Buku untuk Mas Izzul Muslimin. Foto milik PRM Ranting Rawadenok

Bila Paus Fransiskus dalam khotbahnya saat peringatan Hari Lingkungan Hidup sedunia tahun 2023 menyebut membuang makanan sama saja dengan mencuri makanan orang miskin, Al-Qur’an QS. 17 :27 lebih menusuk dengan menyebut “Innal-mubażżirīna kānū ikhwānasy-syayāṭīn,” bahwa "Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudaranya setan …

Saya termasuk kader "kendang", alias kenal sekandang doang. Ketemunya kebanyakan cuman sesama pengurus Ranting Muhammadiyah Pulo, jauhkan dikit dengan pengurus Cabang. Lebih jauhan dikit dengan pengurus PDM, dengan Pak Ali dan selinting temen-temen di MPI Daerah bareng Mas Raihan, Mas Soleh, dan lain-lain. Udah. Jadi, main di persyarikatannya kurang jauh.

Maka, saat Pimpinan Ranting Muhammadiyah Rawadenok menggelar Pengajian Qabla Ramadhan menghadirkan Mas Izzul Muslimin pada Ahad 16 Februari kemarin, meskipun tidak diundang secara khusus, hadirlah saya dengan semringah. Secara mana, nama Izzul Muslimin sudah lama saya dengar. Sekarang, saatnya ketemu dan salaman.

Dapat bocoran dari internet. Loh, bulan dan tahun kelahiran saya dan Mas Izzul ternyata semasa. Ah, rupanya saya seumuran dengan Mas Izzul. Mas Izzul lebih tua sikit, tapi hanya sekitar 168 jam saja lebih tuanya dari saya. Namun begitu, Mas Izzul sudah kemana-mana, saya belum juga kemana-mana. Itulah takdir saya dan Mas Izzul meski sama-sama anak Muhammadiyah dan sama-sama lahir pada bulan April.

Sebelum Mas Izzul bicara, Pak Ali, Ketua PDM memantik semangat. Pak Ali memang biasa jadi “tukang bakar”. Tak bosan dia membakar semangat bermuhammadiyah warga Persyarikatan. “Ranting itu penting! Cabang harus berkembang! Masjid, makmur memakmurkan….!” dan seterusnya.

Memang harus begitu, semangat bermuhammadiyah harus dibakar terus. Jangan sampai semangat bermuhammadiyah jadi redup, apalagi padam seperti lampu colen kehabisan minyak. Tabligh, pengajian umum, penguatan ideologi, dan sosialisasi Putusan Tarjih menjadi bahan bakar agar nyala Muhammadiyah tetap terang.

Saya menikmati betul uraian Mas Izzul. Beberapa poin penjelasannya pas banget dengan realita. Misalnya, bahwa puasa itu harus bisa menjadi bulan menahan diri. Uniknya, justru banyak orang yang gagal mengendalikan diri di bulan ini.

Contoh sederhana dalam urusan belanja dan pola makan. Secara matematis, pola makan sehari tiga kali akan berkurang karena ditahan. Saat puasa, pola makan hanya sekali di waktu berbuka dan sekali di waktu sahur. Seharusnya, biaya belanja untuk kebutuhan makan itu menyusut satu porsi tiap individu.

Tapi, mengapa budget belanja malah kadang jauh lebih besar kebutuhannya di saat Ramadhan? Tampaknya, budget satu porsi makan itu diduga pindah untuk budget rupa-rupa menu takjil—kolak, bubur sum-sum, rujak timun suri, gorengan, lontong, atau es buah dan lain-lain menu. Nah, urusan belanja takjil, tidak sedikit dari orang yang puasa tak tahan menjadi kalap menyiapkan beragam takjil.

Rasanya, berlatih menahan diri dari makan dan minum baru sekadar memindahkan waktunya dari siang ke waktu malam, sedangkan volumenya tidak berkurang. Jadi, belum pada tahap menahan diri secara ikhlas dari memanjakan perut di waktu siang dengan berbagai ragam makanan.

