Ilustari kembang warna-warni: Sumber gambar: Hidayatullah.com
Sebab ikhtilaf itu sesuatu yang niscaya, maka tugas semua muslim menyikapi agar ikhtilafu ummati rahmatun, menjadikan ikhtilaf itu sebagai rahmat, bukan sebagai laknat. Sebab bukan rahasia lagi, setiap jamiyyah dan manhaj punya naluri bawaan untuk melestarikan esksistensi.
Keniscayaan Ikhtilaf
Ikhtilaf atau perbedaan pendapat dalam perkara fiqih ibadah itu perkara biasa. Orang tertentu saja yang kadang menganggapnya sebagai perkara yang “luar biasa". Seolah-olah, orang yang berbeda dalam satu sisi ibadah dengannya sebagai pelaku bid’ah yang “tersesat” sehingga perlu diselamatkan.
Seorang pendatang jadi juru dakwah di suatu kampung. Dia serius sekali ngajak ngobrolin soal sunnah-bid’ah, soal firqah an-najiyah, ngenalin “ustaz sunnah”, ngingetin jangan berkumpul dengan ahlul bid'ah, dan banyak lagi kepada orang-orang tertentu. Hasilnya, acara Halal bi Halal yang sekian lama dikerjakan masyarakat kampung itu dan lain-lain seperti kultum di malam Ramadhan saja disebut amalan bid’ah.
Sementara, ada orang kampung itu yang pernah ngaji fikih, ushul fiqh, fiqh ikhtilaf, al-fiqh ‘ala mazahib al-arba’ah, fiqh muqaran, dan belajar berbagai pendapat para ulama zaman klasik dalam masalah fikih. Sedikit-sedikit, bisa pula orang kampung itu baca kitab kuning yang tulisan Arabnya gundul. Maka, dirasanya labeling bid’ah itu pada perasaan orang kampung itu terlalu berlebihan. Pengalamannya ngaji subjek fiqh di atas, tahulah dia, bahwa ikhtilaf itu hanya perkara biasa.
Orang kampung itu belajar juga risalah-risalahnya Sheikh Albani rahimahullah dan pandangan-pandangan kritisnya. Itu sudah lama, waktu mengambil mata kuliah Ulum al-Hadits sepanjang dua semester. Dari mata kuliah ini, orang kampung ini tahu metodologi bagaimana men-takhrij hadits meskipun tidak mahir, juga tahu bahwa suatu hadits ada yang mesti dipahami dengan pendekatan tekstual dan yang mesti dengan pemahaman kontekstual.
Oleh beberapa pembelajar hadits, Sheikh Albani dikenal tasahul (bermudah-mudah) dalam men-dhaif-kan suatu hadits. Tidak heran, Sheikh Albani sanggup menilai beberapa hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dipandangnya dha’if. Ini termasuk bahasan yang sering didiskusikan di kelas dan di luar kelas si orang kampung tadi.
Jadi, Syaikh AlBani berbeda pendapat soal kesahihan dengan men-dha’if-kan beberapa riwayat yang dipandang sahih Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahihain dengan argumentasi yang ilmiah. (Silakan baca: fatawa: hal dha’afa al-Sheikh al-bani ahadits fii sahih al-bukhari?” di: https://alalbani.info/alalbany_misc_0038.php)
Kasus Shalat Ashar
Jangankan manusia di zaman akhir ini, sejak masa sahabat saja, ikhtilaf sudah terjadi sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam masih ada di tengah-tengah mereka. Coba buka kitab sirah, bila sabar sedikit, mesti akan menemukan kasusnya dikutip di berbagai kitab yang membahas ikhtilaf.
Misalnya soal kasus shalat Ashar di Bani Quraizhah. Dikisahkan, setelah terjadi perang Ahzab pada tahun ke-5 Hijriyah (627 M), sehari setelah kepulangan Rasulullah menuju Madinah, Rasulullah meletakkan senjatanya dan hendak mandi di rumah Ummu Salamah untuk bersiap shalat Zuhur. Saat itu, datang malaikat Jibril menemui Rasulullah dan memintanya jangan meletakkan senjata dulu.
Jibril mengatakan, bahwa ia dan para malaikat belum meletakkan senjata dan belum berhenti berperang. Jibril lalu memerintahkan Rasulullah segera berangkat ke perkampungan Bani Quraizhah, memerangi mereka untuk memberi pelajaran atas pengkhianatan salah satu klan Yahudi Madinah itu karena memihak pada musuh di perang Ahzab.
