
Tangkapan layar dari Channel YouTubeAaGuruTiGarut
Saya waktu itu masih SD, masih SD, saya masih waktu itu masih, ee, apa masih mesantren, yaitu sekitar kelas 4, berarti kelas 1 Aliyah lah saya masih kelas satu Aliyahan kurang lebih terus di masjid saya …
Eheheheh … judul di atas modifikasi dari “SUDAH MIRIP WAHABI‼️WARGA MUHAMMADIYAH INI TERIAK2 DI MASJID” dari channel AaGuruTiGarut (seterusnya ditulis AGTG) (https://www.youtube.com/watch?v=eNleCoPHajc&t=95s)
Akan tetapi, meskipun judul tulisan ini modifikasi dan terkesan lucu-lucuan, ia tidak kehilangan ruh sungguh-sungguh. Sebab, dalam konteks menyejarah, Syi’ah dan Wahabi itu urusan serius. Pada ranah akidah dan politik, Syi’ah dan Wahabi sering diperhadapkan sebagai dua entitas yang berseberangan—dalam bahasa yang lebih vulgar ‘bermusuhan’ atau sukar bertemu dalam satu titik kesepahaman yang serius.
So, sekadar menyelipkan phrase, menurut Pizaro—jurnalis Anadolu Agency—bahwa Syiah memahami betul adanya sentimen anti Wahabi di kalangan Ahlussunnah. Jadi, paling tidak judul “Sudah Mirip “Syi’ah”!! Pengkritik ini Ngedebrus di YouTube Menuduh Muhammadiyah Wahabi” bisa mengimbangi judul narasi AGTG yang secara vulgar tercium bau-bau sentimen AGTG pada Muhammadiyah yang dituduhkan sebagai bukan Ahlussunnah, alias sudah mirip Wahabi. Begitu kira-kira.
Lebih dari itu, tulisan ini semacam tanggapan enteng-entengan atas narasi AGTG pada channel YouTube miliknya. Enteng-entengan maksudnya ‘gak serius-serius amat meskipun substansinya serius. Beda dengan Mimbar Persyarikatan yang punya aliran darah militansi bila sudah menanggapi persoalan seperti yang dipertontonkan AGTG.
Boleh jadi, sebagai dialektika, Mimbar Persyarikatan sudah memberikan koreksi atau tanggapan sangat rinci narasi "carut wal marut" AGTG. Lalu tanggapan itu ditanggapi lagi AGTG secara lebih "carut wal marut". Salut buat Mimbar Persyarikatan. Ahahahahah …
Saya ini penikmat narasi dengan struktur bahasa yang rapi, runut, dan logis. Sebaliknya, tak ada selera mendengar narasi dengan struktur bahasa tidak karuan kecuali terpaksa. Narasi AGTG dalam “SUDAH MIRIP WAHABI‼️WARGA MUHAMMADIYAH INI TERIAK2 DI MASJID” itu tidak karuan, tapi terpaksa ditonton dan didengerin.
Tidak karuan itu masih sopan dalam timbangan diksi saya. Sebaiknya saya pakai diksi “carut wal marut” saja untuk mengimbangi ketidaksopanan AGTG yang tidak dia sadari sedang menelanjangi kapasitas dirinya sendiri. Lagi pula, kasihan juga AGTG sudah bikin konten se-”carut wal marut” itu bila tidak dilirik walau hanya sepicing saja.
Eits, tunggu dulu! Saya tidak memaknai “carut marut” sebagai kata yang berarti perkataan keji atau kotor, atau segala jenis perkataan yang keji. Kata "carut-marut" juga bisa berarti segala coreng-moreng atau goresan yang tidak keruan arahnya. Nah, makna kedua ini yang saya maksud. Lalu supaya terkesan antik, “carut marut” saya plesetkan menjadi “carut wal marut.”
Kita mulai menanggapi “carut wal marut”-nya “SUDAH MIRIP WAHABI‼️WARGA MUHAMMADIYAH INI TERIAK2 DI MASJID”. Narasi AGTG ini menanggapi video yang banyak diunggah di Media Sosial, salah satunya dari akun https://www.youtube.com/shorts/TkNF-_R_0qo
milik @larosmediatv tentang seorang jamaah masjid yang memprotes bacaan Imam di Masjid Darul Arqam Palangkaraya pada malam 25 Ramadhan kemarin. Bacaan imam dianggap tidak sesuai tradisi Tarjih Muhammadiyah. Jamaah ini menuduh imam membawa tradisi HTI.
Tulisan ini bukan untuk membahas sikap jamaah di Palangkaraya itu. Memang, sikap jamaah itu tidak bijak. Sikap itu bukan cermin paham agama yang dianut Muhammadiyah umumnya. Hanya saja, sikap jamaah ini disimpulkan oleh AGTG sebagai paham Muhammadiyah secara umum. Nah, di sini “carut wal marut” otak AGTG dimulai sejak dari alam ide.