Ada fakta ironi yang disampaikan Mas Izzul. Orang Indonesia itu punya kebiasan buruk menyisakan hampir sepertiga makanan dari piring mereka tiap kali makan bila dirata-ratakan. Sepertiga makanan itu terbuang menjadi sampah dan mubazir. Ini menunjukkan moralitas pangan dan tanggung jawab terhadap makanan masih rendah. Boleh jadi, kita menjadi tidak tercengang oleh data yang dirilis Bapanas dari tahun 2000 hingga 2019, di mana jumlah sampah makanan mencapai 23 sampai 48 juta ton di Indonesia. Jadi, kalau dirata-rata per kepala, membuang makanan antara 115 hingga 184 kilogram per kapita per tahun.

Bila Paus Fransiskus dalam khotbahnya saat peringatan Hari Lingkungan Hidup sedunia tahun 2023 menyebut membuang makanan sama saja dengan mencuri makanan orang miskin, Al-Qur’an QS. 17 :27 lebih menusuk dengan menyebut “Innal-mubażżirīna kānū ikhwānasy-syayāṭīn,” bahwa "Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudaranya setan …”.

Ramadhan memberi ruang untuk melakukan tiga hal berpahala dalam konteks makanan; hindari tabzir, belanja proporsional, dan sedekahkan makananapalagi makanan berlebih. Bila menurut Nabi SAW bersedekah dengan sebutir kurma saja bisa menjauhkan pelakunya dari api neraka, apatah lagi sedekah seporsi untuk berbuka puasa.

Berbagi pangan memang sangat kontekstual untuk memaknai Ramadhan sebagai bulan solidaritas. Hanya saja, terkadang terlalu aktraktif bila diterjemahkan dalam bentuk “berbagi takjil” di jalan raya yang akurasi tepat sasaran pada orang yang berpuasa lebih sukar diukur.

Puasa itu ibadah rahasia. Bila di masjid saja sukar untuk mendeteksi mana-orang yang benar-benar puasa dan membutuhkan menyegerakan berbuka dan mana yang tidak, apalagi di jalan raya? Tentu, ini berbeda bila kemasan programnya “Sedekah Jajanan Sore” tanpa embel-embel takjil. “Sedekah Jajanan Sore” tidak menanggung beban moral. Tidak pula ada sekat-sekat ideologis karena sifatnya universal. Maka, yang puasa atau tidak, muslim atau nonis, semua orang bisa menikmati dengan semringah.😉

Ada satu poin Mas Izzul yang membuat jamaah tertegun. Saya juga tertegun. Kita kadang luput soal sosok Kiai Dahlan di akhir hayat beliau pada momen Februari. Bukan untuk mengkultuskan Kiai Dahlan, bukan. Soal kultus-kultusan sudah selesai di Muhammadiyah. Ini hanya soal merawat ingatan pada kebaikan, pada legacy pendiri Muhammadiyah.

Pada 15 Februari 1923, Kiai Dahlan meresmikan klinik kesehatan Muhammadiyah yang sekarang menjadi rumah sakit PKU Muhammadiyah. Sebulan sebelumnya, Kiai Dahlan meresmikan Rumah Singgah untuk orang miskin. Dan, 23 Februari 1923 Kiai Dahlan wafat. Jadi, ada dua hal besar yang ditinggalkan Kiai Dahlan pada garis akhir hayat beliau. Artinya, menjelang kewafatannya saja, Kiai Dahlan masih menyisakan solidaritas untuk kemanusiaan sebagai ekspresi penghayatan beliau pada Islam yang rahmatan lil alamin.

Sungguh beruntung Kiai Dahlan yang telah menerjemahkan QS. 3. 104: “Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung” dalam wajah Persyarikatan Muhammadiyah dengan ribuan amal usaha yang dinikmati manfaatnya oleh umat bangsa sampai hari ini.

Sungguh singkat usia Kiai Dahlan yang hanya terhitung 55 tahun saja—1868-1923. Akan tetapi, legacy Kiai Dahlan sudah dirasakan kehadirannya sepanjang 113 tahun dalam hitungan Miladiyah.

Allah ya Rabb, Engkaulah sebaik-baik pemberi balasan. Hanya kepada Engkaulah kami mohonkan balasan terbaik untuk Kiai Dahlan.

Makasih Mas Izzul. Moga pula berkenan membaca “Matahari Terbit di Kampung Kami” dan “Sutrisno Muslimin”.

Ciputat, 17 Februari 2025.
Menjelang pulang dari mencari sesuap nasi.