Setelah Zuhur, Rasulullah segera memerintahkan pasukan berangkat untuk memerangi Yahudi Bani Quraizhah. Rasulullah berpesan “laa yushalliyanna ahadun al-’ashra illa fii banii quraizhah”. “Janganlah (ada) satu pun yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Kisah ini ada dalam riwayat Imam al-Bukhari.
Di tengah perjalanan, masuk waktu Ashar. Beberapa sahabat dari pasukan muslimin berhenti, lalu melaksanakan shalat. “Kita shalat di sini,” kata mereka.
Sementara sebagian pasukan yang lain meneruskan perjalanan dan tidak shalat sesuai instruksi Rasulullah. “Kita jangan shalat sebelum sampai di Bani Quraizhah,” kata mereka melihat sebagian dari pasukan berhenti untuk shalat (Al-Khalili, Fiqh al-Ikhtilaf Mabadiuhu wa Dhawabituhu, tt, h. 92).
Siapa yang benar di antara dua sikap kelompok sahabat di atas?
Sikap Rasulullah
Mengapa ada perbedaan sikap sahabat dalam kasus shalat Ashar padahal instruksi Rasulullah sangat jelas? Apakah Rasulullah kemudian menyalahkan salah satu dari mereka karena dianggap telah menyelisihi beliau?
Boleh jadi, mereka yang berhenti untuk shalat Ashar memahami maksud dalil dari instruksi Rasulullah di atas agar mereka bersegera supaya bisa mengejar waktu shalat Ashar di perkampungan Bani Quraizhah. Nyatanya, waktu Ashar sudah masuk sedangkan mereka masih di perjalanan dan tidak mungkin mereka shalat Ashar tepat waktu di kampung Bani Quraizhah, malah bisa-bisa waktu Ashar sudah jauh berlalu.
Adapun pasukan yang terus melanjutkan perjalanan memahami sesuai instruksi Rasulullah apa pun risikonya termasuk bila waktu Ashar sudah habis. Sebagian riwayat mengatakan, bahkan ada di antara mereka yang baru melaksanakan shalat Ashar di perkampungan Bani Quraizhah setelah Isya.
Bolehlah kita tengok penjelasan Imam an-Nawawi dalam soal perbedaan ini. Kata Imam Nawawi, “Mereka yang berhenti untuk shalat karena khawatir waktu shalat Ashar akan terlewat bila harus menunggu sampai di Quraizhah. Pemahaman mereka ini berdasarkan pertimbangan makna, bukan sekadar lafaz (literal). 'Tidak ada yang boleh shalat Zuhur atau Ashar kecuali di Bani Quraizhah' mereka pahami maksudnya yaitu agar mereka segera pergi ke sana dan tidak sibuk dengan hal lain. Jadi, bukan maksudnya dengan menunda shalat itu sendiri karena harus segera ke sana.
Sementara, sahabat yang lain memahami dengan mengikuti zahir (literal) lafaz dan maknanya, sehingga mereka menundanya dan baru shalat Ashar di Bani Quraizhah.” (Al-Imam Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Shahih Muslim bi-Syarh an-Nawawi, 2017, h. 83).
Tampaklah dari penjelasan Imam Nawawi di sini ada dua model pemahaman sahabat atas satu teks hadits soal shalat Ashar di Bani Quraizhah itu; pertama pemahaman tekstual; dan kedua pemahaman kontekstual.
Faktanya, setelah hal itu disampaikan kepada beliau, Rasulullah tidak menyalahkan salah satu di antara mereka (Al-Khalili, Fiqh al-Ikhtilaf Mabadiuhu wa Dhawabituhu, tt, h. 93).
Kalau begitu, berarti kedua-duanya sudah sesuai sunnah, dong? Ya.
Lapang Dada
Bila perbedaan pendapat di antara para sahabat itu bisa terjadi ketika Rasulullah masih hidup, apalagi setelah beliau wafat. Peluang perbedaan pendapat tentu lebih terbuka. Jangankan perbedaan di antara para ulama mazhab yang empat, yang satu manhaj saja bisa berbeda pendapat. Coba bandingkan pendapat Ustaz Yazid bin Abdul Qadir Jawas rahimahullah (https://www.youtube.com/watch?v=PvQlIKmC9nY) dan pendapat Ustaz Khalid Basalamah (https://www.youtube.com/watch?v=9MotjnczP2Y) soal hukum memberi sedekah kepada pengemis, berbeda tajam. Terus, apa Ustaz Yazid harus dikecam sebagai telah menyelisihi sunnah sebab pendapatnya berbeda dengan zahir hadits yang dibawakan Ustaz Khalid? Ya, 'nggak juga.
