Jadi, begini ya. Foto milik Kamila Insan Cita. |
Memang, akan datang masanya shalat menjadi tersisih, benar-benar sepi dari kehidupan seseorang. Apa sebabnya? Karena Subuh kesiangan, Zuhur kerepotan, Ashar di perjalanan, Maghrib kecapekan, dan Isya ketiduran.
RAJAB sudah 2 hari berlalu. Hari ini hari kedua di bulan Sya’ban. 28 hari ke depan sudah masuk Ramadhan. Subhanallah, cepat sekali rasanya waktu berputar.
Menutup Rajab di awal Sya’ban, Yayasan Kamila Insan Cita ngajakin sharing, mengulas makna Isra’ Mi’raj. Tema yang disodorkan berat sebenarnya,“Perbaiki Shalatmu, Allah Akan Perbaiki Hidupmu“. Rasanya gimana gitu. Namun, oleh keramahan dan serius keluarga besar Kamila menyimak materi sharing, sekat psikologis “ngeri” yang saya bawa dari rumah lepas begitu saja. Sepanjang materi sharing, karakter good listener audiens tampak kasat mata. Kelas terdidik memang beda saat hadir di forum stadium general seperti pengajian umum seperti ini.
Rajab itu identik dengan Isra’ Mi’raj, peristiwa agung, di mana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerima perintah shalat lima waktu yang dibawa dari sidratul muntaha. Meskipun terjadi ikhtilaf di kalangan ulama kapan persis terjadi peristiwa ini, mayoritas ulama mengira, peristiwa agung ini berlangsung pada 27 Rajab, seperti pendapat yang dikemukakan Al-Allamah Al-Manshur Fauri.
Ada kalangan yang menyatakan, Isra Mi'raj berlangsung pada tahun pertama, kelima, dan kesepuluh kenabian. Pendapat pada tahun pertama kenabian dikemukakan oleh Imam Ath-Thabari, pendapat pada tahun kelima dikemukakan Imam An-Nawawi dan Imam Al-Qurthubi, dan pendapat pada tahun kesepuluh dikemukakan oleh Al-Allamah Al-Manshur Fauri.
Ibnu Saad dalam "Thabaqat Al-Kubra" tampaknya cenderung kepada pendapat bahwa Isra’ Mi’raj itu terjadi 18 bulan sebelum hijrah Nabi shallallahu alaihi wa sallam ke Madinah. Pendapat lebih logis berdasar analisis yang disepakati ulama bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj berlangsung setelah Ibunda Khadijah radhiyallahu ‘anha yang wafat pada tahun kesepuluh kenabian dan sebelum shalat lima waktu disyariatkan.
Memang, agak sulit memastikan persis kapan terjadinya Isra dan Mi’raj sebagaimana yang dikemukakan Al-Mubarakfuri di dalam sirahnya “Ar-Rahiq Al-Makhtum”. Al-Mubarakfuri hanya menyatakan cenderung kepada pendapat yang terakhir, yaitu Isra Mi’raj itu terjadi hanya terpaut setahun saja sebelum hijrah Nabi SAW ke Madinah.|
Isra dan Mi’raj sudah berlalu hampir 15 abad silam. Memikirkan kapan persis terjadinya, bukan perkara mendasar untuk diselisik sampai berpeluh-peluh. Cukuplah mengikuti sikap sahabat mulia Abu Bakar radhiyallahu anhu dalam riwayat Imam al-Hakim saat menjawab pertanyaan dari musyrikin Makkah yang bermaksud mengejek saat itu. "Apakah engkau membenarkannya bahwasanya dia pergi malam tadi ke Baitul Maqdis dan sudah pulang sebelum subuh?" Abu Bakar menjawab: "Ya, sungguh aku membenarkannya (bahkan) yang lebih jauh dari itu. Aku membenarkannya terhadap berita langit (yang datang) di waktu pagi maupun sore." Selesai, habis perkara.
Sikap Abu Bakar yang membenarkan peristiwa Isra dan Mi'raj dengan pendekatan imani inilah yang patut diteladani. Sebab, sikap beliau ini pula, Abu Bakar digelari sebagai “as-Siddiq”. Maka, tidak penting mempersoalkan kapan waktunya Isra Mi’raj di tengah ikhtilaf yang tidak berkesudahan itu, tapi lebih penting memperhatikan pesan tentang shalat: “ḫâfidhû ‘alash-shalawâti wash-shalâtil-wusthâ wa qûmû lillâhi qânitîn”. Peliharalah semua salat (fardu) dan salat Wusṭā. Berdirilah karena Allah (dalam salat) dengan khusyuk. Demikian bunyi pesan QS. Al-Baqarah [2] : 238. Jadi, pesan mendasar dari peristiwa agung ini adalah menjaga mati-matian shalat lima waktu, bukan pada polemik yang tidak berujung sampai "mati".
Jangan juga begitu bersemangat memperingati Isra dan Mi’raj, mendirikan shalatnya awang-awangan. Rajin shalatnya saat kepepet, saat jatuh susah karena merasa butuh Allah. Atau, shalatnya kenceng saat duit di dompet sedang penuh sesak, saat merasa Allah begitu sayang. Jadi, shalat ditegakkan seingatnya, seingat susah atau seingat senang. Selebihnya lebih banyak tidak ingatnya. Dalam “bahasa Arab” ajam, shalat seperti ini disebut dengan istilah “blentang-blentong”.|
![]() |
Bersama Ketua Yayasan Kamila Insan Cita, Drs. Achmad Djubaedi, M.BA. dan Kepala-kepala Sekolah di lingkungan Yayasan. Foto milik Kamila Insan Cita. |
Dari sisi duniawi, shalat berefek positif pada kejiwaan. Maka, semakin kompleks kehidupan, semakin orang membutuhkan shalat. Perbaikan kejiwaan misalnya, shalat berefek memperkecil ketergantungan jiwa pada materialisme. Selain itu, jiwa manusia yang tidak terhubung dengan Allah akan merasakan kesepian dan kehampaan. Kehampaan sering mendorong jiwa putus asa, gelisah, dan semakin menjauh dari Allah. Namun, dengan shalat yang menghilangkan kesepian, ketakutan, kesedihan, dan kehampaan jiwa, hidup menjadi sehat (tahsin al-nafsiyyah).
