menyapa seramah yang aku punya. Begitulah aku diajarkan orang tua untuk membalas sapaan orang sepadan dengan sapaannya. Bila dirasa perlu, balaslah dengan keramahan lebih dari yang diterima.

Sejenak, kami asyik berbincang. Kadang bertatap saat saling merespons. Entahlah, keakraban mengalir begitu saja seperti serbuk sari dipertemukan pada putik bunga oleh angin dalam anemogami.

Hingga aku agak surprise saat laki-laki ini menyebutku sebagai orang Minang. Oh, tidak.

“Saya Depok asli, Pak.”
“Betawi Depok. Tapi, logat bicaranya khas Minang.”
“O, gitu?”
“Ya. Saya puluhan tahun di Sijunjung mengurus transmigrasi,” katanya yang mengaku sangat paham logat Minang.
“Maaf, Bapak orang Minang?” tanyaku membalas.
“Bukan. Saya asli Bandung.”

Lah.|

Minang mengalihkan obrolanku pada ingatan sosok Bunda—semoga Bunda selalu melimpah berkah di Kuranji. Pada Desember tujuh tahun lalu, Bunda memberiku ruang menikmati secuil dari keelokan Sumatera Barat. Dengan bentang alamnya yang rimbun, pantainya yang indah, kulinernya yang bikin nagih, tentu keramahan Bunda dan keluarganya yang membekas sampai ke dasar hati. Pantaslah Bunda berkata, “seminggu bukan waktu yang cukup untuk menikmati keelokan Sumatera Barat, Abdul.”

Biarlah, meminjam kaidah ushul: maa laa yudroku kulluh laa yutroku kulluh. Andaikan tidak menjangkau semua, jangan tinggalkan semua dalam seminggu. Maka dalam seminggu itu, Bunda dan keluarga mengajakku menjangkau keelokan Bukittinggi: Mandeh, Ombilin, Danau Singkarak, Danau Maninjau, tentu Teh Talua-nya yang sedap, Museum Buya Hamka, Rumah Gadang, Kelok Sembilan, Lembah Harau, Rumah Gadang, Jam Gadang, dan Itiak Lado Ijo Ngarai Sianok yang mengundang keringat. Ah, sedapnya masakan Itiak itu menyisakan liur yang selalu terbit saat ia diingat-ingat lagi.

Apakah logat bicaraku menjadi agak Minang terpengaruh hanya dalam hitungan waktu tujuh hari?

Terpengaruh atau tidak itu tidak penting, tapi sejujurnya aku sangat menikmati saat berbincang dengan Bunda dengan logat Minangnya yang kental saat kami sarapan atau di waktu-waktu senggang kami berbincang di ruang tengah. Bahkan aku sudah kadung mempersonifikasikan dialog karakter Amak dalam novelku “Pengantin Fort van der Capellen" itu adalah Bunda. Itu cara paling tepat menuntunku menyelesaikan cerita asmara Urang Rantai dalam novel “Pengantin …." Nah, sebenarnya pengaruh logat Minang padaku mungkin lebih kuat terbaca pada novel ini.|

Sisa sarapanku tinggal satu dua suapan saja. Kuah soto pun sudah tinggal suam-suam kuku rasanya. Tapi, obrolan kami makin panas, naik levelnya saat laki-laki ini mengaku sebagai penyuka sejarah, sedangkan sebelumnya aku mengaku guru Sejarah Kebudayaan Islam di madrasah saat mengenalkan profesiku.

“Saya tidak paham dengan fenomena Khawarij. Empat khalifah, tiga wafat karena terbunuh,” katanya.

Deg! Wah, ribet ini.

Jadilah di penghujung sarapan soto Madura pagi itu kental dengan nuansa Sejarah Islam. Kami berbincang seputar konflik di akhir kekhalifahan Sayyidina Utsman bin Affan radhiyallahu anhu sampai akhir kekhalifahan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu meskipun hanya potongan-potongan major konflik itu dibincangkan. Tampak laki-laki itu kurang puas dengan jawaban-jawabanku.

Aku menangkap, dia cukup menguasai topik yang kami bincangkan, berbanding lurus dengan pengakuannya sebagai penyuka sejarah. Atau jangan-jangan, dia itu “Guru Besar Sejarah Islam” yang menyamar, mengaku-ngaku sebagai bekas pegawai yang mengurus urusan transmigrasi di Sijunjung. Ah, biarlah.

Aku menutup perbincangan dengan statemen bahwa kita tidak akan bisa sepenuhnya memahami konflik yang melibatkan para sahabat mulia itu lalu menyatakan bahwa mereka telah berbuat keliru. Sekali-kali tidak bisa.

“Terlalu sedikit latar belakang terjadinya konflik itu yang kita ketahui hanya dari informasi buku sejarah yang kita baca. Kita tidak hadir saat konflk itu pecah. Sementara, situasi dan peristiwa yang banyak dan tidak tertulis di baliknya boleh jadi menjadikan kita keliru dalam mengambil sebuah kesimpulan tentang mereka,” kataku.

Dalam hati aku berkata, kebanyakan kita jatuh pada kesalahan karena sedikit tahu, tapi bicara banyak seolah menjangkau semua hal.

Konflik yang melibatkan para sahabat mulia yang terjadi pada masa itu adalah fakta. Akan tetapi, larangan mencela para sahabat bukan sekadar fakta, melainkan adab kepada generasi terbaik itu yang diajarkan baginda Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Aku tatap wajah laki-laki itu. Aku lempar senyum, berusaha agar tetap meninggalkan kesan hangat di akhir perbincangan. Dia membalasnya sambil mengangguk.|

Depok, Ahad 08 Desember 2024.
Akhir pekan yang basah, sibuk, dan teringat Bunda tiap Desember hadir dengan guyuran hujan.