Aku, Mbak Anisa, Irwan Kelana, Sutrisno Muslimin, dan Rahma sebelum acara peluncuran dan bedah buku Sutrisno Muslimin Sang Inovator Pendidikan, Dakwah, dan Politik di auditorium Ki Hajar Dewantara SMP Bakti Mulya (BM) 400 Jakarta, Senin (10/4/23). Foto koleksi penulis.

Tumbuh dari bawah, matang karena pengalaman. Buku ini merekam jejak seorang pendidik yang selalu haus ilmu dan kaya kreasi. Daya dorong itu yang ingin kita pelajari dari buku ini.
_Rocky Gerung, Filsuf dan Akademisi.

TIDAK ada Orang Sentiong, bahkan sekampung kelahirannya yang menyangka, Sutrisno Muslimin–Orang Sentiong memanggilnya “Tris”–menjadi sosok ’berkilau’ dengan legacy miliknya saat ini. Kecuali ibundanya; Sopiah. Sopiah pernah membisikkan nalurinya lewat mimpi Sutrisno, bahwa kelak “Emak ngeliet elu, naik tinggii sekali. Sampe emak ‘nggak bisa liat lu lagi.” Sopiah mengatakan itu dengan segenap jiwanya yang tegar.

Siapa itu Sopiah, aku sangat mengenalnya. Bagaimana karakternya, aku juga mengenalnya meskipun pengenalanku pada Sopiah tidak sefasih Sutrisno mengenal perempuan tangguh itu. Ini pun bukan suatu kebetulan. Aku dekat dengan aksara, sedekat aku pada Sopaih dan Sutrisno Muslimin. Meskipun bukan penulis besar, aku tidak asing dengan dunia literasi, dengan dunia perbukuan. Boleh jadi karena alasan ini, jemariku diberi rangsangan buat menuliskan kisahnya, kisah Sutrisno Muslimin sebatas yang aku kenal. 

Sepanjang halaman pertama buku ini aku tulis sampai halaman terakhirnya kububuhi tanda titik, kesan pada laki-laki ini mengantarku pada tegalan, sawah, rumput, dan kegembiraan anak-anak kampung seperti kami gembira saat berebut layangan putus. Aku gagal mengalihkannya pada yang lain, apalagi pada sosok Sutrisno Muslimin yang sekarang. Meskipun kisah kesuksesan Sutrisno Muslimin sudah kuserap melalui wawancara, melalui berita yang aku baca, juga mempelajari draft buku tentang dia yang hampir naik cetak, tetap saja ingatanku kembali ke tegalan, sawah, rumput, dan berebut layangan putus. 

Di mataku, di sanalah lokus hidup Sutrisno Muslimin kecil banyak dihabiskan. Dan aku membersamainya dalam satu dua kesempatan kami mengejar layang-layang itu. Bagiku, pengalaman di tegalan, sawah, rumput, dan berebut layangan putus bersama Sutrisno Muslimin itu autentik, seperti emas 24 karat. Justru, dari lokus-lokus itulah kilau wajah Sutrisno Muslimin hari ini punya sisi autentisitasnya yang genuine.

Aku tidak akan mengulang apa yang aku tulis pada "Sutrisno Muslimin Sang Inovator Pendidikan, Dakwah, dan Politik" di sini. Buka saja, dan bacalah halaman demi halaman buku itu untuk menyelami kisahnya. Aku tidak juga bermaksud membanggakan buku ini, tidak juga membanggakan Sutrisno Muslimin. Aku hanya bahagia karena aku pernah melewati masa kecil bersama Sutrisno Muslimin dan menyaksikan dirinya menjadi seperti yang sekarang.

Bila Anda seorang pendidik dan pemegang otoritas lembaga pendidikan, buku ini sharing keberhasilan pengalaman bagaimana tangan Sutrisno Muslimin menyentuh lembaga pendidikan dan menempatkannya pada level tertentu. Bila Anda adalah siswa atau mahasiswa dengan keterbatasan ekonomi sehingga mimpi pun Anda tidak berani, buku ini akan mengubah persepsi Anda bahwa keterbatasan ekonomi bisa menjadi kekuatan meraih mimpi. Bila Anda seorang ayah atau ibu, buku ini menempatkan citra seorang ayah dan ibu mengantar asa dan doa untuk keberhasilan anaknya.

Buku berdurasi 400-an halaman ini aku selesaikan dalam tiga bulan (Februari-Maret-April 2022). Tiga bulan itu terbilang cepat untuk durasi buku setebal ini. Memang, proses pematangan naskah di tangan Tim yang menerbitkan memakan waktu cukup lama. Irwan Kelana, Mbak Anisa, Rahma, dan Irul Tim yang cukup intens berkomunikasi denganku hingga buku ini diluncurkan. Tengkyu semua. Kepada Buku Republika yang menerbitkan buku ini, tentu menoreh kesan tersendiri bagiku.

Sutrisno Muslimin Sang Inovator Pendidikan, Dakwah, Dan Politik. Tangkapan layar dari Ibrahim Aji, https://www.youtube.com/@IbrahimAjiOk

Semoga menginspirasi.

Ciputat, 09 Desember 2024.