Beda pendapat soal hukum memberi sedekah pengemis, antara diberi atau tidak diberi ini tidak terlalu penting, tidak masalah. Kalo pengemisnya malah ditabokin, nah, itu baru ada masalah hukum.
Beda pendapat sesama Manhaj Salaf dalam lapangan ibadah yang lebih sensitif juga terjadi. Sebagai contoh kecil, misalnya dalam shalat berjamaah, mana yang sesuai sunnah, apakah makmum memberi salam setelah salam imam pertama, atau salam yang kedua pada rakaat terakhir?
Apa kata Sheikh Albani? “Haadza laysa aslun, haadza laysa aslun fi sunnati abadan …,” "Ini tidak memiliki dasar, ini tidak memiliki dasar dalam sunnah sama sekali,” saat Sheikh Albani menjawab pertanyaan: Hal al-ma’muumu yusallimu ba’da al-taslimati al-tsaniyah li al-imam am ba’da al-taslimah al-ula?
Dengan tegas Sheikh Albani menjawab: “... jika imam memberi salam, maka berikanlah salam. Menunggu (salam kedua-pen) seperti ini hanya sah jika kita berpendapat bahwa setiap salam adalah syarat atau rukun dari rukun shalat." (https://www.al-albany.com/audios/content/6079/هل-المأموم-يسلم-بعد-التسليمة-الثانية-للإمام-أم-الأولى
Jadi, yang sunnah menurut Sheikh Albani, makmum mengucap salam setelah salam imam yang pertama.
Berbeda dengan Sheikh Utsaimin rahimahullah. Kata beliau: "Yang lebih baik bagi makmum adalah tidak memberikan salam dari shalat hingga imam selesai dari salam keduanya.”
Sheikh Utsaimin mengutip pendapat Imam al-Nawawi rahimahullah dalam al-Majmu' (3/463): "Imam al-Baghawi berkata: Disunnahkan agar tidak memulai salam hingga imam selesai dari kedua salamnya, dan ini adalah pendapat yang terang dari teks al-Syafi'i dalam al-Buwayti sebagaimana yang disampaikan oleh al-Baghawi, beliau berkata: 'Barang siapa yang berada di belakang imam, maka setelah imam selesai dari salamnya, barulah ia memberi salam ke kanan dan kiri.'"
Sheikh Utsaimin menegaskan dalam al-Syarh al-Mumti' (4/267): 'Para ulama mengatakan: Makruh bagi seorang makmum untuk memberi salam bersama imam, baik salam pertama maupun kedua. Adapun jika ia memberi salam pertama setelah salam pertama, dan salam kedua setelah salam kedua, maka tidak ada masalah dalam hal itu, tetapi yang lebih baik adalah tidak memberi salam kecuali setelah kedua salam.'" (https://islamqa.info/ar/answers/75977/متى-يشرع-الماموم-بالتسليم-عن-اليمين)
Sheikh Bin Bazz rahimahullah dengan bahasa yang lebih halus namun tegas menjawab masalah ini. Kata beliau: "Sunahnya adalah imam memberikan salam dua kali, kemudian para makmum memberikan salam setelahnya. Inilah yang sesuai dengan sunah. Namun, apa yang dilakukan oleh mereka ini adalah sah, shalat mereka sah jika mereka memberikan salam pertama setelah salam pertama, dan salam kedua setelah salam kedua; tidak ada masalah dalam hal itu, tetapi itu bertentangan dengan sunah, bertentangan dengan yang lebih utama. Bahkan, sunahnya adalah mereka menunggu hingga imam mereka memberikan kedua salam, kemudian mereka memberi salam setelahnya. Inilah yang sesuai dengan sunah, dan ini adalah yang dikenal dari perbuatan Nabi ﷺ dan para sahabat sebagaimana yang sampai kepada kita. Namun, jika mereka memberikan salam setelah salam pertama, kemudian memberikan salam setelah salam kedua, shalat mereka tetap sah dan tidak ada yang salah, karena mereka tidak mendahului imam dengan suatu apa pun." (https://binbaz.org.sa/fatwas/10356/)
Bila para masyayikh Manhaj Salaf saja perbedaan itu tidak terhindarkan, maka, umat yang baca Qur’an saja masih belepotan, tidak perlu ikut-ikutan ‘berfatwa’ segala. Lapang dada saja dengan perbedaan pendapat itu. Amalkan saja yang diyakini paling menentramkan hati. Beres.
