Perawan
Seketika Umi bangun dari duduknya. Umi yang kukenal sabar, lembut, dan tenang, saat itu wajahnya berubah tegang dan keras. Mata Umi yang biasa teduh dan menyejukkan, jadi berkilat-kilat seperti tatapan singa betina yang terluka.
Cobaan hidupku belum berhenti saat haid sudah aku dapatkan. Saat Umi dan Ayahku begitu bergembira karena haidku sudah normal, saat duka hati mereka mulai terbasuh karena puteri mereka sudah memasuki gerbang sebagai gadis setengah sempurna, saat itu pula, palu godam menghantam. Umiku yang paling terpukul menghadapi semuanya. Seolah kebahagiaan yang tengah ia rasakan tenggelam ditelan kabar bahwa Rayya, putrinya sudah tidak perawan. Setelah aku mengerti, tahulah aku, tidak perawan adalah momok memalukan bagi perempuan yang belum menikah di kampungku. Entah siapa yang mulai menyebarkan berita itu.
Di kali lain, aku menjumpai Umi dan Ayah duduk mematung di meja makan. Wajah Umi murung. Saat ditanya Ayah mengapa Umi murung, Umi tidak segera menjawab. Umi hanya menunduk saja. Sesekali Umi bicara. Tidak jelas apa yang tengah dibicarakan Umi. Ayah lebih banyak mendengar saja tanpa banyak menimpali. Mungkin Ayah bingung bagaimana harus bersikap. Beberapa menit kemudian Umi menangis terisak-isak.“Loh, kok nangis?”
Umi tidak menjawab. Dengan masih menangis, Umi malah bergegas mengunci diri di kamar. Ayah menyusul. Cukup lama Ayah mengetuk pintu kamar.
“Umi, ada apa? Tolong buka pintunya, Mi,” pinta Ayah.
Umi membuka pintu. Aku lihat mata Umi memerah.
Di kamar mereka berbincang lagi diselingi isak tangis Umi yang bersambung. Aku dengan jelas menangkap apa yang tengah mereka bicarakan. Aku dengar, Umi seperti tengah menumpahkan rasa kesal. Umi mengaku malu mendengar omongan para tetangga. Omongan itu sampai ke telinga Umi. Rupanya sudah ramai para tetangga membincangkan bahwa aku sudah tidak perawan lagi karena operasi yang aku jalani.
“Rasanya Umi ingin mati saja, Ayah.”
“Kok tiba-tiba minta mati?”
“Umi ‘nggak kuat.”
Saat itulah aku menangkap semua pembicaraan Umi tentang keperawananku. Yang paling membuat Umi sakit hati adalah masalah jodohku. Kata para tetangga itu, gadis yang tidak perawan sulit mendapat jodoh, lebih sulit dari jodoh seorang janda yang jelas-jelas sudah tidak perawan.
“Jika semua orang tahu bahwa Rayya sudah tidak perawan lagi, nanti siapa laki-laki yang akan bersedia menikahinya, Ayah?” keluh Umi.
Ayah tidak menjawab.
“Mengapa penderitaan Rayya tidak kunjung putus?”
Umi terus mengadu, mengeluh, dan menumpahkan segala emosinya di depan Ayah. Sampai pada titik putus asa, Umi menyesali dirinya sendiri. Sampai keluar pernyataan dari mulutnya bahwa Umi merasa sangat berdosa telah melahirkan aku dengan segala penderitaan yang kualami. Umi merasa telah gagal menjadi ibu yang sanggup memberikan segala kebahagiaan buatku. Gagal memberikan kenyamanan pada anak gadisnya. Gagal memberikan keriangan dan keceriaan karena ketidaksempurnaan rahimku.
“Umi takut jika Rayya mendengar sendiri cibiran dari para tetangga itu.”
“Ayah mengerti, tapi kita juga tidak bisa menyumbat setiap mulut tetangga.”
“Mereka seperti menghukum Rayya dan Umi. Apa salah Umi? Apa salah Rayya?”
“Umi, istighfar. Tidak ada yang salah dengan kita.”
“Tapi mengapa Umi, Rayya yang harus menanggung semua ini?”
“Kita sedang diuji, Mi.”
“Tapi ujian ini terlalu berat buat Umi, Ayah.”
Tangis Umi makin menjadi. Kudengar Ayah berusaha menenangkan Umi. Umi seperti meronta. Ayah mulai bersikap tegas mengingatkan Umi.