Saya akan mulai dari narasi AGTG pada menit ke 2.44 detik. Narasi AGTG ini dibangun untuk menjelaskan sikapnya yang pernah menghalangi Mang Didi yang hendak menjadi Imam shalat. Mang Didi ini dinilai AGTG tidak layak jadi imam di masjid kampungnya. Pasalnya, bacaan Mang Didi suka bercampur-campur antara bacaan satu ayat dalam satu surah dengan ayat yang lain jadi tidak dalam satu surah tidak runtut. Kata AGTG:
“Saya waktu itu masih SD, masih SD, saya masih waktu itu masih, ee, apa masih mesantren, yaitu sekitar kelas 4, berarti kelas 1 Aliyah lah saya masih kelas satu Aliyahan kurang lebih terus di masjid saya …”
Coba tebak, waktu kejadian menghalangi Mang Didi itu AGTG masih SD atau masih mesantren kelas 1 Aliyah?
Dugaan logis saya, AGTG ada pada masa mesantren kelas 1 Aliyah. Sebab, kecil kemungkinan anak SD sudah paham bacaan imam yang bercampur-campur ayat dalam surah yang berbeda. Anak pesantren kelas 1 Aliyah, boleh lah ia sudah paham soal ini.
Di sini belum ada “carut wal marut” yang fatal dari narasi AGTG. Ini hanya soal ingatannya yang agak kendor mengingat kejadian perlakuannya pada Mang Didi. Dari SD ke Aliyah itu melompati masa SMP atau MTs. Bila AGTG saat itu duduk di kelas enam, durasi memory gaps-nya tiga tahun. Bila saat itu AGTG baru kelas empat atau kelas lima, wah, tambah panjang.
Akan tetapi, ini bukan substansi. Ini soal ingatan yang kurang akurat saja, agak kendor. Andaikan AGTG berkata, “ Saya waktu itu masih Aliyah, masih Aliyah, saya masih waktu itu masih, ee, apa masih mesantren, yaitu sekitar kelas 4, berarti kelas 1 Aliyah lah saya masih kelas satu Aliyahan kurang lebih terus di masjid saya …,” masih oke lah. Paham, ya?
Ah, soal memory gaps segitu saja dipermasalahkan. Nah, justru dari sini “carut wal marut” otak AGTG saling berjalin berkelindan dengan narasi pada detik-detik berikutnya. Gak percaya? Tunggu lanjutannya.
Tubikontinyu ….
Depok, Lebaran lewat seminggu. Selasa, 08 April 2025
Akan tetapi, meskipun judul tulisan ini modifikasi dan terkesan lucu-lucuan, ia tidak kehilangan ruh sungguh-sungguh. Sebab, dalam konteks menyejarah, Syi’ah dan Wahabi itu urusan serius. Pada ranah akidah dan politik, Syi’ah dan Wahabi sering diperhadapkan sebagai dua entitas yang berseberangan—dalam bahasa yang lebih vulgar ‘bermusuhan’ atau sukar bertemu dalam satu titik kesepahaman yang serius.
So, sekadar menyelipkan phrase, menurut Pizaro—jurnalis Anadolu Agency—bahwa Syiah memahami betul adanya sentimen anti Wahabi di kalangan Ahlussunnah. Jadi, paling tidak judul “Sudah Mirip “Syi’ah”!! Pengkritik ini Ngedebrus di YouTube Menuduh Muhammadiyah Wahabi” bisa mengimbangi judul narasi AGTG yang secara vulgar tercium bau-bau sentimen AGTG pada Muhammadiyah yang dituduhkan sebagai bukan Ahlussunnah, alias sudah mirip Wahabi. Begitu kira-kira.
Lebih dari itu, tulisan ini semacam tanggapan enteng-entengan atas narasi AGTG pada channel YouTube miliknya. Enteng-entengan maksudnya ‘gak serius-serius amat meskipun substansinya serius. Beda dengan Mimbar Persyarikatan yang punya aliran darah militansi bila sudah menanggapi persoalan seperti yang dipertontonkan AGTG.
Boleh jadi, sebagai dialektika, Mimbar Persyarikatan sudah memberikan koreksi atau tanggapan sangat rinci narasi "carut wal marut" AGTG. Lalu tanggapan itu ditanggapi lagi AGTG secara lebih "carut wal marut". Salut buat Mimbar Persyarikatan. Ahahahahah …
Saya ini penikmat narasi dengan struktur bahasa yang rapi, runut, dan logis. Sebaliknya, tak ada selera mendengar narasi dengan struktur bahasa tidak karuan kecuali terpaksa. Narasi AGTG dalam “SUDAH MIRIP WAHABI‼️WARGA MUHAMMADIYAH INI TERIAK2 DI MASJID” itu tidak karuan, tapi terpaksa ditonton dan didengerin.