Belajar dari Imam Malik dan al-Qadhi Abu Ya’la
Ada contoh yang elegan dari Imam Malik bin Anas (93-179 H), gurunya Muhammad bin Idris as-Syafi’i atau Imam Syafi’i (150-204 H. Imam Malik pernah melarang khalifah memaksakan penduduk untuk mengikuti satu pendapat saja, yakni pendapat Imam Malik sendiri.
Satu kali, Imam Malik bin Anas menasihati khalifah Abu Ja’far al-Mansur yang menginginkan agar kaum muslimin semuanya mengikuti Muwattha'-nya Imam Malik. "Ya Amirul Mukminin, janganlah engkau lakukan itu, karena orang-orang telah memiliki pendapat-pendapat yang telah mereka dengar, dan mereka telah meriwayatkan hadits-hadits serta mengikuti apa yang telah sampai kepada mereka. Setiap kelompok telah mengikuti apa yang mereka yakini dan amalkan dari perbedaan pendapat di kalangan para sahabat Rasulullah ﷺ dan lainnya. Sesungguhnya, memaksa mereka untuk meninggalkan apa yang mereka yakini adalah hal yang sulit. Oleh karena itu, biarkanlah orang-orang dengan apa yang mereka yakini, dan biarkanlah setiap penduduk daerah memilih apa yang mereka anggap terbaik bagi diri mereka sendiri." (As-Sulami, Syarh Gharib al-Muwattha’, 2011, h. 8)
Lain lagi kisah al-Qadhi Abu Ya’la al-Hanbali. Satu kali, "Seorang faqih datang kepadanya untuk mempelajari mazhab Ahmad. Al-Qadhi menanyakan tentang asal-usul sang faqih. Setelah mengetahui asal-usulnya, al-Qadhi bertanya: 'Orang-orang di kampungmu semuanya mengikuti mazhab Syafi'i, lalu mengapa engkau beralih ke mazhab kami?' Sang faqih menjawab: 'Saya beralih ke mazhab ini karena keinginan untuk mengikuti Anda.' Al-Qadhi kemudian berkata: 'Ini tidaklah tepat; karena jika engkau tetap mengikuti mazhab Ahmad sementara orang-orang di kampungmu mengikuti mazhab Syafi'i, engkau tidak akan menemukan seseorang yang mau mengulang bersama engkau atau belajar bersamamu. Bahkan, engkau justru akan memicu perselisihan dan perdebatan. Oleh karena itu, tetaplah mengikuti mazhab Syafi'i seperti yang diyakini oleh penduduk kampungmu, karena itu lebih baik.’” (Syihabuddin, Al-Musawwadat fi Ushul al-Fiqh, tt. h. 541-542)
Bijak Lebih Menentramkan
Pengalaman perbedaan pendapat para sahabat dalam kasus Shalat Ashar di Bani Quraizhah dan sikap Rasulullah, pelajaran dari Imam Malik, dan al-Qadhi Abu Ya’la di atas sudah cukup bagi generasi hari ini mengambil sikap. Selama masih ada dalil-dalil yang menunjukkan keragaman (ikhtilaf fi al-Tanawwu’), maka bersikaplah bijak.
Namun, harus pula memperhatikan kapasitas. Bagi orang awam, sebaiknya sekadar menyebut “ini lebih afdhal” pikirlah dulu. Lebih-lebih diucapkan panutan umat, karena boleh jadi bagi kalangan awam yang lain, ungkapan ini akan membuatnya ragu atas amalannya sendiri. Orang awam jadi bimbang, apakah tetap meneruskan amalannya sementara ada yang menyebut: “ini lebih afdhal”.
Begini, ya. Selama kedudukan “lebih afdhal” itu bukan keluar dari pernyataan Rasulullah, maka masing-masing orang akan meyakini apa yang diamalkannya itulah yang “lebih afdhal”. Hanya saja, kan tidak semua orang paham soal ini.
Dalam kasus Tarawih, maaf maaf kata, orang awam macam saya ini yang bacaan kitabnya terbatas, belum menemukan ada riwayat tegas dari Rasulullah yang menyebut jumlah rakaat Tarawih yang ini “lebih afdhal” dari yang itu, yang itu “lebih afdhal” dari yang ini.