“Umi, dengar! Tidak ada ujian Allah yang melampaui batas kemampuan. Ini bukan ujian Umi dan Rayya. Ini ujian Ayah juga. Ujian keluarga kita!” tegas Ayah.
Saat itulah tanpa aku sadari Umi keluar dari kamar dan menjumpaiku tengah berada di balik pintu. Umi hanya menatapku dengan air mata yang masih berurai. Lalu dengan masih ingin terisak, Umi memelukku. Didekapnya tubuhku seperti seorang ibu yang baru pertama kali menemukan putrinya yang hilang. Dibelainya rambutku seolah ingin menghapus segala sial yang menimpa kepalaku. Umiku semakin merasa ngenes, hal yang selama ini ingin disembunyikan dariku, akhirnya sia-sia.
Selang beberapa minggu setelah obrolan Umi dan Ayah, satu kali aku mengadu pada Umi. Dengan keluguan anak kelas enam, aku bicara tanpa beban. Mengadukan apa yang dikatakan salah seorang tetanggaku saat aku bermain di rumah mereka. Aku jadi ingat bahwa Umi dan Ayah pernah membicarakan hal ini.
“Umi, memang aku tidak perawan lagi ya? Perawan itu apa, Mi?”
“Rayya, siapa yang bilang begitu, Nak?!”
“Mamanya Dewi,” kataku.
“Apa lagi yang dikatakan mama Dewi, Rayya?”
“Eee, apa ya?”
“Katakan Rayya!”
“Katanya, jodohku bakalan susah, Mi.”
"Astaghfirullah!"
“Kenapa, Mi?”
Umi tidak menyahut. Seketika Umi bangun dari duduknya. Umi yang kukenal sabar, lembut, dan tenang, saat itu wajahnya berubah tegang dan keras. Mata Umi yang biasa teduh dan menyejukkan, jadi berkilat-kilat seperti tatapan singa betina yang terluka. Rupanya batas kesabaran Umi sudah habis. Selama ini Umi hanya menahan segala cibiran dan menelan saja semuanya. Nasehat Ayah agar Umi bersabar menghadapi tajamnya lidah para tetangga sudah tidak mempan mengerem sakit hati yang sekian lama ditelannya sendiri.
Umi beranjak pergi. Tahulah aku setelah mendengar ribut-ribut di luar rumah. Rupanya Umi pergi untuk memberi pelajaran pada mamanya Dewi. Para tetangga yang lain terkejut. Semuanya tidak menyangka, Hanifah, Umiku bisa semarah itu. Saat itu, Umi berhasil memaksa mama Dewi meminta maaf pada Umi.
Beberapa hari kemudian, mamanya Dewi dan beberapa tetangga yang lain datang ke rumahku untuk meminta maaf sekali lagi. Mereka menyadari kekeliruan atas apa yang telah mereka katakan dan gunjingkan mengenai keperawananku. Ayah yang saat itu ada di rumah tidak mau mencampuri. Meskipun Ayah juga merasakan pedih atas apa yang dilakukan para tetanggaku itu, cukuplah Umi yang menyelesaikan.
Umi menunjukkan jiwa besarnya. Mamanya Dewi dan yang lain diterima dengan baik. Tidak tampak lagi sorot mata Umi yang kemarin. Lalu semuanya berakhir dengan saling memaafkan. Semuanya berjanji untuk menjaga perasaan masing-masing. Alhamdulillaah, sejak saat itu sampai menjelang aku kelas tiga SMP, tidak terdengar lagi tetangga menggunjingkan keperawananku. Namun kenangan tentang ucapan Mama Dewi tetap membekas, seolah dia tidak mau pergi dari ingatanku.
Saat aku telah benar-benar mengerti soal keperawanan, aku seperti terdakwa oleh paradigma keperawanan berdasar persepsi masyarakat yang bersifat menghukum. Aku pun akhirnya maklum mengapa Umi benar-benar merasa terpukul waktu itu. Memang di mana tempat, seorang perempuan yang kehilangan keperawanannya tidak lagi mendapatkan tempat yang baik di mata para tetangga dan laki-laki.
Mungkin tidak keliru pandangan demikian jika diartikan sebagai peringatan bahwa seorang gadis harus benar-benar bertanggung jawab menjaga kesucian dan keperawanannya. Namun masalahnya, pandangan itu tidak memilah-milah, mana keperawanan yang hilang karena sebab asusila, mana keperawanan yang hilang karena faktor seperti takdir atas diriku.[]
0 Comments
Posting Komentar