Efek tahsin al-Nafsiyah menjadikan jiwa optimis. Jiwa optimis mempermudah urusan sebagai prasyarat mendapatkan kenyamanan, rahmat, dan peluang meraih rezeki. “Dan sungguh Kami mengetahui bahwa dadamu sempit karena apa yang mereka katakan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah di antara orang-orang yang bersujud)". [Al-Hijr: 97-98]. Demikian jaminan Allah kepada Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, kepada umatnya yang beriman dan giat bersujud.|
![]() |
Bersama civitas akademika Sekolah Islam Kamila Insan Cita. Foto milik Kamila Insan Cita. |
Akan datang masanya, shalat akan ditinggalkan, dilalaikan dari kehidupan umat. QS. Al-Maun [107]: 3-4 sudah mengabarkan hal itu 15 abad yang lalu. Bersyukurlah, di sini shalat masih ditegakkan. Masjid dan musala di kampung masih ramai setiap Maghrib dan Isya, agak sepi di kala Subuh, dan sedikit lengang pada Zuhur dan Asar.
Bayangkan bila Anda tinggal di suatu kota yang damai selama bertahun-tahun, namun tidak ada seorang muslim pun di sana. Tidak ada masjid, tidak terdengar suara azan dan iqamah dikumandangkan, dan tidak ada suara orang takbiratul ihram yang ditutup salam. Jiwa Anda yang taat tetap mengumandangkan azan dan iqamah dengan lirih. Anda tetap berdiri, takbiratul ihram, dan mengucap salam ke kanan dan ke kiri di rumah yang sepi, menyendiri saja. Tiba-tiba, ada sekelompok orang dari luar datang berkunjung, lalu nekat mengumandangkan Azan di tengah kota saat tiba waktu shalat. Banyak orang tercengang bertanya-tanya, kalimat apa itu. Apa yang Anda rasakan? Pasti ada sesuatu yang memberontak dari jiwa Anda sebab rindu yang terpuaskan.
Bayangkanlah sebaliknya. Dahulu kota tempat tinggal Anda yang damai itu ramai dengan kumandang azan dan iqamah. Berduyun-duyun saban waktu shalat orang berangkat ke masjid-masjid mengenakan sarung, koko, dan kopiah. Perempuan-perempuannya menjadi gelombang putih oleh balutan mukena penutup tubuh. Tiba-tiba semuanya lenyap, azan dan iqamah menghilang, masjid-masjid menjadi sepi dan lengang. Yang tersisa hanya kenangan oleh masjid yang sudah berubah jadi bangunan tua, menjadi rumah hantu, dan tempat singgah kelelawar. Pastilah jiwa Anda akan sedih merasa kehilangan yang sangat.
Jangan cemas. Entah kapan keadaan itu terjadi, sunnatullah akan berlaku. Kata Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, “Ikatan-ikatan Islam akan terburai satu per satu, setiap kali satu ikatan terburai orang-orang bergantungan pada ikatan selanjutnya. Yang pertama kali terburai adalah al-hukm (kekuasaan/pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat.” Demikian hadits riwayat Imam Al-Hakim.
Maafkan saya, dan jangan tersinggung. Memang, akan datang masanya shalat menjadi tersisih, benar-benar sepi dari kehidupan seseorang. Sebagai tiangnya agama ia sudah runtuh. Apa sebabnya? Karena Subuh kesiangan, Zuhur kerepotan, Ashar di perjalanan, Maghrib kecapekan, dan Isya ketiduran. Jadilah sepanjang hayat tidak pernah menginjakan lantai masjid. Sekalinya masuk ke masjid bukan untuk shalat, melainkan untuk dishalatkan. Lalu, jiwa menyesal tanpa kesudahan.
Jadi, memang akan datang masa di mana orang tidak lagi memedulikan shalat. Ia akan jadi barang asing, seperti asingnya kain penutup aurat bagi sebagian kecil muslimah yang suka membuka auratnya untuk dilihat kepada sembarang orang di zaman ini. Paha ayam saja masih dibandrol meskipun hanya 5000 perak sepotong. Tapi, banyak paha perempuan muslimah sengaja dipamerkan di mana saja Anda sudi mau melihat sampai mata Ande pedes. Anda membayar untuk “menikmati” pahanya perempuan itu? Tidak. Gratis!
Begitulah. Rasanya, tema “Perbaiki Shalatmu, Allah Akan Perbaiki Hidupmu“ selalu relevan dibincangkan setiap bulan Rajab meskipun ia sudah berlalu. Dan, membincangkan Isra’ Mi'raj di awal Sya’ban pada Sabtu pagi ini amat berkesan. Semoga, forum ini menjadi berkah untuk seluruh civitas akademika Sekolah Islam Kamila Insan Cita. Berkah karena merawat tiangnya agama tetap tegak, menjadikan shalat sebagai substansi yang mewarnai proses pembelajaran di kelas-kelas mereka semarak sepanjang waktu. Semoga.
Depok, menjelang Maghrib, 01 Februari 2025.
0 Comments
Posting Komentar