Lha, jangankan yang sesama 11 rakaat, yang melaksanakan 23 rakaat saja mereka meyakini “lebih afdhal”. Kiai Idrus Ramli bahkan berani menyebut Tarawih 11 rakaat empat empat tiga itu "Tarawih KW", yang "ori" yang 23, dan Arrazy Hasyim menyebut Tarawih 11 rakaat itu "tidak ada dalilnya".
Tentu, pendapat ini malah lebih aneh kata yang pengamal Tarawih 11. Tapi, ya seaneh-anehnya Kiai Idrus Ramli dan Arrazy dalam masalah ini, ya orang lain mau apa? Memang masing-masing keduanya yakinnya begitu. Ini terlepas dari Kiai Idrus Ramli hanya sekadar bergurau atau serius.
Salah paham soal “lebih afdhal kurang afdhal” ini kerap mendorong sekelompok orang tafarruq (memisahkan diri) dari masjid yang selama ini mereka ikut shalat berjamaah di situ. Alasannya karena jamaah masjid itu mengamalkan Tarawih yang dinilainya tidak “lebih afdhal”. Sekali lagi, ini masalah biasa. Akan tetapi, sikap ini menimbulkan pertanyaan yang tidak terhindarkan, terutama bagi jamaah dan takmir masjid. Maka, seringkali keluar ungkapan kurang elok dari jamaah: "Mendingan bikin aja masjid sendiri.”
Sekali lagi, ungkapan seperti itu kurang elok. Masjid itu milik umat meskipun dibangun dan dikelola oleh jam’iyyah tertentu. Maka, muslim siapa saja, yang sepaham atau tidak, yang menyumbang harta untuk menopang dakwah di masjid itu atau tidak menyumbang, punya hak untuk ikut shalat berjamaah.
Maka, mari kita saling bijak dalam memilih amaliyah mana yang diyakini untuk diamalkan tanpa harus menimbulkan polemik tidak berkesudahan. Sebab, bersikap bijak lebih menentramkan semua.
Keluar Dari Polemik
Andaikata sudah terlanjur muncul ketidaknyamanan karena persoalan ikhtilaf, maka keluar dari polemik lebih penting daripada klaim-klaim sepihak yang menimbulkan satu pihak tidak nyaman. Bila diilustrasikan secara hierarkis, beribadah dengan nyaman dan tidak nyaman itu seperti ini:
- Beribadah di masjid dan mengelola berbagai aktivitas keagamaan di bawah satu jam’iyyah atau manhaj. Tidak ada silang pendapat dalam satu amaliyah. Sama-sama mengamalkan nash berdasar dalil-dalil yang shahih sebagai keputusan resmi jam'iyyah. Ini sangat ideal.
- Semua jamaah yang terdiri dari tuan rumah dan tamu tetap sama-sama beribadah dalam keragaman di masjid yang sama meskipun berbeda pengajian, berbeda paham agama (masih dalam ikhtilaf al-Tanawwu’), dan masing-masing lebih memilih mengamalkan keputusan-keputusan resmi jam’iyyah atau manhaj masing-masing yang secara nash berdasar dalil-dalil yang shahih. Namun, sebagai tamu ia lapang dada menghormati tuan rumah dengan menyesuaikan diri dengan tata cara ibadah tuan rumah. Maka, tuan rumah pun merasa lapang dada dan nyaman menerima tamu seperti ini. Di sini, baik tuan rumah maupun tamu tetap merasa nyaman karena sama-sama berlapang dada. Ini ideal.
- Semua jamaah yang terdiri dari tuan rumah dan tamu tetap sama-sama beribadah dalam keragaman di masjid yang sama meskipun berbeda pengajian, berbeda paham agama (masih dalam ikhtilaf al-Tanawwu’), dan masing-masing lebih memilih mengamalkan keputusan-keputusan resmi jam’iyyah atau manhaj masing-masing yang secara nash berdasar dalil-dalil yang shahih. Namun, sang tamu keukeuh dengan cara-cara ibadah yang diyakini jamiyyah atau manhaj dengan alasan lebih mendekati sunnah. Maka, tuan rumah merasa kurang nyaman dengan tamu yang seperti ini meskipun memahami ini hanya persoalan ikhtilaf al-Tanawwu’. Ini kurang ideal.