Tidak karuan itu masih sopan dalam timbangan diksi saya. Sebaiknya saya pakai diksi “carut wal marut” saja untuk mengimbangi ketidaksopanan AGTG yang tidak dia sadari sedang menelanjangi kapasitas dirinya sendiri. Lagi pula, kasihan juga AGTG sudah bikin konten se-”carut wal marut” itu bila tidak dilirik walau hanya sepicing saja.
Eits, tunggu dulu! Saya tidak memaknai “carut marut” sebagai kata yang berarti perkataan keji atau kotor, atau segala jenis perkataan yang keji. Kata "carut-marut" juga bisa berarti segala coreng-moreng atau goresan yang tidak keruan arahnya. Nah, makna kedua ini yang saya maksud. Lalu supaya terkesan antik, “carut marut” saya plesetkan menjadi “carut wal marut.”
Kita mulai menanggapi “carut wal marut”-nya “SUDAH MIRIP WAHABI‼️WARGA MUHAMMADIYAH INI TERIAK2 DI MASJID”. Narasi AGTG ini menanggapi video yang banyak diunggah di Media Sosial, salah satunya dari akun https://www.youtube.com/shorts/TkNF-_R_0qo
milik @larosmediatv tentang seorang jamaah masjid yang memprotes bacaan Imam di Masjid Darul Arqam Palangkaraya pada malam 25 Ramadhan kemarin. Bacaan imam dianggap tidak sesuai tradisi Tarjih Muhammadiyah. Jamaah ini menuduh imam membawa tradisi HTI.
Tulisan ini bukan untuk membahas sikap jamaah di Palangkaraya itu. Memang, sikap jamaah itu tidak bijak. Sikap itu bukan cermin paham agama yang dianut Muhammadiyah umumnya. Hanya saja, sikap jamaah ini disimpulkan oleh AGTG sebagai paham Muhammadiyah secara umum. Nah, di sini “carut wal marut” otak AGTG dimulai sejak dari alam ide.
Saya akan mulai dari narasi AGTG pada menit ke 2.44 detik. Narasi AGTG ini dibangun untuk menjelaskan sikapnya yang pernah menghalangi Mang Didi yang hendak menjadi Imam shalat. Mang Didi ini dinilai AGTG tidak layak jadi imam di masjid kampungnya. Pasalnya, bacaan Mang Didi suka bercampur-campur antara bacaan satu ayat dalam satu surah dengan ayat yang lain jadi tidak dalam satu surah tidak runtut. Kata AGTG:
“Saya waktu itu masih SD, masih SD, saya masih waktu itu masih, ee, apa masih mesantren, yaitu sekitar kelas 4, berarti kelas 1 Aliyah lah saya masih kelas satu Aliyahan kurang lebih terus di masjid saya …”
Coba tebak, waktu kejadian menghalangi Mang Didi itu AGTG masih SD atau masih mesantren kelas 1 Aliyah?
Dugaan logis saya, AGTG ada pada masa mesantren kelas 1 Aliyah. Sebab, kecil kemungkinan anak SD sudah paham bacaan imam yang bercampur-campur ayat dalam surah yang berbeda. Anak pesantren kelas 1 Aliyah, boleh lah ia sudah paham soal ini.
Di sini belum ada “carut wal marut” yang fatal dari narasi AGTG. Ini hanya soal ingatannya yang agak kendor mengingat kejadian perlakuannya pada Mang Didi. Dari SD ke Aliyah itu melompati masa SMP atau MTs. Bila AGTG saat itu duduk di kelas enam, durasi memory gaps-nya tiga tahun. Bila saat itu AGTG baru kelas empat atau kelas lima, wah, tambah panjang.
Akan tetapi, ini bukan substansi. Ini soal ingatan yang kurang akurat saja, agak kendor. Andaikan AGTG berkata, “ Saya waktu itu masih Aliyah, masih Aliyah, saya masih waktu itu masih, ee, apa masih mesantren, yaitu sekitar kelas 4, berarti kelas 1 Aliyah lah saya masih kelas satu Aliyahan kurang lebih terus di masjid saya …,” masih oke lah. Paham, ya?
Ah, soal memory gaps segitu saja dipermasalahkan. Nah, justru dari sini “carut wal marut” otak AGTG saling berjalin berkelindan dengan narasi pada detik-detik berikutnya. Gak percaya? Tunggu lanjutannya.
Tubikontinyu ….
Depok, Lebaran lewat seminggu. Selasa, 08 April 2025
0 Comments
Posting Komentar