- Semua jamaah yang terdiri dari tuan rumah dan tamu tetap sama-sama beribadah dalam keragaman di masjid yang sama meskipun berbeda pengajian, berbeda paham agama (masih dalam ikhtilaf al-Tanawwu’), dan masing-masing lebih memilih mengamalkan keputusan-keputusan resmi jam’iyyah atau manhaj masing-masing yang secara nash berdasar dalil-dalil yang shahih. Namun, sang tamu keukeuh dengan cara-cara yang diyakini jamiyyah atau manhaj dengan alasan lebih mendekati sunnah. Tidak sampai di situ, di belakang tuan rumah, sang tamu kerap memberi penilaian-penilaian semisal hizbiyyah (kelompok) yang dipandang sebagai bid’ah, menyimpang, atau tidak sesuai sunnah. Mulai pula satu demi satu jamaah tuan rumah dipengaruhi dengan pemahaman dan cara-cara beribadah sesuai manhaj-nya. Nah, bila sudah sampai seperti ini, situasinya sudah kurang sehat dan bisa memancing reaksi tuan rumah. Tuan rumah bukan saja merasa tidak nyaman dengan tamu yang seperti ini, bahkan sudah merasa diusik. Ini tidak ideal.
- Karena situasi pada poin empat terus berlangsung, tuan rumah benar-benar bereaksi dengan mempersilakan sang tamu dengan cara baik-baik untuk pulang saja ke rumah masing-masing, kembali ke lingkungan jam’iyyah atau rumah manhajnya yang sepaham, dan berjamaah di masjid sendiri. Ini bukan saja tidak ideal, melainkan juga kurang bijak bila dikembalikan bahwa masjid itu milik umat.
- Karena situasi pada poin empat terus berlangsung, sudah kesal pula tuan rumah, akhirnya mengusir sang tamu dengan cara yang kasar supaya pulang saja ke rumah masing-masing. Tuan rumah menyuruh mereka kembali ke lingkungan jam’iyyah atau manhajnya yang sepaham, berjamaah di masjid sendiri, dan mengancam mereka dengan emosi untuk tidak usah lagi berjamaah di masjid mereka. Ini jangan sampai terjadi. Sebab kalau ini terjadi, ini sangat tidak ideal dan tidak beradab.
- Karena merasa paling sunnah, sang tamu mengusir tuan rumah dan menguasai masjidnya karena dianggap akan membebaskan masjid dari segala perbuatan bid’ah bila dikelola tuan rumah. Ini su’ul adab, tidak Islami sebagai sesama muslim, dan tidak mencerminkan jiwa Pancasilais sebagai sesama anak bangsa.
Ayyuhad dhuyuuf! Jadilah tamu yang baik. Mengertilah, menjaga keutuhan jamaah, keutuhan umat, memelihara ukhuwah tetap utuh adalah juga bagian dari sunnah. Maka, bersikaplah bijak, minimal jenengan bersikap seperti pada poin dua di atas.
Apabila ada opsi dari jenengan yang melegakan semua. Tuan rumah merasa lega karena kenyamanannya kembali seperti tahun-tahun awal di mana generasi tua mereka masih hayat dan jenengan pun merasa lega karena bebas melaksanakan cara-cara beribadah sesuai manhaj sendiri tanpa harus memikirkan risiko atas sikap orang lain, ambilah opsi itu. Jadi, dua pihak sama-sama nyaman. Syukur alhamdulillah.
Tuan rumah juga sangat mengerti, jenengan sulit masuk pada poin satu. Namun, mengertilah juga, tuan rumah tidak ingin situasi poin, tiga, empat, lima terus berlangsung. Apalagi poin enam dan tujuh akan terjadi, tidak ingin. Sekali lagi tidak ingin. Poin enam dan tujuh itu sangat mahal harganya bagi ukhuwah nasabiyah dan ukhuwah Islamiyah. Lagi pula, tuan rumah itu hanya punya kewajiban menjamu tamu selama tiga hari. Setelah tiga hari, tamu yang baik sudah maklum bagaimana ia harus membawa diri.
Semoga kita semua bisa tetap bijak di bulan yang penuh hikmah ini. Sebab ikhtilaf itu sesuatu yang niscaya, maka tugas semua muslim menyikapi agar ikhtilafu ummati rahmatun, menjadikan ikhtilaf itu sebagai rahmat, bukan sebagai laknat. Sebab bukan rahasia lagi, setiap jamiyyah dan manhaj punya naluri bawaan untuk melestarikan esksistensi. Wallahu a’lam.
Rabu, 12 Maret 2025.
Sambil menunggu Maghrib Ramadhan hari ke-12.
0 Comments
Posting Komentar